Baik secara diskursus maupun praktik, dialog lintas agama seringkali tidak memberi ruang yang cukup untuk keterlibatan perempuan. Argumentasi saya ini berangkat dari beberapa penelitian terdahulu, misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Mohammed Abu-Nimer yang dia tuangkan dalam artikel berjudul Religion and Peacebuilding: Reflections on Current Challenges and Future Prospects. Dalam artikel itu, Abu-Nimer menegaskan bahwa suara perempuan dalam aksi perdamaian dan dialog lintas agama masih kurang terwakilkan.
Dalam konteks Indonesia, ruang-ruang dialog lintas agama seringkali (untuk tidak mengatakan selalu) didominasi oleh suara laki-laki, terutama dalam dialog lintas agama yang berbasis organisasi formal-struktural. Eksklusi terhadap suara perempuan dalam dialog lintas agama dieksplorasi lebih lanjut oleh Wiwin S. A. Rohmawati dalam artikel hasil penelitiannya berjudul The Role of Women in Interreligious Dialogue in Indonesia: A Study on the Forum for Religious Harmony. Dengan meneliti lembaga Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Rohmawati menemukan bahwa salah satu sebab eksklusi ini adalah dominasi maskulin dalam budaya patriarki yang membuat kehadiran perempuan perempuan sebagai salah satu agen penting dalam dialog lintas agama menjadi terabaikan.
Budaya patriarki dalam konteks ini adalah budaya yang menganggap bahwa laki-laki, dalam banyak hal, harus lebih kuat dan lebih unggul dibandingkan perempuan. Dalam hal dialog lintas agama, Rohmawati menegaskan bahwa ketimpangan jumlah partisipasi perempuan dalam lembaga dialog lintas agama tidak muncul begitu saja, tetapi telah dilanggengkan melalui rangkaian panjang keadaan yang terkait dengan praktik dominasi maskulin yang dipelihara secara budaya, politik, maupun teologis.
Sederhananya, masyarakat patriarki lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam berbagai aspek, mulai dari lingkup keluarga hingga pada institusi negara. Anggapan semacam ini tertanam kuat dalam budaya patriarki dan diterapkan secara laten dalam pendidikan, agama, politik, dan bidang lainnya. Akibatnya, perempuan seringkali mengalami marjinalisasi dan subordinasi, yang kadang-kadang dipandang sebagai sesuatu yang wajar meskipun itu adalah bentuk dari ketidakadilan sosial. Di Indonesia, budaya patriarki masih merajalela, yang membuat suara perempuan terabaikan, dan dalam kasus ini, tercermin dalam banyak gerakan dialog lintas agama, termasuk dalam FKUB.
Munculnya Gerakan Perempuan untuk Dialog Lintas Agama
Merespon keadaan patriarkis itu, di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, gerakan lintas agama yang dipelopori oleh para perempuan mulai bermunculan. Pada bagian ini, saya spesifik ingin menyebutkan tiga di antaranya. Ketiga gerakan ini saya pilih dengan alasan kedekatan saya dengan ketiganya, dekat dengan lingkaran sosial saya, dan sama sekali tidak bermaksud untuk mengeksklusi gerakan perempuan yang lain. Tujuan menyebutkan ketiga gerakan perempuan dialog lintas agama di bagian ini adalah untuk memperlihatkan bahwa, dengan adanya gerakan-gerakan ini, telah ada upaya untuk meretas budaya patriarki yang bekerja dalam proyek-proyek sosial terutama dalam dialog lintas agama.
Gerakan pertama, Srikandi Lintas Iman (SRILI), adalah gerakan perempuan lintas agama yang berbasis di Yogyakarta yang didirikan pada tanggal 29 Agustus 2015. Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Wiwin S. A. Rohmawati, Kamilia Hamidah, dan Erin Gayatri, saat ini, SRILI telah beranggotakan lebih dari 200 anggota dari latar belakang sosial, ekonomi, suku, pendidikan, usia, dan agama yang berbeda-beda. SRILI didirikan oleh sekelompok perempuan dari berbagai latar belakang agama yang ingin berkumpul, berbagi ide, dan berkolaborasi untuk mempromosikan isu keragaman agama dan sosial-budaya. Gerakan perempuan ini lahir dari kepedulian bersama terhadap peran perempuan dalam membina kerukunan, keamanan, keadilan, dan perdamaian dalam masyarakat. Dalam konteks ini, perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan komunitas yang inklusif.
Gerakan kedua, Cadar Garis Lucu (CGL), adalah gerakan perempuan lintas agama yang diinisasi oleh para perempuan dari berbagai latar belakang pendidikan, asal daerah, dan hobi. CGL lahir dari semangat untuk melawan stigma negatif terhadap perempuan muslim bercadar sekaligus untuk membangun kesalingpahaman antar perempuan dari agama yang berbeda. Selain itu, eksistensi gerakan perempuan bercadar ini juga berangkat dari kurangnya ruang aman dan nyaman bagi perempuan bercadar untuk mengekspresikan diri, hobi, dan pemikiran progresif mereka yang, oleh masyarakat luas, seringkali dianggap tidak merepresentasikan perempuan muslim bercadar. Sekarang, CGL lebih banyak melakukan program-program dialog dan edukasi mereka melalui media sosial.
Gerakan ketiga, Perempuan Pelintas Batas, adalah gerakan perempuan untuk dialog lintas agama yang diinisiasi oleh Suryaningsi Mila, Dosen Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kristen Sumba dan alumni Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), Universitas Gadjah Mada. Berdasarkan catatan Ihsan Kamaluddin, gerakan perempuan pelintas batas ini terdiri atas para perempuan dari desa Wendewa Barat dan desa Kampung Watu Asa, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur. Dua kelompok perempuan dari dua desa dan dua agama berbeda ini berkumpul untuk saling membacakan kitab suci mereka dan berbagi refleksi tentang kitab suci satu sama lain. Dari kelompok perempuan pelintas batas ini, kita dapat belajar bahwa perempuan juga bisa berperan dalam membuka sekat-sekat agama.
Kreativitas Gerakan Perempuan untuk Dialog Lintas Agama
Salah satu kelebihan dari gerakan dialog lintas agama yang digerakkan oleh para perempuan adalah gerakan mereka cenderung lebih kreatif. Mereka tidak hanya menggunakan gerakan lintas agama semata-mata sebagai misi kegiatan berdialog antar orang-orang dari agama yang berbeda, tetapi mereka bisa merambah ke bidang-bidang lain, yang lebih luas, yang terkait erat dengan perempuan dan pemberdayaan. Dengan tersedianya ruang bagi perempuan dalam gerakan dialog lintas agama, memungkinkan adanya kesempatan bagi ekspresi bebas dan percakapan yang intim antar individu yang berbeda. Hal ini, pada gilirannya, membantu membina hubungan yang lebih dalam dan memungkinkan penguatan timbal balik melalui berbagai program-program kreatif mereka.
Dalam gerakan Srikandi Lintas Iman (SRILI), misalnya, mereka bukan hanya fokus pada kegiatan dialog lintas iman tapi mereka juga mengintegrasikan kegiatan dialog lintas iman mereka dengan pemberdayaan ekonomi perempuan. Salah satu proyek pemberdayaan ekonomi SRILI, ketika pandemi Covid-19 datang, adalah pengelolaan Pasar Online Srili Bakoelan dan Nglarisi Dagangan Teman atau membeli produk teman melalui media sosial. Dengan program semacam itu, SRILI turut berkontribusi dalam memberdayaan ekonomi umat dengan memperkuat solidaritas perempuan lintas agama. Selain itu, SRILI juga terlibat dalam diskusi pendidikan di mana mereka turut menyusun dan mendiskusikan cara terbaik mengimplementasikan pendidikan agama yang inklusif.
Begitu pula dengan gerakan Cadar Garis Lucu (CGL). Mereka juga kreatif dalam mengintegrasikan gerakan lintas agama mereka dengan kampanye isu-isu gender, seperti kekerasan seksual, pentingnya peran perempuan dan kesetaraan, merawat bina damai, dan isu lainnya yang sedang hangat di masyarakat luas. Para perempuan bercadar di CGL juga ikut serta mengadakan diskusi-diskusi untuk perayaan hari-hari besar keagamaan dan hari-hari besar kenegaraan. Pilihan topik yang interdisiplin dalam berbagai kegiatan mereka juga menunjukkan kreativitas mereka dalam membangun ruang percakapan pada isu-isu yang lebih luas, alih-alih terbatas pada isu agama.
Singkatnya, peran para perempuan dalam gerakan dialog lintas agama menjadi dual fungsi, selain menyuarakan pentingnya dialog lintas agama untuk perdamaian dan keharmonisan sosial, mereka juga sekaligus mengintegrasikannya dengan misi-misi tertentu, misalnya untuk kewargaan yang inklusif dengan menyediakan berbagai ruang aman bagi para perempuan, mengusahakan pemberdayaan ekonomi, meruntuhkan stigmatisasi, dan lain sebagainya.