Sejumlah tokoh nasional hadir di Tugu Proklamasi hari ini (18/8) guna mendeklarasikan gerakan aksi bernama Koalisi Aksi atau disingkat KAMI. Mulai dari Mantan jenderal Gatot Nurmantyo, Prof. Din Syamsudin, Rocky Gerung, Titik Soeharto hingga Amien Rais.
“Kami ingin momentum kemerdekaan ini untuk mengingatkan (negara-red),” tutur jenderal Gatot dalam sambutannya sebagai inisiator gerakan KAMI ini.
Ia juga mengingatkan tentang proxi war dan senjata biologis yang mungkin berpotensi untuk menghancurkan negeri ini. Apakah yang dimaksud itu Covid-19? Panglima TNI tidak mengiyakan atau membantah. Ia justru mengingatkan pemerintah untuk serius.
Ya, betul. Pemerintah memang tampak kebingungan menghadapi virus ini dan efeknya ke masyarakat. Tapi, ada yang cukup menarik dalam pidato jenderal ini dan ada akhir tulisan ini.
Nah, sebelum ke sana, kita diingatkan oleh Prof. Din Syamsudin untuk tidak meremehkan gerakan ini. Apalagi, ini gerakan moral dan sudah tersebar di seluruh penjuru negeri, bahkan hingga luar negeri.
Gerakan ini menuntut pemerintah untuk lebih memerhatikan nasib rakyat, khususnya di tengah ancaman resesi ekonomi hingga Covid-19. Berikut ini poin-poin tuntutan KAMI:
1. Mendesak penyelenggara negara, khususnya pemerintah, DPR, DPD, dan MPR untuk menegakkan penyelenggaraan dan pengelolaan negara sesuai dengan (tidak menyimpang dari) jiwa, semangat dan nilai Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat Pancasila yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, dan diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
2. Menuntut pemerintah agar bersungguh-sungguh menanggulangi pandemi COVID-19 untuk menyelamatkan rakyat Indonesia dengan tidak membiarkan rakyat menyelamatkan diri sendiri, sehingga menimbulkan banyak korban dengan mengalokasikan anggaran yang memadai, termasuk untuk membantu langsung rakyat miskin yang terdampak secara ekonomi.
3. Menuntut pemerintah bertanggung jawab mengatasi resesi ekonomi untuk menyelamatkan rakyat miskin, petani dan nelayan, guru/dosen, tenaga kerja bangsa sendiri, pelaku UMKM dan koperasi, serta pedagang informal daripada membela kepentingan pengusaha besar dan asing.
4. Menuntut penyelenggara negara, khususnya pemerintah dan DPR untuk memperbaiki praktik pembentukan hukum yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Kepada pemerintah dituntut untuk menghentikan penegakan hukum yang karut marut dan diskriminatif, memberantas mafia hukum, menghentikan kriminalisasi lawan-lawan politik, menangkap dan menghukum berat para penjarah kekayaan negara.
5. Menuntut penyelenggaraan negara untuk menghentikan sistem dan praktik korupsi, kolusi dam nepotisme (KKN), serta sistem dan praktik oligarki, kleptokrasi, politik dinasti dan penyelewengan/ penyalahgunaan kekuasaan.
6. Menuntut penyelenggara negara, khususnya pemerintah, DPR, DPD dan MPR untuk tidak memberi peluang bangkitnya komunisme, ideologi anti Pancasila lainnya, dan separatisme serta menghentikan stigmatisasi kelompok keagamaan dengan isu intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme serta upaya memecah belah masyarakat. Begitu pula mendesak pemerintah agar menegakkan kebijakan ekonomi dan politik luar negeri bebas aktif, dengan tidak condong bertekuk lutut kepada negara tertentu.
7. Menuntut pemerintah untuk mengusut secara sungguh-sungguh dan tuntas terhadap pihak yang berupaya melalui jalur konstitusi, mengubah Dasar Negara Pancasila, sebagai upaya nyata untuk meruntuhkan NKRI hasil Proklamasi 17 Agustus 1945, aga tidak terulang upaya sejenis di masa yang akan datang.
8. Menuntut presiden untuk bertanggung jawab sesuai sumpah dan janji jabatannya serta mendesak lembaga-lembaga negara (MPR, DPR, DPD dan MK) untuk melaksanakan fungsi dan kewenangan konstitusionalnya demi menyelamatkan rakyat, bangsa dan negara Indonesia.
Delapan tuntutan KAMI ini tentu saja begitu kontekstual bagi negeri ini. “Negara ini diperburuk oleh tumbuh-kembangnya oligarki kekuasaan, dikelola oleh sekolompok orang dan melakukannya dengan topeng konsitusi,” tambah Jenderal Gatot Nurmantyo, dalam pidatonya itu.
Dan, ia pun bertanya ke peserta deklarasi.”Apakah benar hal ini terjadi di negeri kita?” Para peserta serempak mengiyakan.
Tapi, harusnya sih Jenderal Gatot ketika bicara soal oligarki itu, baiknya sih, menatap ke Bunda Titiek Soeharto yang hadir di deklarasi tersebut. Kenapa? Ah anda bisa menjawab sendiri kok.