Gus Mus dan Cinta untuk Palestina

Gus Mus dan Cinta untuk Palestina

Gus Mus dan Cinta untuk Palestina

Suatu ketika, Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) bersama kedua putranya, Bisri Mustofa dan Almas Mustofa ziarah ke tanah Palestina. Bagi muslim Indonesia, ziarah ke tanah para ulama di Palestina, merupakan impian untuk menjejak akar pengetahuan. Palestina merupakan tanah pengetahuan, rumah peradaban, sekaligus menjadi benteng konflik tanpa akhir.

Di Palestina, Gus Mus dan rombongan dicegat oleh petugas imigrasi. Oleh petugas, Gus Mus ditanya tentang nama dan alamat. Rupanya, petugas imigrasi curiga dengan nama Gus Mus yang hampir sama dengan putranya: Bisri Mustofa. Alamat: Jl. KH. Bisri Mustofa. Nama yang bolak-balik ini membikin pusing petugas imigrasi, menimbulkan kecurigaan di tengah situasi konflik.

Kisah itu merupakan sebagian dari kisah-kisah persentuhan Gus Mus dengan isu Palestina-Israel. Bagi Gus Mus, persentuhan dengan isu Palestina, ketika diundang Gus Dur untuk membaca puisi “Malam Persaudaraan Palestina” pada 1982. Ketika itu, Gus Dur menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yang menghimpun seniman, sastrawan dan budayawan Ibu Kota.

Ketika itu, Gus Mus belum dikenal sebagai penyair. Oleh Gus Dur, Gus Mus dipromosikan sebagai sastrawan, yang layak bersanding dengan beberapa penyair senior: Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bahri, Taufiq Ismail, dan beberapa penyair lain. Peristiwa itu dikenang Gus Mus, sebagai penanda penting dalam kisah hidupnya. Juga, menjadi kampanye penting untuk menyuarakan perdamaian di Timur Tengah, dengan jalan kebudayaan.

Tentu saja, kampanye perdamaian melalui sastra, merupakan strategi yang ditempuh Gus Dur. Di luar itu, Gus Dur melancarkan diplomasi perdamaian, dengan berkali-kali berkunjung ke Israel, Palestina, dan melobi beberapa tokoh kunci di Amerika Serikat untuk mengupatakan perdamaian.

Gus Dur ingin ikut serta dengan gigih membebaskan penderitaan manusia-manusia di Palestina. Bagi Gus Dur dan Gus Mus, perang antara Israel-Palestina bukan persoalan agama. Di tanah Palestina, bermukim tiga pemeluk agama besar: Islam, Nasrani dan Islam. Konflik yang terjadi, semata-mata pencaplokan tanah oleh kekuasaan Yahudi Zionis. Perlu dicatat, tidak setiap orang Israel tergabung dengan Zionis. Rabbi Yisrael Dovid Weiss menggemakan ‘Yahudi Against Zionism’. Gilad Atzmon konsisten menolak zionisme dalam karya-karya pemikiran dan pergerakannya.

Kisah tentang perjuangan Gus Dur menginisiasi kampanye sastra untuk perdamaian Palestina, sering diceritakan Gus Mus di berbagai forum. Tidak sekedar untuk mengenang perjuangan Gus Dur, namun juga bagaimana merespon peristiwa besar dengan strategi kampanye yang efektif. Merespon peristiwa kekerasan dengan cara yang lembut: jalan kebudayaan dan sastra.

Kini, setelah 35 tahun berlalu, Gus Mus ingin merespon konflik Israel-Palestina dengan jalan sastra. Gus Mus menginisiasi ‘Doa untuk Palestina’, yang digelar di Taman Ismail Marzuki, 24 Agustus 2017. Beberapa penyair dan akademisi berpartisipasi dalam agenda ini: Prof. Abdul Hadi WM, Acep Zamzam Noor, Anis Sholeh Baasyin, Butet Kertaradjasa, D. Zawawi Imran, Fatin Hamama, Inayah Wahid, Jamal D Rahman, Joko Pinurbo, Jose Rizal Manua, Prof. Dr. Mahfud MD, Najwa Shihab, Prof. Dr. Quraish Shihab, Ratih Sanggarwati, Renny Djajoesman, Slamet Rahardjo, Sosiawan Leak, Sutardji Calzoum Bachri, Prof. Dr. Syafi’i Maarif, Taufiq Ismail dan Ulil Abshar Abdalla. Agenda ini didukung oleh GusDurian, Wahid Foundation, Nutizen dan NUOnline.

Gerakan Perdamaian

Gus Mus tidak sekedar ulama Indonesia, beliau juga menjadi milik internasional. Kampanye-kampanye Islam ramah yang disampaikan Gus Mus, menjadi inspirasi warga Eropa dan Amerika. Apalagi, di tengah gelombang kebencian dalam isu agama yang demikian massif, petuah-petuah Gus Mus terasa menyejukkan.

“Kita harus berusaha menjadi manusia yang dapat memanusiakan manusia lainnya. Artinya, kita antara lain, harus menghargai dan menghormati manusia lain, terlepas dari latar belakang agama dan kepercayaannya. Hal inilah yang diajarkan Nabi Muhammad Saw kepada umatnya,” demikian petuah Gus Mus.

Gus Mus sering berkunjung berbagai negara untuk mendakwahkan Islam yang ramah, dan menyeru perdamaian dunia. Pada 2011 lalu, Gus Mus berkunjung ke Brussels, Belgia. Di Brussels, Gus Mus berbicara di Parlemen Eropa, untuk mengkampanyekan Islam yang ramah dan damai. Di Brussels, Gus Mus diterima Dubes RI di Brussels, Arif Havas Oegroseno dan Dr. Werner Langen, anggota Parlemen Eropa, yang juga Ketua Delegasi Parlemen Eropa untuk Negara-Negara Kawasan Asia Tenggara dan ASEAN.

Ceramah Gus Mus di Brussels, menjadi agenda diplomasi perdamaian, untuk mengkampanyekan nilai-nilai Islam, dari seorang ulama Asia Tenggara. Gus Mus, menjadi referensi untuk melihat bagaimana Islam Indonesia yang memiliki kekayaan kultur Nusantara. Publik Eropa juga mencari rujukan berislam, yang berbeda dengan citra Islam di Timur Tengah, yang sering kisruh dengan pelbagai badai konflik.

Dalam kunjungan diplomatik itu, Gus Mus juga bertemu dengan Uskup Antwerpen, Johan Jozef Bony dan Imam Masjid Antwerpen, Wim van Ael. Dialog terjadi di antara pemuka agama, dengan interaksi gagasan yang saling terbuka. Gus Mus membuka ruang dialog bagi publik dan pemuka agama di Eropa, untuk memahami Islam bukan sebagaimana yang dicitrakan publik, Islam yang penuh kekerasan. Dengan demikian, perjalanan Gus Mus ke Eropa dan Amerika Serikat, juga membawa misi perdamaian, untuk melawan islamophobia dan menjernihkan citra Islam di media-media Barat.

Misi perdamaian Gus Mus ini menjadi refleksi penting di tengah kegagalan orang-orang memahami akar konflik. Juga, respon berlebihan tentang sengkarut Israel-Palestina yang sering digaungkan oleh sebagian kelompok di negeri ini. Gus Mus dan beberapa kiai muda memilih jalur damai: menggaungkan perdamaian dengan jalan sastra. Diplomasi perdamaian melalui sastra ini semoga mengetuk hati orang-orang yang berjiwa gersang di tengah sengkarut konflik [Munawir Aziz].