Gus Mus meluruskan stigma masyarakat tentang menonton wayang, yang dianggap sebagai kesenian Hindu. Gus Mus justru menyarankan kepada masyarakat agar mampu belajar dari Dewaruci.
Pada 27 Agustus 2020, K.H. Mustafa Bisri atau Gus Mus memberi ceramah pada haul Mbah Sumahadiwijaya (atau yang kerap dipanggil Mbah Mutamakkin Kajen, Pati, Jawa Tengah). Pada saat memperingati hari wafatnya Nabi ataupun ulama, Gus Mus memberi nasihat agar mengkaji dan mempelajari kembali nilai-nilai budaya yang telah diajarkan.
Pada kesempatan itu, Gus Mus menuturkan bahwa Mbah Mutamakkin suka menonton wayang. Cerita wayang tersebut tentang lakon Werkudara dan Brotoseno bertemu dengan Dewaruci.
Gus Mus meluruskan aggapan sebagian masyarakat bahwa wayang adalah kesenian Hindu-Budha semata. “Itu salah,” tuturnya. Hal ini karena pertemuan antara Brotoseno dan Werkudara itu memuat ajaran yang sesuai dengan nilai-nilai yang telah diajarkan oleh para kiai.
Menurut Gus Mus, kita juga bisa belajar dari wayang Dewaruci. Adapun wejangan Dewaruci yang diceritakan oleh Gus Mus ada enam hal: Pertama, jangan bertindak sebelum tahu betul apa yang hendak dikerjakan. Beliau mengutip Surat al-Isra’: 36: “wa la taqfu Ma laisa laka bihi ilm.” (Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya). Hal ini juga bisa berarti, jangan gampang komentar sebelum faham dan mengerti masalahnya.
Kedua, nilai penting belajar dari wayang Dewaruci adalah harus bisa membedakan antara emas dan loyang (kuningan). Untuk bisa membedakannya, tentu harus mengetahui ilmu tentangnya. Maka dari itu, ‘belajar’ menjadi suatu kewajiban agar bisa membedakan antara perihal yang bernilai dan tidak. Penguasaan terhadap suatu bidang ilmu memang perlu bagi kita untuk bisa membedakan sesuatu yang mirip, tetapi mempunyai nilai berbeda.
Ketiga, jangan mudah kaget dan bingung. Karena hal tersebut adalah ciri-ciri orang yang tidak berilmu. Dengan ilmu, kita tidak mudah kaget ketika melihat sesuatu yang berbeda. “Kalau pengetahuannya luas, dia tidak akan kagetan dan bingungan,” tuturnya. Maka dari itu, mencari ilmu adalah kuncinya.
Seperti halnya falsafah pesantren. Orang yang mondok di pesantren, niatnya tidak muluk-muluk. Tidak mempunyai keinginan untuk menjadi pilot, anggota DPR, atau petinggi negara. “Bahkan tidak ingin jadi kiai, tidak ingin jadi muballigh,” tutur Gus Mus. Tetapi mereka hanya ingin menghilangkan kebodohan. “Dan kita tahu kebodohan ngga bisa hilang. Karena begitu anda pandai anda merasa lebih bodoh dari kemarin. Kalau anda merasa pandai, di situ anda mulai bodoh,” Lanjutnya.
Keempat, harus bisa mengendalikan nafsu, entah itu nafsu ammarah (Nafsu yang mengajak kepada keburukan), ataupun nafsu lawwamah (nafsu yang berakibat penyesalan karena lalai). Gus Mus berkata bahwa perihal ini tentu ada dalilnya. Cuma oleh pewayangan itu dikemukakan sedemiakian rupa sehiggga seolah-olah tidak berdalil. “Seperti kiai-kiai, kalau mauidhah hasanah itu jarang ndalil, yang biasa ndalil itu biasanya ustaz-ustaz anyaran itu,” sentilnya.
Kelima, mengamalkan ilmu. Gus Mus mengutip perkataan ulama, ilmu yang tidak diamalkan itu bukanlah ilmu. Seperti kata Imam al-Ghazali, sekalipun orang yang telah membaca ilmu ratusan ribu kali, maka tidak ada gunanya kecuali jika diamalkan.
Keenam, harus memahami tentang kefanaan dunia ini. Termasuk kefanaan diri kita sendiri sebagai manusia. Semua yang ada di dunia ini tidak kekal dan bersifat sementara. Tentu saja kita tidak perlu mengganpnya berharga dan istimewa.
Begitulah nilai-nilai dari Dewaruci. Kita perlu belajar dari wayang terkait nilai-nilai yang perlu diteladani tersebut. Mengingat nilai-nilai tersebut semakin terkikis karena tekanan zaman yang semakin modern dan instan ini. Begitu banyak godaan yang ada di depan mata kita. Dengan mengamalkan nilai-nilai yang telah diajarkan oleh pendahulu kita, kita bisa mewanti-wanti diri kita agar terhalau dari ajaran dan ajakan yang tidak benar. Karena nilai yang telah diajarkan ulama pendahulu kita merupakan pondasi yang kokoh agar kita tetap berdiri tegak kepada jalan Allah SWT. (AN)
Waallahu a’lam