Perubahan HTI Sebagai Gerakan Klandestin

Perubahan HTI Sebagai Gerakan Klandestin

HTI sebagai organisasi bisa mati, tapi ideologi mereka tetap eksis

Perubahan HTI Sebagai Gerakan Klandestin
HTI sudah dibubarkan dan proses hukumnya berjalan. Lalu, bagaimana dengan ideologi, apakah bisa hilang juga? Pict by CRCS UGM

Sejak dikeluarkannya surat pencabutan badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia per tanggal 18 Juli 2017, sudah hampir setahun perdebatan ini berlangsung, tampaknya kita perlu bertanya, seberapa efektif pencabutan ini untuk menghentikan gerakah khilafah yang diusung HTI?

Saya tidak akan masuk ke perdebatan persoalan PERPPU yang sekarang sudah menjadi undang-undang itu, tapi saya akan melihat apakah yang terjadi pasca pembubaran HTI ini? Apakah ide soal Khilafah yang mereka angkat selalu akan menguap seiring dengan pembubaran dari organisasinya? Atau sekarang mereka beradaptasi dengan keadaan untuk mencari momen yang tepat?

Meski begitu, HTI masih bisa diperdebatkan apakah ini organisasi dakwah Islam atau sebuah partai politik yang berselimutkan organisasi yang sedang memperjuangkan agenda Khilafah. HTI adalah sebuah organisasi yang memiliki ideologi yang diusungnya. Oleh sebab itu, pemerintah sepertinya berharap bisa menghentikan penyebaran ajaran pendirian khilafah dengan mengeluarkan mencabut status hukum HTI.

Jika kita buka lembaran sejarah, maka pembubaran dan bahkan pembinasaan sebuah paham atau aliran adalah sesuatu yang tak asing dalam sejarah dunia bahkan Islam tak luput daripadanya. Bahkan jika melihat gelombang pasang surutnya sebuah aliran atau paham dalam sejarah Islam dari yang biasa hingga yang berdarah-darah.

Dalam persoalan politik, pasca Nabi wafat persoalan ini banyak menelan jiwa. Kita mungkin takkan lupa bagaimana terbunuhnya Khalifah Utsman, Ali hingga Hasan bin Ali, atau bagaimana pembantaian yang dilakukan oleh pendiri Bani Abbasyiah kepada sisa keluarga dari Bani Umayyah, semuanya menumpahkan darah. Ini masalah politik, jelas-jelas masalah kekuasaan dan teritorial yang diperebutkan.

Abdurrahman bin Muljam melakukan pembunuhan kepada Ali Bin Abi Thalib di Masjid Agung Kufah. Ali, yang pada saat itu berumur 62 atau 63 tahun, meninggal karena luka-lukanya, dua hari setelah Abdurrahman bin Muljam memukul kepalanya dengan pedang yang dilapisi racun, pada tanggal 21 Ramadan 40 H (28 Januari 661 M). Abdurrahman tega membunuh Ali hanya dengan alasan Ali tidak mampu menyelesaikan permasalahan pembunuhan Utsman, dan beberapa persoalan waktu itu.

Peristiwa Ini yang digadang-gadang sebagai lahirnya paham Khawarij. Menumpas Khawarij pun harus memakai “tangan besi” yang juga berdarah-darah. Bayangkan untuk timbulnya sebuah aliran, kita sudah melihat pertumpahan darah. (Baca: Kisah Ibnu Muljam, pembunuh sayyidina Ali)

Kasus-kasus pertumpahan darah tak berhenti di sana, misalnya apa yang terjadi kepada Imam Ibnu Hambal, hanya dengan ketidaksetujuan beliau atas konsep kemakhlukan Alquran, beliau harus mengalami siksaan yang begitu berat dan bahkan harus menjalani hukuman penjara yang pedih.

Dalam sejarah Tasawuf, kita pernah mendengar bagaimana pengalaman yang harus dilalui pengikut dari sufi Hamzah Fansuri dan Syamsudin As-Sumatrani, yang dituduh sesat oleh Mufti Kerajaan Aceh pada masa itu, dan dihukum bunuh bahkan semua buku-buku ajaran mereka dimusnahkan, namun paham yang disebarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin As-Sumatrani tidaklah punah dengan apa yang telah mereka lalui.

Namun apakah HTI akan hilang atau punah dari peredaran di Indonesia, inilah pertanyaan kita semua. Jawaban pertanyaan ini adalah TIDAK.

Bagaimanapun ketidaksetujuan kita terhadap pemikiran dan ide-ide dari HTI, hal itu tidak akan menghilangkan ajaran-ajaran mereka. Apalagi mereka sudah sangat lama berada dan menancapkan pemikirannya di Indonesia. Kader mereka tak bisa dikatakan sedikit, dan kebanyakan sangat militan dalam memegang ajaran dari HTI ini.

Oleh sebab itu, ajaran HTI tak serta merta musnah dengan pencabutan status hukum organisasi ini, apalagi jika kita lihat sejarahnya timbulnya HTI di Indonesia ini lebih banyak bergerak secara bawah tanah sebelum mereka mendapatkan izin badan hukum di tahun 2014 di era pemerintahan SBY.

Bagi saya, pemberian izin badan hukum ini perlu dipertanyakan apa pertimbangan pemerintah pada saat itu memberikan status badan hukum kepada organisasi seperti HTI? Pemerintah waktu itu tentu tidak bisa lepas tangan begitu saja.

Menarik untuk dicermati, apakah yang akan dilakukan HTI di kalangan bawah pasca dibubarkan? Kemungkinan pengajian dan pembahasan ajaran HTI terbatas para pengikutnya tetap berjalan, namun kegiatan seperti penyebaran pamflet milik HTI setiap jumat mungkin berhenti, malah berubah wajah yang lain.

Pengajiaan-pengajiaan yang beredar di kampus dan masyarakat untuk meraih dukungan pada HTI atas nama penindasan ormas Islam mungkin tetap berjalan.

Yang jelas, saya ingin menegaskan bahwa yang harus dilakukan dalam perebutan narasi soal Islam dengan kelompok seperti HTI itu akan tetap berlanjut, sebab dalam permasalahan ini gerakan yang dilarang seperti HTI akan malah bisa membuat kader-kader mereka makin militan dalam menyebarkan pemahaman mereka, namun kegiatan-kegiatan mereka ini akan semakin sulit dilacak sebab mereka pasti bergerak secara “bawah tanah” atau klandestin.

Penggunaan kata “klandestin” ini sebenarnya mengacu dari gaya operasi intelejen yang rumit yang bergerak untuk menggalang dan mobilisasi massa. Beradaptasinya HTI pada gerakan politik di negeri ini mungkin jadi bukti bahwa adanya usaha infiltrasi dalam memperjuangkan syariat yang selama ini diperjuangkan oleh gerakan yang digawangi oleh FPI dan ormas Islam lainnya. Dengan slogan “Indonesia Bersyariah”, FPI dengan gerakan aksi bela Islamnya bisa berkawan dengan HTI yang mengusung “penengakkan khilafah”.

Kedua slogan usungan dua ormas ini terlihat satu nada. Namun, sebenarnya menyimpan perbedaan yang cukup besar dalam cita-cita besarnya. “Indonesia Besyariah” adalah slogan yang masih menginginkan keberadaan Indonesia sebagai satu bangsa dan negara yang berdaulat, namun menegakkan hukum syariah di dalamnya.

Sedangkan HTI yang mengusung “tegaknya khilafah”, malah mengharapkan bangkitnya sebuah dinasti khilafah yang bisa membawahi seluruh wilayah kekuasaannya dalam satu kepemimpinan.

Arkian, isu soal menengakkan khilafah ala HTI ini terus beredar dan selalu beradaptasi dengan keadaannya, seperti kita lihat pengalaman-pengalaman di atas seperti Syamsuddin As-Sumatrani dan Ibnu Hambal. Negeri kita yang tercinta ini memiliki pengalaman menumpas pemahaman atau ideologi yaitu saat penumpasan ideologi komunisme.

Orde Baru saat itu menghancurkan ideologi itu dengan segala daya dan upaya, berhasilkah? Mungkin masih bisa diperdebatkan, tapi sulit dikatakan berhasil 100%. Buktinya hantu PKI dan ideologinya masih terus didengungkan akan kebangkitannya.

Ah sudahlah, ideologi memang sulit diberantas, dia akan terus tumbuh walau dihalang-halangi. Wacana tandingan adalah jawaban dari persoalan ini.

 

Fatahallahu alaihi futuh al-Arifin