Di tengah ketidakpastian ekonomi dan politik di masa pandemi Covid-19, isu agama kembali menjadi pusat perhatian tersendiri. Kedewasaan warga negara kembali diuji dengan permasalahan sensitif yang sejak lama susah diatasi: ketakutan atas simbol agama. Berbagai tokoh agama dan komunitas yang berjuang masif menggelorakan prinsip-prinsip toleransi juga sepertinya tidak mampu menyelesaikan problem akut ini.
Doktrin konservatif penganut sebuah agama merasa sah untuk memerangi segala hal yang dianggapnya berbeda. Ketakutan dan kekhawatiran mereka adalah selalu merasa kelompoknya terancam oleh pihak di luar Islam, sehingga melancarkan aksi untuk melawan “musuhnya”.
Aktualisasinya dengan melakukan berbagai cara apapun itu untuk menghindarkan diri dari rasa keterancaman tersebut. Mulai dari pemberitaan yang sensitif seputar agama lain, pamer dan menjadikan tren simbol-simbol keagamaan, hingga aksi anarkis di berbagai daerah karena tidak ingin prinsip agamanya terancam. Simbol agama menjadi salah satu arena pertarungannya.
Simbol agama merupakan tanda yang dikultuskan oleh penganut kepercayaan yang lahir berdasarkan tradisi dan sistem nilai tertentu. Dari simbol tersebut kemudian membentuk kultur, sistem, dan struktur aturan yang disepakati atas konsensus bersama pemeluk agama.
Ada beberapa bentuk simbol keagamaan. Pertama, simbol kognitif yang memiliki koherensi dengan ilmu pengetahuan. Kedua, simbol moral yang berkaitan dengan ketentuan normatif di sekitarnya. Ketiga, simbol ekspresif yang berkaitan dengan karya seni dan estetika. Keempat, simbol konstitutif yang terkait dengan kepercayaan sebagai buah dari perilaku penganut agama tersebut.
Setiap agama mempunyai simbol tersendiri dalam pengejawantahan kepercayaannya. Tujuan dari simbol agama lebih digunakan sebagai pengenalan identitas keagamaan. Dalam prakteknya digunakan sebagai sarana dan atribut yang diamini kesakralannya dalam ritual keagamaan.
Salah satu contoh fobia simbol agama ditunjukkan oleh kelompok Islam dalam sebuah kasus di Karanganyar. Kecemasan akan praktek kristenisasi melalui simbol salib menjadi viral ketika Aliansi Ummat Islam Karanganyar (AUIK) memprotes pemasangan banner atau spanduk visual HUT RI yang dianggap terdapat unsur simbol salib. Selanjutnya semakin ramai di media ketika Dewan Syari’ah Kota Surakarta (DSKS) juga melayangkan keberatannya atas desain logo HUT RI ke-75. Buntutnya bertambah gaduh ketika beberapa tokoh agama ikut menyuarakan hal serupa.
Jika diruntut ke belakang, simbol salib sebenarnya bukan ditujukan sebagai usaha kristenisasi. Sekira tahun 326 Masehi, simbol salib sudah mulai digunakan. Mulanya berasal dari mimpi Helena yang mendapatkan wahyu untuk melakukan perjalanan rohani ke Yerussalem. Kemunculan simbol salib tidak bersamaan dengan kemunculan agama Kristen. Bahkan awalnya, umat Kristen menentang penggunaan simbol salib yang dianggap hina karena merupakan simbol dari alat yang digunakan untuk menghukum Yesus Kristus. Namun seiring perjalanan Kekristenan, umat kristiani perlahan menggunakan simbol salib dalam setiap ritual keagamaannya.
Jika setiap hal yang memiliki unsur simbol salib dianggap sebagai bentuk terselubung dari proses kristenisasi, maka akan banyak sekali benda atau gambar di sekitar kita yang seolah merupakan simbol salib. Soal polemik logo HUT RI ke-75 pun sudah dijelaskan oleh Mensesneg bahwa logo tersebut sama sekali tidak ada unsur memasukan simbol salib di dalamnya.
Penolakan akan segala hal yang berbau unsur simbol agama tertentu merupakan sikap skeptisisme terhadap iman seseorang. Ada perasaan khawatir banyak orang yang imannya akan goyah hanya karena melihat simbol agama. Di skala daerah, perekrutan umat adalah kunci untuk menguatkan basis kekuatan agama di suatu daerah. Sehingga tarik menarik dan “saling rebut” umat kadang tidak terelakkan.
Orang awam yang dianggap lemah imannya merupakan populasi yang menjadi rebutan antar golongan atau institusi agama. Dalam kasus logo HUT RI ke-75, tokoh dan beberapa ormas Islam mencemaskan umat Islam awam yang menurut mereka bisa auto-murtad hanya dengan melihat simbol salib.
Rebutan umat ini ditambah dengan pembatasan ruang gerak agama lain selain Islam, yang disokong oleh keberadaan ormas dan figur influencer dari Islam sendiri. Kebebasan mendirikan tempat ibadah pun sempat dilarang di beberapa daerah. Sebaliknya, karena merasa mayoritas, agama Islam tampil begitu jumawa menegakkan prinsipnya tanpa menghiraukan kemaslahatan publik. Sehingga umat Islam yang mayoritas siap melawan atau bahkan berperang kepada siapa saja yang tidak tunduk terhadap tuntutannya.
Kedigdayaan umat kurang begitu diikuti sebagian ormas atau tokoh muslim lainnya. Sehingga dalam prosesnya, masih timbul sikap kecemasan dan ketakutan jika ada umatnya yang “hijrah” ke agama lain. Yang menyedihkan dari pandangan ini, adalah bahwa umat Islam awam (abangan) dianggap sebagai konsumen komoditas dagangan di tengah pasar dakwah yang semakin industrial.
Toh, sudah begitu banyak bangunan mewah gereja dengan simbol salib di atasnya. Umat muslim sebenarnya juga biasa saja menjalankan aktivitasnya tanpa dibayang-bayangi ancaman kristenisasi di sekitarnya. Aneh rasanya jika ada muslim mendadak menjadi Kristen hanya karena melihat salib, begitu pun sebaliknya ketika ada orang Kristen yang tiba-tiba menjadi muslim hanya karena melihat kubah masjid atau busana muslim di toko. Konyol, bukan?
Seharusnya ormas atau tokoh agama memberikan citra menarik dari agama yang ingin didakwahkannya. Bukan dengan merendahkan atau melecehkan agama lain. Bukan pula melarang usaha agama lain untuk mendakwahkan hal yang serupa, mengingat Indonesia adalah negara demokrasi yang menjamin keadilan bagi rakyatnya.
Sikap skeptisisme terhadap iman umat adalah bentuk ketidakpercayaan diri terhadap kebenaran agama yang dianutnya. Seyogianya, sebagai umat beragama, kita bisa memberikan ruang kebebasan setiap manusia untuk menentukan pilihan agamanya. Maka dari itu, perindahlah agama kita masing-masing agar pantas dipilih dan dianut kebenaranya, bukan dengan cara memperolok agama lain untuk menunjukan eksistensi.