Baru-baru ini Menteri Agama mengatakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) berencana memulangkan sejumlah warga Indonesia yang saat ini berada di negara konflik Suriah. Pihak BNPT sendiri menyatakan ada sekitar 600-an orang Indonesia di Suriah. Sebenarnya rencana serupa pernah mengemuka tahun lalu, menanggapi seruan Hak Asasi Manusia PBB yang mendesak sejumlah negara untuk bertanggung jawab atas warga negara mereka yang ada di Suriah dan mengambil mereka kembali jika terbukti tidak bersalah.
Kali ini rencana pemerintah tersebut rupanya mendapat banjir dukungan dari sejumlah politisi dan aktivis, meskipun ada juga yang menolaknya. Saya pribadi terus terang termasuk yang tidak setuju dengan rencana itu dengan beberapa alasan di bawah ini.
Semua tahu bahwa orang-orang Indonesia yang tengah berada di Suriah itu seluruhnya terkait dengan ISIS, dan di dunia ini sepakat bahwa ISIS adalah organisasi teroris. Bahkan antara kelompok pemberontak dan rezim yang tengah berkonflik di Suriah, dalam hal ini keduanya sepakat ISIS adalah organisasi teroris (tandzim irhaby).
Betul memang, orang-orang Indonesia tersebut, yang saat ini ditampung di kamp pengungsian ada macam-macam. Ada dari mereka yang mengaku membelot dan kecewa hidup bersama ISIS. Mereka ini sudah tinggal di kamp pengungsian sekitar dua tahun, sebelum kekhalifahan ISIS runtuh.
Tapi perlu diketahui, mereka yang mengaku membelot dari ISIS, bila didalami, sebenarnya kekecewaannya mereka pada ISIS, bukan berarti kecewa pada ideologinya yang diusung. Mereka hanya kecewa ternyata pemerintahan islam yang dijalankan ISIS tidak seperti harapan dan impian mereka.
Jadi, apakah pemerintah tetap akan memulangkan mereka ke tanah air? Sementara mereka masih menyimpan ilusi negara islam. Mereka ini hanya berubah pikiran, bukan keyakinan.
Kemudian, sebagian lagi dari orang-orang Indonesia yang tinggal di kamp ini, adalah “warga kekhalifahan” yang mengungsi dari wilayah terakhir ISIS saat dikalahkan di Baghouz, Suriah.
Kini setelah mereka hidup di kamp, kalaupun ada di antara mereka yang bersuara ingin pulang, tak lain karena keadaan mereka saat ini hidup di pengungsian yang pas-pasan, bukan karena menyesali telah bergabung ISIS.
Kalangan ini tetap memiliki kesetiaan ideologi dan loyal kepada ISIS, membenarkan aksi-aksi sadis ISIS selama ini dan percaya kebangkitan kembali khilafah ISIS. Lalu apakah orang-orang macam ini akan dipulangkan ke tanah air? Coba pikirkan.
Terkait rencana kepulangan keluarga ISIS tersebut, seringkali dikatakan bahwa mereka mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Seakan-akan mengesankan mereka bukan ancaman keamanan, seolah kalangan rentan yang harus segera ditolong.
Terserah dibilang apa, namun bagi saya, perempuan dan anak-anak sama saja, mereka tetap berbahaya, karena doktrin jihad ISIS tidak mengenal gender dan usia. Anak-anak yang pernah tinggal bersama ISIS telah dicuci otak dengan kurikulum teror dan merasakan pelatihan militer (tadrib asykary).
ISIS memiliki program merekrut kombatan anak-anak yang disebut Asybal Khilafah atau Anak Singa Kekhalifahan (Lion Cubs of the Caliphate). Semua orangtua keluarga ISIS wajib mengirim putra-putranya mengikuti program tersebut.
Seringkali, anak-anak itu muncul dalam video propaganda rilisan Al Hayat, media resmi ISIS. Para kombatan cilik ini unjuk kebolehan mengoperasikan senjata api, hingga bertindak sebagai algojo mengeksekusi mati para tahanan ISIS.
Begitupun kaum perempuannya, mereka ada di sana bukan karena diculik seperti perempuan-perempuan Yazidi Irak yang diperbudak. Mereka secara sadar melakukan perjalanan dan bergabung dengan kelompok teroris di negara konflik.
Perlu dipahami juga keterlibatan perempuan dalam ISIS, karena tidak seperti kelompok militan lainnya, dalam doktrin jihad ISIS perempuan memiliki peran setara dalam memperjuangkan kekhalifahan. Maka tidak heran banyak kaum perempuan bergabung ISIS. Satu lagi jangan sampai dilupakan, bahwa sudah banyak fakta kasus terorisme di Indonesia dilakukan perempuan-perempuan teralifiasi ISIS.
Sekalipun ISIS telah dinyatakan kalah setelah kota terakhirnya berhasil direbut setahun yang lalu. Kemudian pemimpinnya Abu Bakar Al-Baghdadi terbunuh beberapa bulan kemudian. Saya tekankan bahwa ISIS masih belum tamat dan menjadi ancaman nyata.
Beberapa hari setelah kematian Al Baghdadi, ISIS segera memiliki pemimpin baru. Sel-sel tidur ISIS di Irak dan Suriah aktif kembali memanfaatkan ketidakstabilan dua negara Arab itu.
Jadi, pemerintah sebaiknya jangan sekali-kali terbersit keinginan untuk memulangkan keluarga ISIS di Suriah. Sampai detik ini saya menilai pihak terkait di sini tidak sepenuhnya siap dan memahami bahaya gerakan dan ideolog beracun ISIS, bahkan bagaimana cara menanganinya. Biarkan mereka tetap “di karantina” di Suriah.