Fatima Mernissi, Muslimah Progresif Melawan Ketidakadilan Terhadap Perempuan

Fatima Mernissi, Muslimah Progresif Melawan Ketidakadilan Terhadap Perempuan

Lewat sosok seperti Fatima Mernissi, kita jadi tahu soal bagaimana menghadirkan fakta-fakta bahwa ternyata ajaran agama bisa dengan mudah dimanipulasi.

Fatima Mernissi, Muslimah Progresif Melawan Ketidakadilan Terhadap Perempuan

Bagi pemerhati dan pegiat isu-isu feminisme dalam Islam, nama setamsil Fatima Mernissi pastilah familiar. Ia adalah tokoh feminis Islam kenamaan asal Fez Maroko yang lahir pada tahun 1940 M dan besar di dalam harem (sebuah bangunan yang ditingali oleh perempuan-perempuan, meski segala kebutuhan terpenuhi di dalam harem namun akses untuk keluar dari harem amat terbatas).

Fatima Mernissi termasuk perempuan yang beruntung. Buktinya, meski dikungkung di dalam harem bersama ibu, nenek, dan saudara perempuannya, Fatima tetap mendapatkan pendidikan.

Keberuntungan itu disampaikan karena ia lahir di waktu yang tepat. Ia menyampaikan, “andai saja saya lahir dua tahun lebih dahulu, tentu tidak akan mendapatkan akses pendidikan.” Mengapa?

Tepat pada waktu ia dilahirkan, kelompok nasionalis Maroko berhasil merebut pemerintahan kolonial Prancis dan menjanjikan akan membuat negara Maroko yang baru, negara dengan persamaan hak untuk semua, setiap perempuan memiliki hak yang sama atas pendidikan dengan laki-laki, juga bentuk negara Maroko yang menegaskan penolakan terhadap praktik poligami.

Di dalam harem, Lalla Yasmina, nenek dari Fatima Mernissi berperan penting bagi Fatima kecil. Kendati Yasmina buta huruf, ia berperan membuka tabir pemikiran Fatima mengenai kondisi perempuan pra-Islam dan bagaimana Rasul Muhammad Saw diutus untuk memperbaiki keadaan serta mengangkat posisi perempuan dalam tatanan sosial kala itu. Hal ini menjadi titik awal keberangkatan Fatima yang kelak banyak mengkritisi dalih-dalih tafsiran agama mengenai posisi perempuan.

Selain mendapatkan pendidikan di dalam harem bersama neneknya, Fatima juga didukung untuk tetap mendapatkan pendidikan di luar harem. Sejak usia tiga tahun ia berangkat ke sekolah al-Qur’an untuk mempelajari  dan menghafalkan al-Qur’an. Tetapi karena sekolah Fatima begitu disiplin, ia tidak menemukan al-Qur’an sebagai pedoman kehidupan yang menuntun kepada kedamaian dan ketenangan. Tidak seperti Lalla Yasmina yang mengenalkan al-Qur’an dan ajaran Islam laksana oase di tengah padang pasir yang terik.

Karenanya, Fatima merasa ada hal yang perlu dicari lebih jauh, seperti kegelisahan mengapa ketika di dalam harem ia begitu menyukai paparan neneknya mengenai kisah-kisah kenabian yang menurutnya amat menyenangkan sedangkan di sekolah ia merasa agama begitu menakutkan.

Memasuki usia remaja, Fatima melanjutkan pendidikan formalnya ke salah satu universitas di Maroko, Universitas Mohammad V Rabath, kemudian melanjutkan ke Universitas Sorbone Paris, dan melanjutkan ke Universitas Brandels Amerika Serikat untuk menyelesaikan Ph.D pada tahun 1973. Disertasinya Yang berjudul Beyond The Veil menjadi rujukan di dunia Barat mengenai interpretasi dalih-dalih keagamaan mengenai perempuan dalam Islam. Setelah itu, Fatima kembali ke almamaternya, Universitas Mohammad V Rabath untuk mengajar di bidang ilmu politik dan sosiologi, menjadi penulis produktif yang pemikiriannya cukup diperhitungkan, dan mengembangkan pemikirannya mengenai feminisme dalam Islam.

Mengenyam dan menyelesaikan pendidikan setinggi-tingginya adalah salah satu cita-cita dan dukungan dari ibu dan neneknya. Kedua perempuan ini yang terus ada dan mendukung langkah-langkah Fatima. Fatima dibisiki oleh ibu dan neneknya untuk terus bersuara, bersikap tegas dan berpikir kritis agar suaranya terdengar sampai luar harem. Dukungan dari ibu dan neneknya juga yang membuat Fatima berani mempertanyakan hal yang dirasa tidak sesuai dengan ajaran agamanya.

Di antara hal yang dikritisi oleh Fatima Mernissi adalah pandangan mengenai kampanye pemakaian cadar untuk perempuan di negara-negara Arab di tahun 1980-an.

Bagi Fatima, kampanye bercadar bukanlah perang melawan kaum perempuan, tapi perang melawan demokrasi karena perempuan dianggap sebagai kelompok yang mudah dimanipulasi dan juga tidak terorganisir sehinga tidak memiliki kekuatan.

Selain itu tradisi misogini (kebencian terhadap kaum perempuan) yang terus menerus ditanamkan dalam kehidupan sosial masyarakat Arab juga menjadi persoalan yang taknkalah serius.

Karenanya, cadar adalah cukup rentan dijadikan alat serangan yang kuat terhadap demokrasi. Bagaimana tidak, jumlah perempuan waktu itu yang mencapai setengah jumlah penduduk. Dengan kampanye cadar mereka diperintah untuk menyembunyikan diri, kembali ke wilayah rumah tangga, dan menahan diri untuk tidak ikut campur masalah publik. Kampanye cadar menarik pulang  dan mencerabut hak-hak berdemokrasi para perempuan dari panggung publik. Itu pertama.

Kedua, kampanye cadar berhasil mengalihkan perhatian dari persoalan-persoalan yang lebih besar seperti pengangguran yang terus meningkat akibat ledakan demografi yang tak terkendali. Dalam kurun waktu 1985 sampai 1990 populasi Arab meningkat menjadi 29 juta dengan angka kelahiran paling tinggi di dunia. Populasi dunia Arab juga mencapai 217 juta pada 1990. Padahal pelbagai telaah kependudukan internasional telah membuktikan bahwa warga negara perempuan yang berpendidikan merupakan salah satu cara untuk menekan laju kelahiran.

Lebih jauh, Fatima juga menuliskan pandangannya yang cukup ciamik soal kepemimpinan perempuan. Ini ia abadikan dalam sebuah buku The Forgotten Queens of Islam. Dalam tulisannya ini ia berupaya menyajikan sebuah data bahwa dalam sejarah kepemimpinan tercatat lima belas ratu perempuan-perempuan tangguh yang memimpin sebuah dinasti, namanya tercatat dalam mata uang negaranya dan juga selalu disebut dalam setiap khutbah di masjid-masjid.

Tercatat di antaranya adalah Sultanah Radhiyyah yang memegang pucuk pimpinan di Delhi pada tahun 634 H/ 1236 M, kemudian ada Syajarat Al-Durr yang menaiki tahta Mesir pada tahun 648 H/ 1250 M. Sultanah Rhadiyah menaiki tahta menantikan ayahnya Sultan Iltutmisy, raja Delhi dan Syajarat Al-Durr menaiki tahta mengantikan suaminya, Malik Al-Shalih.

Hal pertama yang dilakukan oleh Sultanah Radhiyah sebagai penguasa, umpsmanya, adalah membuat namanya tercetak dalam mata uang dinasti yang dipimpinnya. Tercetak dalam mata uang “Pilar Kaum Perempuan- Ratu Segala Zaman- Sultanah Radhiyyah Bint Syams al-Din Iltutmisy.” Selain itu Sultanah Radhiyyah juga memilih dua gelar untuknya, yang pertama Radhiyyah Al-Dunya wa Al-Din dan yang kedua adalah Balqis Jihan.

Lain lagi dengan Syajarat Al-Durr, jalannya untuk menduduki posisi tertinggi tidak begitu mulus karena ia harus menghadapi penolakan dari Khalifah Abbasiyah dan diturunkan dari tahta oleh para pendukungnya setelah beberapa bulan berada di singgasana. Namun ia tidak kehabisan akal setelah penolakan dan turun tahta. Ia menetapkan hatinya untuk menikah dengan seorang jenderal Mamluk, ‘Izz Al-Din Aybak yang dipercaya para angkatan bersenjata dan disetujui khalifah Abbasiyah sebagai kandidat kesultanan Mesir. Maka jalan untuk kembali menaiki tahta terbuka setelah Syajarat Al-Durr menikah dengan Jenderal Mamluk tersebut.

Satu hal yang kemudian dilakukan oleh Syajarat Al-Durr untuk menetapkan dirinya kembali berada di singgasana adalah dengan cara khutbah di semua masjid di Kairo disampaikan atas namanya dan nama suaminya, kepingan-kepingan mata uang dicetak atas nama kedua penguasa itu, dan tidak boleh ada satupun dokumen resmi yang keluar dari istana tanpa tanda tangan keduanya. Sekali lagi, Syajarat Al-Durr duduk di singgasana.

Lebih lanjut, kritik dan pemikiran Fatima yang lain adalah komentarnya mengenai hadis-hadis yang terkesan merendahkan perempuan, seperti “anjing, keledai, dan perempuan akan membatalkan salat seseorang apabila ia melintas di depan mereka, menyela diantara orang yang salat dan kiblat.

Ia menyampaikan pandangannya yang amat pilu mengenai hadis tersebut. Pasalnya, bagaimana mungkin Rasulullah mengatakan hadis semacam ini yang amat melukai perasaan perempuan. Karenanya ia terus melakukan riset historis tentang hal-hal yang diarasa mengganggu pemahaman keagamaannya.

Dengan melakukan penafsiran Al-Qur’an dan Hadis, riset sejarah dan analisa sosiologis, Fatima berupaya untuk membongkar dan meluruskan pemahaman yang menurutnya ganjil, kemudian memberikan tafsir alternatif dan membeberkan fakta-fakta historis yang sesungguhnya.

Wa ba’du, belajar dari Fatima adalah belajar mengenai sebuah sikap kritis terhadap interpretasi agama dan tradisi di masyarakat yang sudah sangat mengakar. Sikap kritis ini bukanlah pembangkanan. Sebaliknya, ia merupakan sebuah bentuk pencarian kebenaran sesungguhnya atas dalih-dalih agama yang selama ini disembunyikan. Jangan-jangan selama ini memang ada motif terselubung atau kekhawatiran jika perempuan dapat melangkah lebih jauh jika keran-keran kebebasan dibuka seluas-luasnya, atau kebencian terhadap perempuan agar tidak terlibat dan tidak dilibatkan dalam urusan publik.

Selain itu, lewat sosok seperti Fatima Mernissi, kita jadi tahu soal bagaimana berani membongkar dominasi tradisi yang tidak adil dan dianggap sakral oleh masyarakat selama ini, serta menghadirkan fakta-fakta bahwa ternyata ajaran agama bisa dengan mudah dimanipulasi. Dari hasil pengamatan dan pandangan-pandangannya mengenai perempuan dalam Islam, ia mempercayai bahwa penindasan terhadap perempuan adalah semacam kondisi yang sengaja dibuat-buat dan bukan murni dari ajaran Islam.