Nasib Perempuan dan Anak-Anak Simpatisan ISIS Bila Kembali ke Indonesia

Nasib Perempuan dan Anak-Anak Simpatisan ISIS Bila Kembali ke Indonesia

Nasib Perempuan dan Anak-Anak Simpatisan ISIS Bila Kembali ke Indonesia
ISIS menggunakan islam sebagai teror. Photo by Daily Mail

Pada 2017, kepolisian Indonesia sudah memberikan estimasi bahwa 104 wanita dan 99 anak Indonesia telah pergi ke Suriah dan bergabung dengan ISIS. Setelah ISIS kehilangan teritorinya akibat gempuran dari SDF (Syrian Democratic Force), pasukan koalisi kurdis yang dipimpin oleh Amerika Serikat, banyak wanita dan anak-anak yanag mengungsi di camp SDF di bagian utara timur Suriah. Setidaknya ada 50 dan 38 wanita dan anak-anak Indonesia berada di kamp tersebut. Angka tersebut hampir mencapai 40% dari estimasi kepolisian Indonesia di 2017 bahwa 104 dan 99 wanita dan anak-anak Indonesia telah bergabung dan masih hidup di Suriah. Terdapat kemungkinan wanita dan anak-anak lain yang masih hidup tinggal di kamp pengungsian lain di Suriah.

Seperti yang telah dikemukakan dalam beberapa situs berita, pemerintah Indonesia berniat untuk memulangkan para mantan pendukung ISIS yang ingin kembali pulang walaupun terdapat perdebatan mengenai status kewarganegaraan mereka yang sudah meninggalkan Indonesia demi bergabung dengan ISIS. Pemerintah berencana untuk melakukan verifikasi terhadap identitas WNI yang ada di pengungsian di bagian utara timur Suriah – walaupun sampai saat ini belum ada lanjutan kabar terkait hal ini -. Keputusan pemerintah untuk melakukan verifikasi sepertinya terdorong oleh amanat UUD 1945 bahwa Indonesia wajib untuk menjaga dan memberikan perlindungan kepada warga negaranya di mana saja.

Sehingga jika pemerintah mencabut status kewarganegaraan mereka, hal tersebut dapat dilihat sebagai tindakan yang melanggar amanat konstitusi negara. Selain itu, UU anti-terorisme yang baru disahkan pada 25 Mei 2018 juga tidak mencantumkan kemungkinan pencabutan status kewarganegaraan bagi orang-orang yang bergabung dengan kegiatan terorisme di luar negeri. Hal yang perlu menjadi catatan adalah pengembalian warga negara Indonesia dari Suriah merupakan proses panjang yang dimulai dari proses verifikasi para orang-orang yang ingin kembali.

Para simpatisan ISIS sepertinya kehilangan passport mereka entah karena diambil paksa oleh ISIS atau mereka yang membakar passport tersebut seperti yang terlihat dalam beberapa video ISIS. Melihat kasus repatriasi sebelumnya pada keluarga Djoko Wiwoho, dibutuhkan waktu 8 bulan untuk akhirnya bisa memulangkan mereka ke Indonesia pada Agustus 2017.

Jika para wanita dan anak-anak simpatsian ISIS kembali ke Indonesia, mereka dapat didakwa sesuai dengan pasal yang terdapat dalam UU anti-terrorisme terbaru. Perempuan dan anak berumur 12 hingga 18 tahun dapat dikenai pasal karena menjadi anggota dari kelompok teroris yakni ISIS. Selain itu mereka juga kemungkinan akan terkena pasal:

Pertama, partisipasi dalam latihan IS baik militer maupun non militer. Setidaknya ada 2 video resmi ISIS pada 2015 dan 2016 yang menunjukan remaja Indonesia tengah mengikuti indoktrinisasi di sekolah-sekolah ISIS, yang mereka sebut sebagai tanah Khalifah Suriah. Dalam video tersebut nampak anak remaja laki-laki mengikuti latihan militer seperti tembak-menembak dan juga menyatakan sumpah setia kepada ISIS dengan membakar passport mereka. Salah satu anak yang kini berada di pengungsian SDF, Shamil Mohammed, menyatakan bahwa dia telah menerima indoktrinisasi ISIS dan juga pelatihan pengenalan senjata-senjata ketika dia berada di Suriah bersama dengan keluarganya.

Sampai saat ini, belum ada informasi terkait apakah wanita Indonesia pernah mengikuti latihan militer di Suriah. Hal yang perlu menjadi catatan adalah bahwa mereka ditempatkan di rumah khusus perempuan oleh ISIS ketika mereka tiba di Suriah. Jika proses indoktrinisasi ISIS di kamp-kamp atau sekolah dikategorikan sebagai salah satu bentuk latihan oleh pemerintah, maka perempuan-perempuan dan anak-anak simpatisan ISIS dapat didakwa berdasarkan UU anti-terorrisme yang baru jika mereka kembali ke Indonesia.

Kedua, membuat dan menyebarkan propaganda teroris, atau merekrut orang-orang untuk bergabung dengan ISIS. Beberapa wanita Indonesia yang bergabung dengan ISIS tidak hanya mengikuti suami mereka tapi mereka juga memiliki peran aktif dalam membuat dan menyebarkan propaganda IS untuk masyarakat Indonesia.

Salah satu wanita yang paling terkenal adalah Umm Shabrina alias Siti Khadijah, ia merupakan admin dari sebuah website pro-ISIS di Indonesia yakni Khilafah Daulah Islamiyyah. Ia pergi ke Suriah pada 2014 bersama dengan suaminya dan empat anaknya. Ia menjelaskan tentang tips-tips berhijrah dengan detail di akun sosial medianya. Selain itu, Rafiqa Hanum dan Hurin Thin Lestari, istri-istri dari Bahrun Naim, otak dari beberapa plot aksi teroris di Indonesia yang kini telah dikabarkan tewas di Suriah, juga aktif mempropagandakan indahnya hidup dibawah naungan khilafah di Suriah, seperti contoh murahnya harga-harga sembako di Suriah.

Postingan wanita-wanita ini menjadi penggerak dan menciptakan motivasi bagi orang-orang untuk pergi ke Suriah, baik wanita maupun pria. Postingan Umm Shabrina telah menginspirasi seorang laki-laki yang bernama Shabran Ya Nafsi untuk pergi ke Suriah dan akhirnya ia tewas pada 2015 di Gunung Sinjarm Iraq. Sementara Rafiqa Hanum berhasil tidak hanya merekrut perempuan tetapi dua laki-laki melalui Facebook untuk bergabung bersama ISIS.

Tantangan

Walaupun UU anti-terorisme terbaru memberikan kewenangan kepada para penegak hukum di Indonesia untuk memberikan menjerat perempuan dan anak-anak simpatisan ISIS yang kembali ke tanah air, namun realita yang ada lebih kompleks. Mereka mungkin saja di kenakan pasal karena bergabung dengan IS, dan anak-anak berusia 12 hingga 18 tahun dapat didakwa di Pengadilan Khusus Anak, namun apakah dakwaan tambahan seperti partisipasi dalam training, membuat atau menyebarkan propaganda teroris dan merekrut orang untuk bergabung dengan ISIS dapat diterapkan keapda mereka? Ada beberapa tantangan hukum dan sosial terhadap isu ini.

Terkait dengan tantangan hukum, pertanyaan yang patut diajukan adalah apakah pemerintah Indonesia akan mengkategorikan indoktrinisasi ISIS di kamp-kamp di Suriah, di mana para perepuan dan anak-anak terlibat dan mengikutinya, sebagai sebuah ideological training, dan kemudian diangap sama dengan simpatisan ISIS yang mengikuti latihan militer? Jika kemudian hal tersebut tidak dikategorikan sebagai latihan, maka para wanita dan anak-anak dapat terbebas dari dakwaan terkait dengan sanksi terhadap ikut serta pelatihan. Juga terhadap pasal yang berkaitan dengan membuat atau menyebarkan propaganda ISIS dan rekrutmen, akan menjadi tantangan bagi jaksa untuk membuktikan hal ini di hadapan sidang, terlebih jika para akun sosial media para simpatisan ini sudah dihapus atau dihilangkan. Inilah tantangannya karena keterbatasan penyediaan bukti di mana sebagian besar bukti didasarkan pada cerita mereka, dan apakah cerita mereka dapat dipercaya sepenuhnya? Menjadi tantangan lain bagi para penegak hukum di Indonesia.

Tantangan sosial lainnya adalah apakah pemerintah Indonesia mampu untuk mengunakan nuansa gender dalam pendekatan penanggulangan terorisme ketika menghadapi para WNI yang kembali? Dalam UU anti-terorisme 2003, para wanita dan anak-anak simpatisan ISIS yang pulang pada Augustus 2017 tidak terkena dakwaan apapun, tidak seperti para simpatisan laki-laki. Kelompok ini terdiri dari 17 orang yang pulang ke tanah air.

Salah satu keputusan untuk tidak memberikan sanksi kepada perempuan dan anak-anak adalah karena mereka diangap sebagai korban, walaupun terdapat fakta dimana para wanita dalam kelompok tersebut bukan hanya sebagai pengikut saja ketika mereka pergi dan bergabung dengan ISIS di Suriah. Sebebarnya, para simpatisan ISIS yang kembali ke tanah air dapat saja dikenakan pasal terkait dengan menyembunyikan informasi bahwa keluarganya berencana untuk bergabung dengan ISIS, atau dalam bebebrapa hal, merekrut anggota keluarga untuk bergabung dengan ISIS.

Sangat penting untuk dicatat bahwa UU anti-terorisme yang baru menyediakan hukuman yang lebih keras bagi laki-laki dan perempuan yang dengan sengaja melibatkan anaknya dalam kegiatan teroris. Kita masih harus menunggu apakah jaksa akan menggunakan hukum ini terhadap wanita dan anak-anak ketika bukti menunjukkan bahwa mereka memiliki peran aktif dalam latihan, propaganda, dan rekrutmen.

Jika pada akhirnya mereka akan dipersekusi, maka tantangan selanjutnya dalah menyediakan pusat rehabilitasi yang terarah dan efektif bagi para wanita dan anak-anak di penjara. Program rehabilitasi juga harus memiliki program yang fokus pada kesejahteraan dan motivasi mereka.

Jika tidak, maka ada kemungkinan mereka akan mencari bantuan dari kegiatan atau badan amal yang dikelola oleh kelompok simpatisan ISIS di Indonesia. Tanpa adanya program deradikalisasi dan rehabilitasi, maka para simpatisan ISIS yang tetap radikal akan meneruskan indoktrinisasi mereka terhadap anak-anak mereka atau menikahi laki-laki yang juga simpatisan ISIS yang dapat menanggung dan memberikan solusi terhadap masalah keuangan mereka. Jika itu terhadi, maka siklus radikalisasi dalam ikatan kekerabatan tidak akan berhenti.

 

*Tulisan ini merupakan terjemahan dari RSIS Commentary dengan judul Returning Indonesian IS Women and Children: What’s Next?