“Abahmu pernah rasan-rasan, kepingin merenovasi mushola,”,kata paman saya, Kyai Mustofa Bisri, “tapi sampai meninggalnya belum kesampaian”.
Saya tercenung. Itu bukan kalimat sharih, tapi mafhumnya jelas: perintah. Dan perintah yang musykil. Betapa tidak? Saya tidak punya uang. Dan saya bukan profesional dalam bidang tertentu yang dapat menghasilkan uang –saya baru saja “memensiunkan diri” dari profesi politik dan belum menemukan profesi penggantinya.
Hanyut dalam cara berpikir yang “normal” dari seorang “gus kontemporer” seperti saya, segera muncul dalam benak saya gagasan untuk mencari bantuan dari sumber-sumber yang paling populer di kalangan pondok pesantren dewasa ini, yaitu para aktor pemangku kepentingan politik, khususnya pejabat-pejabat pemerintahan. Dan saya merasa punya keunggulan dalam hal itu, mengingat saya pernah aktif dalam politik hingga ke puncak arena permainannya (menjadi Juru Bicara Presiden).
Maka segera pulalah saya kerjakan persiapan yang lazim: menyusun proposal dan surat permohonan bantuan dengan alamat kontak-kontak politik yang saya miliki di kalangan pejabat pemerintahan. Di bagian bawah proposal dan surat-surat permohonan itu saya sediakan ruang untuk tanda tangan paman saya: K.H. A. Mustofa Bisri.
Pikir saya, ketokohan paman saya jelas punya harga mahal untuk “dijual”. Saya suruh salah seorang sepupu yang telah saya tunjuk sebagai Ketua Panitia untuk menindaklanjuti dokumen-dokumen itu, termasuk meminta tanda tangan dari paman saya kemudian mengirim ke alamat-alamat yang telah saya tentukan daftarnya.
Satu-dua hari tanpa laporan, saya pikir urusan sudah beres. Tinggal tunggu jawaban. Yang datang kemudian adalah undangan untuk “berkumpul di rumah paman saya” selepas ‘isya. Tak ada informasi untuk keperluan apa. Saya hanya menduga, paman saya hendak mengadakan manakiban untuk suatu hajat tertentu, entah apa.
Agak terlambat saya datang, di ruang tamu telah hadir kyai-kyai dan ustadz-ustadz yang mengajar di pesantren kami, beserta seluruh jajaran Pengurus Pondok, lengkap. Paman saya sendiri belum keluar. Saya segera merasa aneh ketika saya dapati, tak seorang pun yang hadir mengetahui keperluan pertemuan malam itu. Tak ada pula suguhan-suguhan khusus seperti lazimnya orang punya hajat.
Sepupu saya, Si Ketua Panitia, yang ditugasi menyampaikan undangan pertemuan, hanya “embah-embuh”. Malah bolak-balik keluar-masuk ruangan, seperti sibuk ini-itu, tapi tak jelas urusannya. Sejurus-dua-jurus kami menunggu, barulah paman saya muncul. Perasaan aneh menghebat, diikuti ketegangan, melihat raut muka paman saya tidak seperti biasanya.
Setahu saya, paman saya senantiasa memperlihatkan wajah cerah setiap menemui tamu. Kecuali malam itu. Wajahnya muram. Jelas-jelas menampakkan kegusaran. Semua yang hadir menyadari ketidaklaziman itu sehingga ketegangan pun merata.
Setelah duduk, tanpa didahului basa-basi maupun bacaan fatihah untuk membuka pertemuan, paman saya langsung meluncurkan kalimat-kalimat tajam, jelas-jelas ditujukan kepada saya. Seandainya saya tidak mengenal beliau, pasti saya ketakutan setengah mati. Ketakutan yang jelas tampak pada wajah-wajah mereka yang hadir. Seorang pengurus pondok bahkan kelihatan amat menderita karena ngampet semaput.
Tapi saya kenal betul paman saya ini. Saya sudah hafal segala kasih-sayangnya. Maka yang lantas mengembang di hati saya adalah gairah belajar yang khusyu’.
“Jangan sembarangan mencari uang!” kata paman saya. Iramanya datar, tapi nadanya tajam menusuk. Semua orang menunduk.
“Kalau cuma pengen bangunan pondok yang bagus-bagus, ngapain nunggu awakmu?” kata beliau lagi, “apa dikira yang punya kenalan pejabat-pejabat di sini baru awakmu? Abahmu dan embahmu tidak? Kalau mau uangnya pejabat, dari dulu juga bisa!”
Terus terang, saya tercekat. Yang ini melubangi jantung saya betul. Embah saya, Kyai Bisri Mustofa, adalah syuriyah NU dan anggota Konstituante, kemudian anggota MPR hingga meninggalnya; ayah saya, Kyai Cholil Bisri, Wakil Ketua Dewan Syuro DPP PKB dan Wakil Ketua MPR RI hingga meninggalnya; saya cuma kecoak dihadapan mereka. Saya kian tunduk melipat punggung. Ruangan membeku. Pikiran saya galau. Tak sempat lagi saya mengingat untuk mengecek, apakah pengurus pondok yang tadi itu sudah semaput atau belum.
“Teman-teman itu sendiri (maksud saya, pejabat-pejabat itu) yang menawari kok, Paklik”, saya nyeletuk. Suara saya mengambang. Tak jelas tujuannya. Mungkin sekedar usaha mencairkan kebekuan. Tapi sia-sia.
“Mereka menawari karena punya kepentingan!” sergah paman saya. Saya kehilangan semua kata-kata.
“Embahmu dan abahmu tidak pernah mementingkan bangunan”, beliau melanjutkan, “yang penting barokah. Jadi, hati-hatilah mencari uang. Tak ada gunanya punya macam-macam kalau tidak barokah”.
Paman saya merogoh saku.
“Nih”, katanya, lalu menyodorkan sebuah buku kecil: buku tabungan, “itu uangku sendiri, kucari-cari sendiri, kukumpul-kumpulkan sendiri. Halal. Pakai itu!”
Paman saya berdiri, menyingkap gorden pembatas ruang tamu lebar-lebar. Dibalik gorden itu meja makan penuh hidangan.
“Ayo makan! Makan!”
Saya pastikan, semua orang menghela napas lega. Saya intip buku tabungan itu, isinya 150 juta rupiah. Saya menelan ludah. Perkiraan ongkos bangunan yang akan saya bikin mencapai lebih dari 800 juta. Ya sudahlah, pikir saya, bagaimana nanti saja.