Peradaban Islam di Nusantara rupanya mulai diperhitungkan warga dunia, terutama oleh para cerdik-cendekia Barat.
Ketika dua dekade lalu mendiang Prof. Azyumardi Azra menulis tentang “Islam Nusantara” dan secara masif dikumandangkan di mimbar-mibar akademik, konsep dan gagasan tentang ekspresi keberislaman yang akomodatif terhadap kultur setempat ini menjadi tajuk utama Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) 2015 silam di Jombang, Jawa Timur.
Sebagai sebuah diskursus, Islam Nusantara tentu saja berada dalam panggung perdebatan. Ada anggapan bahwa konsep ini terlalu Jawa sentris. Ada pula tudingan Islam Nusantara justru akan mereduksi makna Islam itu sendiri.
Lepas dari dinamika penuh gairah tersebut, satu poin yang menarik untuk digarisbawahi dari Islam Nusantara adalah kesadaran untuk menanggapi klaim superioritas budaya Timur Tengah yang kerap dianggap sebagai praktik Islam paling otentik.
Hal itu secara terbuka disampaikan oleh Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) ketika memberi ceramah di Masjid Al-Hikmah, Den Haag, Belanda (12/05/2024).
“Bahkan masyarakat Islam Timur Tengah itu juga berada dalam anggapan itu, termasuk mereka yang menganggap bahwa muslim Indonesia itu bukan Muslim beneran karena dianggap tidak bisa Bahasa Arab,” katanya dalam salah satu rangkaian kegiatan Festival Islam Kepulauan.
Padahal, Gus Yahya menjelaskan, banyak kiai-kiai kita itu yang bisa jadi lebih alim dari orang Arab.
“Kiai Ihsan bin Dahlan dari Jampes, Kediri, misalnya, pernah menulis kitab Sirajut Thalibin yang dicetak di Beirut,” ujarnya, “dan kitab tersebut bukan saja sepenuhnya ditulis menggunakan bahasa Arab, tetapi juga merupakan respons dan komentar terhadap kitab tasawuf Minhajul ‘Abidin karangan Imam al-Ghazali.”
Dari sini, kita, umat Muslim Indonesia tidak semestinya berkecil hati. Jika ada orang Arab fasih berbahasa Arab itu sudah sewajarnya. Yang bermasalah adalah jika hal itu menjadi ukuran otentisitas keislaman sehingga menciptakan dikotomi budaya rendah dan budaya tinggi.
Menurut Gus Yahya, tradisi pesantren pada dasarnya berperan penting dalam menjaga kultur akademik yang memungkinkan siapa pun mempelajari dan bahkan memproduksi kitab-kitab berbahasa Arab.
“Saya kira hanya di Nusantara, pendidikan akademik itu menjadi fenomena komunal biasa saja dan bukan sesuatu yang sophisticated” terangnya, “sementara pengkajian kitab-kitab seperti di pesantren itu kan merupakan kultur akademik.”
Bagi Gus Yahya, yang lebih menariknya lagi adalah tradisi akademik di pesantren dengan kajian berbahasa Arabnya itu tidak melihat kuantitas jamaah. “Maka mudah saja kita melihat pesantren yang walaupun ibaratnya punya santri puluhan orang di kampung-kampung, namun tetap mengkaji kitab babon berbahasa arab.”
“Jadi selama santrinya betah di situ dan mau belajar, ya mereka akan tetap diajarkan kitab-kitab sampai khatam oleh kiainya,” pungkasnya.