Sebagai agama terakhir sekaligus menjadi penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya, Islam dituntut untuk mampu menjawab segala persoalan yang menyangkut problematika keumatan. Karena jika ditinjau dari inti dari ajarannya, Islam setidaknya mempunyai tiga ajaran pokok, yaitu akidah, syariah, dan akhlak.
Dalam konteks keimanan dan keyakinan, ajaran akidah menjadi dasar utama Islam dalam membimbing umatnya agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang dianggap masuk ke dalam wilayah syirik, kafir, murtad, dan lain sebagainya. Hal itu disebabkan karena akidah yang dimaksud menyangkut rukun iman, di mana keislaman seseorang tidak menjadi baik, atau bahkan dikatakan sah, jika akidah yang bersangkutan tidak kokoh dan tidak terhujam kuat di dalam hati sanubarinya.
Di samping akidah, inti dari ajaran Islam lainnya adalah syariat dan akhlak. Ketiga-tiganya mempunyai hubungan yang sangat erat, artinya antara ajaran yang satu dengan yang lain tidak boleh dicerai-pisahkan.
Jika ditarik pada konteks epistemologisnya, ketiga pokok ajaran Islam di atas bisa diversifikasi menjadi tiga macam disiplin ilmu keislaman, yaitu (1) Ilmu Kalam, orang barat sering menamakan disiplin ilmu ini dengan Islamic Theology. Suatu disiplin ilmu yang mengkaji secara mendalam masalah ketuhanan dan sifat-sifat-Nya. (2) Ilmu Fiqih, dalam dunia kontemporer disiplin ilmu ini dikenal dengan Islamic Jurisprudence, yaitu disiplin ilmu yang mengkaji secara mendalam ilmu syariah yang terdiri dari ibadah mahdhah (vertikal) seperti shalat, puasa, haji, zakat, dan lain sebagainya. Atau ilmu syariah yang terdiri dari ibadah ghairu mahdhah (Horizontal), seperti sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya. (3) Ilmu Tasawuf, yaitu disiplin ilmu yang mempelajari secara mendetail terhadap ilmu akhlak. Di mana pada kajiannya, ilmu ini banyak membahas ihwal bagaimana mensucikan jiwa dari hal-hal yang mengotorinya.
Hampir bisa dipastikan bahwa hukum Islam menempati urutan paling utama di antara ilmu pengetahuan lain yang berada di wilayah Islam itu sendiri. Alasannya sederhana, yaitu karena dalam konteks aplikasinya, hukum Islam mau tidak mau akan berbenturan dengan aktivitas individu maupun kelompok, baik kaitannya dengan hablun minallah (interaksi hamba dengan Tuhan), hablun minan nass (interaksi sosial), dan hablun minal bi’ah (interaksi dengan lingkungan).
Dengan demikian keniscayaan terhadap pemahaman suatu hukum, sehingga darinya lahir sebuah kongklusi dinamis mengenai hukum Islam, merupakan hal yang sangat urgen. Karena secara definitif, istilah fiqih berasal dari bahasa Arab yakni “Faqiha-Yafqahu-Fiqhan”, di mana dalam pengertian etimologisnya Jamaluddin Ibnu al-Mubarrad dalam Ghayah al-Suul Ilaa Ilm al-Ushul memberikan defisini sebagai suatu kegiatan dalam memahami atau mengerti sesuatu.
Oleh sebab itu, pada pengertiannya secara terminologis, fiqih adalah pemahaman yang sangat mendalam terhadap sesuatu yang dapat membuka hal-hal yang samar dari beberapa perkataan dan perbuatan berdasarkan pada dalil-dalil yang ada dan telah ditetapkan dengan pengertiannya secara kontekstual. [bersambung]
Mohammad Khoiron adalah Pegiat Sosiologi Agama dan Islamic Studies. Pengurus GP. Ansor DKI Jakarta. Twitter: @MohKhoiron