Salah satu problem yang mengkhawatirkan dari situasi polarisasi politik kita adalah fenomena sentimen identitas dan kritik terhadap Arabisasi yang kebablasan dalam ruang publik digital kita. Pendukung kekuasaan Presiden Jokowi yang belakangan mengkristal kedalam sekelompok buzzer-buzzernya, mengkritik – yang sebetulnya adalah mengolok-olok – secara rasis kepada kubu Anies Baswedan dan barisan pendukung Islamisnya sebagai “Kadrun” atau Kadal Gurun.
Fenomena ini menunjukkan politik identitas ternyata belum padam juga dari jagat politik kita pasca rekonsiliasi bagi-bagi jatah kekuasan antara Jokowi dengan Prabowo. Polarisasi saling serang dalam penanganan pandemi Corona antara kubu pendukung fanatik Jokowi dengan kubu pendukung fanatik Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan – yang kini telah mengambil alih simbolisasi oposisi partisan terhadap rezim Jokowi – membuktikan itu.
Sebutan “Kadrun” ini secara kebahasaan merupakan simbol asosiasi identitas kepada kelompok politik yang dianggap berasal dari daerah gurun pasir atau secara rasial berasal dari Arab atau keturunan Arab. Sebutan yang rasis tersebut lahir dari konteks polarisasi politik semasa Pilgub DKI Jakarta tahun 2017 yang lalu antara Ahok dengan Anies Baswedan yang kini menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Pada mulanya, sebutan Kadrun itu adalah respon atas ujaran rasial serupa dari barisan pendukung Anies Baswedan yang memainkan politik identitas anti-Cina kepada Ahok. Kemudian, perseteruan politik tersebut terus berlanjut hingga kemudian muncul sebutan balasan dari kubu pendukung Ahok – yang belakangan juga mendukung Jokowi – kepada Anies Baswedan beserta pendukung Islamisnya dengan sebutan Kadrun.
Faktor lain munculnya sebutan Kadrun tersebut merupakan respon tambahan dari pendukung partisan Ahok (dan Jokowi) terhadap fenomena kuatnya pengaruh seorang keturunan Arab, Habib Rizieq Syihab (HRS) yang memainkan gerakan Islamisme melalui Aksi 212 di Jakarta semasa Pilgub yang lalu. Poros politik HRS yang pada Pilgub DKI Jakarta menjadi pendukung partisan Anies Baswedan kemudian menambah simbolisasi bahwa seolah-olah Anies Baswedan beserta pendukung Islamisnya identik dengan Arab.
Sebutan rasis Kadrun tersebut kemudian menjadi lebih mengkhawatirkan ketika bersenyawa dengan hadirnya tren kekesalan banyak kaum Muslim moderat terhadap dakwah Salafi-Wahabi yang sangat bernuansa Islam kearab-araban. Kecenderungan dakwah Wahabisme-Salafisme yang getol kampanye memakai atribut fisik bernuansa kearab-araban (seperti jubah, cadar, menumbuhkan jenggot dan celana cingkrang) memunculkan kritik terhadap Arabisasi yang pada kadar tertentu menjadi kritik yang kebablasan dan rasis.
Situasi yang mengkhawatirkan tersebut kini dirawat dalam debat-debat politik kita di ruang publik digital. Kini, kritik terhadap simbol kearab-araban atau tren Arabisasi dari kalangan Islamis dan Wahabis telah menjadi berlebihan dan terjebak kepada bentuk rasialisme yang sama berbahayanya, sebagaimana kalangan Islamis dan Wahabis yang memainkan rasisme anti-Cina. Singkatnya, kini rasisme anti-Cina dibalas menjadi anti-Arab. Dua-duanya salah kaprah!
Kritik terhadap tren Arabisasi yang kini menjadi ujaran rasis anti-Arab tersebut tak bisa dibenarkan. Sebab, sebagaiamana ujaran-ujaran rasis lainnya, ia selalu jatuh kepada problem over generalisasi atau gebyah uyah yang memandang seolah-olah segala keturunan Arab adalah radikal, intoleran, ekstremis, konservatif dan sebagainya.
Pemahaman yang seperti itu amat keliru, sebagaimana manusia pada umumnya bahwa pandangan keislaman dari keturunan Arab di Indonesia sangat amat beragam. Ada yang memang memiliki aspirasi Islamis seperti Habib Rizieq Syihab, namun ada juga yang memiliki pandangan keislaman yang lebih terbuka. Misalnya Habib Luthfi bin Yahya, Habib Quraish Shihab, kemudian pendakwah milenial seperti Habib Husein Ja’far al-Hadar.
Sedari awal memang tidak tepat melakukan kritik terhadap orang lain dengan melabelkan kepada identitasnya. Sebagaimana yang tampak dari kritik terhadap tendensi anti-Cina sebagian kalangan Muslim Arab pendukung Anies Baswedan yang digeneralisasi menjadi seolah-olah semuanya salah seluruh identitas keturunan Arab.
Sebagaimana yang pernah dikatakan seorang peraih nobel ekonomi Amartya Sen dalam bukunya Kekerasan dan Identitas bahwa setiap individu itu memiliki lebih dari satu identitas. Maka dari itu sangat tidak arif melakukan labelisasi identitas tunggal kepada individu.
Dalam sejarah peradaban manusia, kita memiliki pelajaran berharga dari Nazisme Hitler di Jerman. Gerakan politik Nazi yang mengusung kemurnian identitas ras Arya menjadikannya memiliki kebencian kepada kaum Yahudi dan etnis-etnis lain yang berbeda dengannya. Bahkan kebencian tersebut berujung kepada peristiwa pembunuhan massal yang tidak manusiawi kepada kaum Yahudi.
Maka dari itu, bukankah kita harus belajar dari sana. Jika kita ingin peristiwa kemanusiaan tak terulang lagi, sudah seharusnya kita mengakhiri olok-olok semacam Kadrun ini, juga termasuk ujaran rasis yang serupa seperti “Cina” dan “Sipit” kepada keturunan Tionghoa. Semuanya salah. Jika mau mengkritik kebijakan politik, kritiklah secara elegan kebijakan tersebut. Bukan malah memainkan politik identitas yang rasis.
Kita harus adil sejak dalam pikiran, bukan? [rf]