Dari dulu perkawinan dianggap sakral oleh masyarakat nusantara. Ia bukan sekadar hubungan keperdataan antara dua insan, tetapi lebih dari itu, di antaranya adalah untuk meningkatkan spiritual. Dalam ajaran “sakti” yang diambil dari agama Shiwa, perempuan dianggap mewakili sakti (kekuatan adikodrati) yang meresapi kosmos.
Untuk itu pihak laki-laki yang hendak kawin harus datang ke pihak perempuan untuk tan-TU (melamar), membayar TU-kon (mas kawin), hingga diadakan acara man-TU (resepsi). Tradisi ini merupakan hasil akulturasi agama Shiwa dengan ajaran agama asli nusantara “Kapitayan” sebagaimana simbol TU/TO pada rangkaian prosesi perkawinan tersebut yang bermakna pemujaan Shahyangwasesa.
Dalam perkembangannya tradisi itu mengalami berbagai perubahan bentuk adat perkawinan. Adatrecht B. Ter Haar mengidentifikasi berbagai bentuk adat perkawinan nusantara, yaitu: “perkawinan jujur” (bruidschat), perkawinan ambil anak (inlijfhuwelijk), “perkawinan mengabdi” (dienhuwelijk), “perkawinan bertukar”(ruilhuwelijk), “perkawinan mengganti atau meneruskan” (vervang en vervolghuwelijk).
Dalam perkawinan jujur seorang perempuan ditan-TU, diTUkoni, dan dijadikan manTU supaya lepas dari keluarga asalnya dan dimasukkan ke dalam klan suaminya, termasuk anak-anak yang dilahirkannya. Sedangkan dalam perkawinan ambil anak, keluarga perempuan mengambil anak laki-laki dari keluarga lain sebagai calon suami supaya klan bapak-nya istri turun kepada keturunannya.
Perkawinan mengabdi adalah perkawinan dimana suami dan istri sudah memulai hidup berkumpul tetapi si suami kerja mengabdi kepada kerabat istri sampai maskawinnya lunas terbayar. Perkawinan bertukar adalah dua keluarga secara timbal-balik menjadikan mantu salah satu diantara anggota keluarganya supaya lunas tukon untuk tiap-tiap istri sekalipun tanpa pembayaran maskawin. Sedangkan perkawinan mengganti atau meneruskan adalah perkawinan antara seorang suami dengan saudara perempuan mantan istrinya yang telah meninggal dunia.
Dari bentuk adat perkawinan yang berlangsung di tengah masyarakat tersebut tampaknya hanya pada aspek “tukon” atau maskawin yang berubah. Yaitu dibayar lunas, diutang, atau diimpaskan? Dalam konteks ini ada semacam desakralisasi tukon dari persembahan buat Yang Kuasa menjadi sekadar hadiah buat keluarga perempuan. Tukon tidak lagi berupa hewan ternak dan hasil tanaman-tumbuhan tapi digantikan uang dan perhiasan. Bersamaan itu pula nilai perempuan menurun di mata laki-laki.
Besar kemungkinannya praktik semacam ini dimulai wangsa sudra yakni golongan masyarakat kasar yang orientasi hidupnya berkutat dengan harta dunia. Mereka adalah golongan pedagang, pelancong, budak sahaya di luar kelompok Brahmana, Ksatria, dan waisya. Umumnya mereka bukan anak pertama dari clan tertua yang tidak memikul tanggung jawab menjadi pekorban dalam ajaran Brahmanisme.
Semakin banyak harta yang dimiliki kaum sudra maka semakin terbuka peluangnya untuk mempersunting perempuan dan menyimpan gundik. Toh posisinya tidak memikul “karma” tidak seperti yang dipikul kaum brahma, misalnya.
Kemungkinan lain peralihan adat perkawinan ini dipengaruhi peralihan masa kejayaan Waishaisme ke Wisnuisme. Di masa kuatnya pengaruh Waishaisme dalam kerajaan Nusantara, perempuan disimbolkan sebagai seorang “ardhanarisme” (paruh perempuan dari pasangan Siwa-Durga). Itu sebabnya Ken Dedes diperebutkan Ken arok dan Tunggul Ametung. Akan tetapi ketika Wisnuisme cukup berpengaruh di Nusantara, tercatat Raja-raja di nusantara terbiasa memiliki banyak istri dan gundik.
Penempatan istri dan kaum perempuan sebagai seorang ardhanarisme rupanya diwarisi dalam norma perkawinan yang dikembangkan Islam Nusantara. Dalam Serat Murtasimah, yang biasa dibacakan saat acara tingkepan atau nujuh bulanan masyarat pesisir Cirebon, sosok Murtasimah tergambar seperti sosok Ken Dedes. Spiritualitas laki-laki yang tersemat dalam sosok Kiai Besari (suami) dan Kiai Abdulloh (orang tua) sampai tak bisa mengenali Nyai murtasimah yang telah diberi karomah malaikat jibril. Kedua kiai itupun takluk dengan spiritualitas yang dimiliki Nyai Murtasimah.
Kisah asmara dan “percintaan nakal” antara Nyai Murtasimah dengan suaminya ini pun dilanjutkan dengan proses ditakonke, ditukoni, dan dimaktukke. Hal ini menunjukkan bahwa akulturasi Islam dengan adat perkawinan nusantara lebih cocok dengan jaman kejayaan Waishaisme. Dengan catatan Islam Nusantara tidak mencampuri adat istiadat tukon/mahar/maskawin dan bawaan lainnya untuk pihak perempuan terkecuali sebagai suatu pemberian dan hadiah. Makanya di Indonesia tidak mengenal persyaratan mahar mitsil (mahar yang ukuran atau nilainya ditentukan oleh mempelai perempuan yang dijadikan standar dalam akad nikah) , perkawinan sekufu (pernikahan yang mempersyaratkan adanya kesetaran “kelas social”) dan seterusnya.