Muasal Ketakutan Simbol Salib Bagi Muslim & Kenapa Harusnya Dihilangkan

Muasal Ketakutan Simbol Salib Bagi Muslim & Kenapa Harusnya Dihilangkan

Simbol salib telah jadi penanda ‘ketakutan’ muslim sejak lama

Muasal Ketakutan Simbol Salib Bagi Muslim & Kenapa Harusnya Dihilangkan

Jagat maya kembali dihebohkan persoalan simbol agama lain yang muncul di ruang publik. Kali ini simbol “salib” yang dipersoalkan oleh warganet. Entah siapa yang memulai, desain logo peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus tahun ini dipermasalahkan karena dianggap menyematkan simbol salib di dalamnya.

Ulama sekelas Aa Gym pun turut bicara lewat akun sosial media Twitter. Sikap Aa Gym terlihat sangat ragu dalam bersikap. Sepertinya dia menyematkan “kecurigaannya” lewat sentimen warganet. “.

Persoalan simbol “Salib” kali ini memang tidak dimulai oleh Aa Gym. Namun melihatnya sebagai otoritas agama, kita bisa berharap dia bisa hadir pengayom, ketimbang hanya mengipasi persoalan menjadi tambah runyam. Sebab, persoalan kehadiran simbol agama di tanah air kita ini lebih banyak dibumbui “penyedap rasa” belaka, ketimbang memperkaya persfektif kita akan keragaman beragama.

Contohnya saja di kasus sekarang, kita masih bertungkus lumus di persoalan yang sama, yakni kecurigaan. Kayanya inilah syak wasangka yang seakan tak pernah bisa kita bisa mengira kapan ini akan berakhir. Tapi, kita sebenarnya tidak sendirian dalam persoalan kehadiran simbol agama di ruang publik, sebab masih banyak negara memiliki permasalahan yang sama, yakni phobia pada ancaman dari agama lain.

Berawal dari Ketidaktahuan Menjadi Bencana

Ketakutan akan simbol biasanya juga muncul dari ketidaktahuan. Sebagaimana dilansir bbc.com, Saras Dewi, dosen filsafat di Universitas Indonesia, pernah menjelaskan bahwa ketakutan terhadap simbol, seperti palu arit, adalah sebuah “ketakutan yang datang dari banyak ketidaktahuan.”

Tapi, sepertinya dosis tinggi dari sejarah panjang hubungan antar agama di Indonesia, imajinasi, mitos, inferioritas, khayalan berlebihan hingga ketakutan lebih berperan dalam persoalan simbol agama di ruang publik kita, minimal ini terjadi hingga hari ini.

Kita tidak benar-benar bisa keluar jika tidak menelisik hulu dari permasalahan ini. Sebab, jika kita masih terjebak penyelesaian seremonial belaka, maka bukan tidak mungkin kita hanya mewariskan permasalahan ini pada generasi selanjutnya. Harus ada penyelesaian yang revolusioner agar kejadian-kejadian ini tidak lagi terjadi di masa depan. Bagaimana caranya?

Ketika ketidaktahuan yang terus menerus dibiarkan berkembang biak hingga menjadi alasan banyak orang melakukan kedunguan. Maka kita semua harus disalahkan atas kejadian ini semua. Otoritas agama dan penguasa memang mendapatkan jatah ditetapkan sebagai pihak paling bersalah, namun seluruh manusia sebenarnya bersalah atas disinformasi seperti kasus salib.

Kembali ke masalah simbol salib, persoalan ini memang sulit diselesaikan namun bukan tidak mungkin. Sebab, kehadiran simbol agama di ruang publik yang dipermasalahkan, sebagaimana dijelaskan di atas, memiliki banyak dimensi di dalamnya. Setiap dimensi harus diselesaikan secara tuntas jika kita menginginkan persoalan paranoid atau ketakutan berlebihan akan simbol agama lain tidak lagi muncul.

Persoalan “ketakutan karena ketidaktahuan” dan “keterancaman” adalah krusial untuk kita selesaikan bersama. Ketidaktahuan kita atas simbol agama yang kita tuduh mungkin saja berasal dari imaji liar lewat konsumsi informasi salah yang terus menerus. Jadi, tugas kita semua adalah memutus ketidaktahuan dan konsumsi misinformasi yang massif di masyarakat.

Bisa dibayangkan, ketidakmampuan masyarakat membedakan antara salib dengan desain logo berbentuk serupa malah mempertontonkan ketidakdewasaan kita sendiri, terutama menghadapi perbedaan agama. Selain itu, kita juga diperlihatkan betapa keberagamaan kita yang merasa paranoid atau selalu terancam atas kehadiran orang lain (baca: agama lain).

“Orang Indonesia sama, selalu merasa terancam, baik secara ekonomi, budaya, apalagi agama. Maka narasi konspirasi akarnya selalu soal ancaman dari sesuatu di luar sana yang dominan, elite, rahasia, yang diyakini sedang menjalankan tujuan jahat melawan mereka,” sebut Amika Wardhana, sosiolog dari UMY.

Penjelasan Amika dikutip dari tirto.id ini menginformasikan kepada kita bahwa rasa terancam tersebut yang kemudian diterjemahkan ke dalam sebuah ketakutan akan konspirasi yang belum tentu benar adanya. Sehingga, kita harus mulai membongkar rasa terancam ini dari cara berpikir umat beragama kita, agar tidak ada lagi kasus seperti ini terjadi kembali.

“Bumbu Penyedap” Beri Tambahan Rasa

Ada banyak dimensi yang mengelilingi persoalan kehadiran simbol agama di ruang publik. Sepertinya ia juga hadir sebagai respon dari persoalan politik lokal hingga internasional yang terkait agama.

Masih ingat konflik kekerasan di India, salah satu penyebabnya adalah bayangan akan kelompok muslim yang suka akan kekerasan. Informasi tersebut diterima kelompok Hindu diantaranya lewat media sosial. Padahal, kabar tersebut belum tentu kebenarannya namun mampu membangun stigma negatif dan menggerakkan massa.

Kembali ke persoalan desain logo, tuduhan terdapat simbol salib adalah perwujudan dari ketakutan dan rasa terancam atas intimidasi, berupa pemurtadan halus, sebenarnya hanyalah imaji atau paranoid belaka. Buktinya, layangan atau tiang jemuran tentu tidak dipermasalahkan oleh kelompok yang mempermasalahkan salib di desain ucapan selamat 17-an.

Sebagaimana dijelaskan di atas, kehadiran ketakutan akan simbol agama lebih dipengaruhi oleh lewat sebuah hubungan rumit antara imaji pribadi atau masyarakat, persoalan politik dan sejarah panjang relasi antar agama. Kehadiran simbol agama lain juga turut disertai aneka narasi konspirasi, seperti auto-kafir atau ada upaya pemurtadan.

Narasi tersebut kemudian mencoba mendompleng asumsi bahwa hampir seluruh agama memiliki simbol tertentu sebagai penanda kelompok. Sehingga, jika kita berinteraksi dengan simbol-simbol tersebut maka kita menjadi bagian dari kelompok tersebut.

Selain itu, biasanya penafsiran kita atas hadis “tasyabbuh” biasanya turut dijadikan bahan bakar atas ketidaksetujuan kita atas kehadiran simbol agama lain di ruang publik. Jadi bukan saja soal interaksi dengan simbol, imajinasi dan pengetahuan kita berperan dalam membentuk sikap antipati kita ini.

Jadi, terdapat banyak “bumbu penyedap” dalam persoalan penafsiran simbol ini. Ancaman pemurtadan hanya alasan yang muncul dipermukaan, padahal di dalamnya terselip ada sekian permasalah, seperti  penafsiran hadis yang serampangan, relasi politik dan agama, yang jika dibiarkan akan terus menganggu kehidupan beragama karena masih ada rasa saling curiga dan terancam.

Jika kita gagal dalam menyelesaikan persoalan ini maka bukan tidak mungkin aksi kekerasan bisa terjadi tanpa bisa dideteksi pokok masalahnya. Oleh sebab itu, kita harus mulai berusaha secara serius menyelesaikan persoalan tersebut secara tuntas.

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin