Siapa yang memungkiri bahwa ideologi khilafah ala HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) itu dilarang di Indonesia? Sejak beberapa tahun yang lalu, ijin atas berdirinya HTI itu sudah dicabut oleh negara. Pencabutan atau pembubaran HTI ini diberitakan secara massif di media-media massa Indonesia, sehingga cukup sulit menjumpai ada orang Indonesia yang tidak tahu bahwa HTI itu organisasi yang terlarang di Indonesia.
Namun, meskipun HTI itu secara legal formal sudah dilarang, keberadaan ideologi mereka masih terus membayang di berbagai sisi negeri ini, terutama di dunia maya. Hampir setiap hari saya cek trending topik di twitter, saya lihat tagar-tagar mereka selalu masuk 5 besar, seperti #rindusyariah, #khilafahajaranislam, #khilafahdinusantara, dst.
Bahkan, terbaru 30 September 2020 kemarin, #KhilafahMenyetahterakanRakyat berhasil memuncaki trending topik di twitter. Seolah meniru gerakan penculikan para jenderal di malam 30 September 1965, cuma bedanya mereka tidak melakukannya lewat tindakan militeristik. Di 30 September 2020 ini gerakan HTI merongrong Pancasila dilakukan lewat dominasi media sosial.
Rentetan suara-suara penegakan khilafah itu jelas sekali menandakan bahwa betapapun HTI sudah dilarang di Indonesia, tetapi ideologi mereka masih terus membayangi derap langkah publik NKRI. Lantas bagaimanakah caranya agar suara-suara sumbang ideologi khilafah ala HTI ini bungkam atau minimal tiarap?
Sebenarnya bangsa ini sudah sangat pengalaman dalam soal bungkam membungkap ideologi. Nun silam ketika Soeharto hendak naik tahta sudah pernah melakukan hal ini. Dengan model kepemimpinannya yang diktator, Bapak Pembangunan ini berhasil menyingkirkan kekuatan PKI yang pada waktu itu sudah cukup kuat, bahkan termasuk partai dengan perolehan suara yang sangat besar.
Kala itu, Soeharto memanfaatkan cara-cara kejam untuk menggayang PKI, mulai dari politik adu domba, manipulasi sejarah, hingga operasi pembunuhan besar-besaran. Tindakan Soeharto itu sangat ampuh membumi-hanguskan PKI beserta ideologinya. Bahkan hingga saat ini PKI yang dulu sempat berada di peringkat keempat saat pemilu 1955, tak sanggup lagi untuk sekedar bangkit dari kubur, kerena memang nyaris betul-betul lenyap.
Kalau hendak membuat gerakan khilafah ala HTI bungkam, maka tentu saja cara kejam ala orde baru itu akan sangat efektif. Namun, mengingat bangsa ini punya prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, maka tak sepantasnya bangsa ini mengulang kembali sejarah berdarah masa silam itu.
Masih ada opsi lain yang bisa dipilih untuk membuat suara-suara sumbang HTI ini bungkam atau minimal tiarap. Opsi lain itu adalah melawan ideologi dengan ideologi. Ideologi khilafah yang sudah mendarah daging di benak orang-orang HTI itu harus dilepas secara perlahan, sistematis, massif, dan istiqamah dengan menandingkannya dengan ideologi Islam kebangsaan.
Orang-orang HTI selama ini terlihat begitu aktif memainkan kampanye ideologi khilafah di media sosial seperti Twitter. Agar dominasi mereka di Twitter tak berjalan mulus, maka kalangan Islam kebangsaan yang begitu dominan di Indonesia harus juga aktif terjun di twitter untuk melambungkan tagar-tagar tandingan. Jangan mau kalah militan sama orang-orang HTI.
Selain itu, kalangan Islam kebangsaan juga mesti tanpa bosan terus aktif menggelorakan urgensi gagasan Islam dan kebangsaan. Runtuhkan terus menerus ide-ide penyokong gagasan khilafah ala HTI di ruang-ruang publik, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Massifkan, istiqamahkan dan sistematiskan kampanye ini jangan sampai kalah istiqamah dan massif dari orang-orang HTI.
Dengan demikian, pelan tapi pasti orang-orang HTI pada akhirnya akan luluh. Seiring dengan seringnya mereka mendengarkan baiknya gagasan Islam kebangsaan dan cacatnya implementasi gagasan khilafah untuk era kekinian, gagasan-gagasan Islam kebangsaan ini diam-diam akan hinggap di benak mereka. Seiring dengan seringnya mereka berinteraksi dengan kalangan Islam kebangsaan, diam-diam pikiran mereka akan semakin terbuka. Lama kelamaan mereka akan menyadari bahwa gagasan Islam kebangsaan itu pada prinsipnya—dengan menafikan politik identitas—adalah baik dan juga bersumber dari Islam.
Sejarah Indonesia sudah sudah pernah mengisahkan hal demikian. Dulu, di awal-awal kemerdekaan, orang-orang NU dan Muhammadiyah yang tergabung dalam partai Masyumi, sangat getol menghendaki pemberlakukan Piagam Jakarta. Bahkan, catatan sejarah mengatakan bahwa KH. Wahid Hasyim adalah salah satu tokoh yang membidani Piagam Jakarta, walaupun tak lama berselang, yaitu pada 18 Agustus 1945, beliau akhirnya berani melepaskan Piagam Jakarta dan beralih pada Pancasila saat ini demi kesatuan dan persatuan NKRI.
Seiring waktu berlalu dan seiring dengan seringnya kalangan Islam (NU dan Muhammadiyah) berinteraksi dengan kalangan kebangsaan—seperti interaksi Moh Hatta dengan KH. Wahid Hasyim jelang pengesahan UUD 1945—pada akhirnya mereka bisa lepas dari sekat politik identitas dan menerima NKRI sebagai keabsahan. Bahkan, saat ini NU dan Muhammadiyah telah menjadi garda terdepan dalam mengawal pemahaman Islam kebangsaan, yang menganggap Pancasila sebagai bagian dari Islam.
Berpijak pada sejarah tersebut, agaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kampanye massif, istiqamah dan sistematis gagasan kebangsaaan pada akhirnya akan mampu membuat ideologi khilafah ala HTI terdisiplinkan, walaupun tentu saja perlawanan dari mereka akan tetap ada. Cara ini memang akan membutuhkan waktu yang cukup lama, tetapi ini jelas lebih baik daripada mengikuti model gayang PKI ala Soeharto yang sadis itu. (AN)