Kearifan Budaya dalam Menyikapi Pandemi Covid-19

Kearifan Budaya dalam Menyikapi Pandemi Covid-19

Kearifan Budaya dalam Menyikapi Pandemi Covid-19

Wayang adalah salah satu warisan adiluhung budaya nusantara. Sejak 2003, UNESCO menetapkan wayang Indonesia sebagai karya agung budaya dunia (a masterpiece of the oral and intangible heritage of humanity). Pada tahun 2018, Pemerintah Indonesia telah menetapkan 7 November sebagai Hari Wayang Nasional. Dalam lintasan sejarah Nusantara, pertunjukkan wayang dinilai efektif mengajarkan moral dan budi pekerti bagi peradaban bangsa. Wayang tidak hanya sekedar tontonan, tetapi juga tuntunan. Tak aneh jika budaya wayang dijadikan oleh Walisongo sebagai media untuk mengenalkan dan mendakwahkan ajaran Islam.

Akhir tahun lalu, 27 November 2019, Habib Muhammad Luthfi bin Yahya selaku Rais ‘Aam Jatmat juga menggelar pementasan wayang kulit di Kanzus Sholawat Pekalongan. Lakonnya adalah “Parikesit Mandito”, dibawakan oleh Ki Manteb Sudarsono. Pangelar wayang kulit semalam suntuk ini menandai rangkaian peringatan Maulid Nabi Muhammad saw 1441 H. Di hadapan ribuan penonton, Habib Luthfi mengajak masyarakat untuk terus melestarikan budaya Nusantara. Banyak ajaran tasawuf dan budi pekerti yang terkandung di dalamnya. Lantas sumbangan kearifan apa yang diberikan seniman wayang kulit di tengah terpaan pandemik Covid-19 saat ini?

Sebulan yang lalu, tepatnya pada 25 Maret 2020, Ki Purbo Asmoro menggelar wayang kulit. Seniman yang dikenal sebagai “Dalang Sanggit” dari Solo itu mementaskan lakon Sudamala atau Durgo Ruwat. Acaranya diadakan di kediaman beliau. Biasanya, pagelaran wayang kulit diiringi oleh puluhan kru pengrawit dan pesinden. Disaksikan oleh ratusan hingga ribuan penonton, tetapi malam itu, wayang kulit digelar tanpa kru dan penonton. Diniatkan sebagai doa untuk dunia yang sedang menghadapi pandemi Korona. Namun kita bisa menyasikannya via You Tube. Hingga saat ini sudah lebih ditonton oleh 70 ribu orang.

Meskipun telah lebih dari tiga kali saya menonton pertunjukkan itu, tetapi selalu banyak makna baru yang bisa disimpulkan. Pertama, pertunjukkan itu mengajarkan nilai empati dan simpati. Pandemi Covid-19 yang menerpa penduduk bumi tidak pandang suku, agama, ras, dan golongan. Tak elok rasanya jika saling tuduh menuduh dan curiga. Sebaliknya, masyarakat dunia harus bergandeng tangan, saling menopang dan menguatkan untuk menanganinya. Kesulitan dan keterbatasan karena Covid-19 adalah duka bersama. Bagi korban yang meninggal, kita doakan supaya syahid dan diterima di sisi-Nya. Bagi yang sedang menjalani masa pengobatan, semoga disembuhkan. Berbagai pihak yang berjuang menekan laju penyebaran Covid-19 diberi kekuatan dan kesabaran.

Kedua, pertunjukkan itu mengajarkan keseimbangan antara doa dan ikhtiar. Menyinergikan antara usaha, kewaspadaan, dan tawakal. Pertunjukkan tanpa penonton itu, selain sebagai doa untuk dunia juga sebagai ungkapan taat protokol kesehatan pencegahan penyebaran Covid-19, yakni menghindari kerumunan. Sebelum memulai pertunjukkannya, Ki Purbo Asmoro menyatakan bahwa pertunjukkan ini merupakan bentuk keprihatinan para seniman. Juga sebagai bentuk edukasi masyarakat untuk taat protokol kesehatan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah.

Ketiga, di tengah situasi yang sulit seperti saat ini, tidak sepantasnya jika kita mengeluh dan berpangku tangan. Sebaliknya, sekecil apapun yang bisa kita lakukan dalam upaya menghadapi Covid-19, maka pantas kita dermakan. Ki Purbo Asmoro mengakui bahwa dalam situasi seperti saat ini, para seniman wayang kulit pasti kehilangan sumber penghasilannya. Pertunjukkan seperti biasanya tidak mungkin diadakan. Namun demikian, kita tetap harus mengedepankan rasa syukur. Masih diberi kesehatan dan kehidupan. Dari rasa ini, kita akan bisa tetap optimis dan cerdas mengambil hikmah di balik musibah.