Ada sebuah ungkapan dari Imam Al-Ghazali yang menjadi motivasi besar bagi kita semua, katanya, ”kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis.” Selain itu, ada juga ungkapan dari KH. Zainal Arifin Toha, seorang Kiai sekaligus pegiat literasi asal Yogyakarta, katanya, “Aku menulis maka aku ada.” Keduanya menekankan betapa pentingnya menulis, karena dengan menulis akan membuat seseorang tetap ada, bahkan ketika ia sudah tiada.
Jika melihat sejarah ulama nusantara, kita akan menjumpai beberapa nama, seperti KH. Kholil al-Bangkalani, KH. Mahfudz at-Tarmisi, KH. Ihsan al-Jampesi, KH. Nawawi al-Bantani, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Saifuddin Zuhri, KH. Sholeh Darat, KH. Ali Ma’shum, dan KH. Bisri Mustofa. Kesemuanya adalah seorang penulis yang menulis kitab-kitab rujukan umat Islam. Walaupun mereka sudah tiada, akan tetapi karya-karyanya masih terus dikaji sampai hari ini.
Konon, beberapa ulama mempunyai falsafah menulis. Salah satu di antaranya adalah KH. Bisri Mustofa, seorang penulis tafsir al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir al-Qur’an al-Aziz. Tidak hanya tafsir al-Ibriz, beliau juga mempunyai banyak karya dalam berbagai disiplin ilmu. Ternyata, di balik semua karya-karya beliau yang luar biasa, ada sebuah falsafah menarik yang dapat kita ambil, katanya, “menulislah laksana menjahit”.
KH. Mustofa Bisri atau yang kerap disapa dengan Gus Mus, bercerita dalam sebuah buku berjudul Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa. Suatu ketika KH. Bisri Mustofa kedatangan KH. Ali Maksum Krapyak. Keduanya berbincang-bincang perihal tulis-menulis. Kata KH. Ali Maksum, “Kalau soal kealiman, barangkali saya tidak kalah dari Sampeyan, bahkan mungkin saya lebih alim, tapi mengapa sampeyan bisa begitu produktif menulis, sementara saya selalu gagal di tengah jalan. Baru separuh atau sepertiga, sudah macet tak bisa melanjutkan.” KH. Bisri Mustofa pun menjawab: “Lha, soalnya sampeyan menulis Iillahi ta’ala, sih!”
KH. Ali Maksum pun terkejut dan menimpali, “Lho, kiai menulis kok tidak lillahi ta’ala, lalu dengan niat apa?” Lantas KH. Bisri Mustofa kembali menjawab, “Kalau saya, menulis dengan niat nyambut gawe. Etos, saya dalam menulis sama dengan penjahit. Lihatlah penjahit itu, walaupun ada tamu, penjahit tidak akan berhenti menjahit. Dia menemui tamunya sambil terus bekerja, soalnya bila dia berhenti menjahit, periuknya bisa ngguling. Saya juga begitu, kalau belum-belum, sampeyan sudah niat yang mulia-mulia, setan akan mengganggu sampeyan dan pekerjaan sampeyan tak akan selesai. Lha, nanti kalau tulisan sudah jadi, dan akan diserahkan kepada penerbit, baru kita niati yang mulia-mulia, Iinasyril ‘ilmi atau apa. Setan perlu kita tipu.”
Wallahu A’lam