Rabindranath Tagore, peraih Nobel sastra dari India, bertutur tentang cinta dengan kalimat indah: “Love does not claim posession, but gives freedom”, cinta bukanlah klaim kepemilikan, tetapi pemberian kebebasan.
Saat cinta jatuh pada hasrat untuk memiliki, hasrat untuk merampas hak, hasrat untuk menguasai; itu semua bukan cinta ; hanya benci berbalut kata cinta. Sosiolog Jerman, Erich Fromm menyebutnya sebagai “Love to have”.
Seorang laki-laki yang bilang “I love you” pada seorang perempuan, tetapi disaat yang sama, ia suka melarang, suka mengatur, suka marah, gampang cemburu, curiga yang melampaui batas, gampang jengkel dengan perilaku ceweknya; sejatinya ia sedang tidak mencintai perempuan itu. Ia hanya ingin memiliki, tetapi itu bukan cinta.
Hal yang sama berlaku untuk ibu, ayah, istri, suami, anak, dan bahkan presiden. Segala usaha untuk memiliki apapun atau siapapun atas nama cinta, itu bukan cinta, tetapi penindasan.
Pun, cinta menemukan energi positifnya ketika ia hadir dengan wajah pemberian tulus kepada apapun atau siapapun yang ia cintai. Sebuah pemberian tanpa harap balasan, bahkan meskipun hanya ucapan terima kasih. Pemberian itu hadir atas hasrat iba kasih ; bukan pemberian sebagai topeng untuk memiliki. Patut dicatat, pemberian atas nama cinta bukanlah pengorbanan, tapi kebahagiaan.
Pecinta sejati, demikian narasi para pujangga besar, adalah mereka yang merawat, menjaga, dan membimbing yang dicintainya untuk tumbuh kembang mengeluarkan seluruh bakat dan potensinya. Ia tidak mengekang tapi membebaskan, ia tidak memanja tapi membimbing.
Erich Fromm menyebut cinta model ini sebagai “Love to be”, cinta yang menjadi. Ketika laki-laki mencintai seorang perempuan, misalnya, berarti dia “menjadi” perempuan yang dia cintai itu. Dia manunggal dengan yang ia cintai. Sakitnya dia berarti sakitku, bahagianya dia berarti bahagiaku, dan seterusnya dan sebagainya.
Demikian pula seorang Presiden yang mencintai rakyatnya, ia manunggal dengan rakyatnya, tidak ada jarak antara dia dengan rakyat. Guru yang mencintai muridnya, ia manunggal dengan muridnya. Ki Hajar Dewantara berujar :”Guru yang baik adalah yang merobohkan monumen pengkultusan yang dibangun oleh murid-muridnya”. Artinya,, di mana ada pengkultusan disitu cinta menjadi menindas, bukan lagi cinta yang positif.
Love to be adalah cinta yang tak berjarak kecuali cinta itu sendiri. Saling percaya, setia, memberi, dan jujur. Love to be adalah cinta dengan tingkat cemburu yang minimalis karena ia percaya sang kekasih bukan penipu. Love to be adalah cinta minus kepura-puraan.
Dunia sembuh dari segala duka ketika “Love to be” menjadi raja. Dunia gaduh dengan luka ketika “Love to have” menjadi penguasa.
Cinta yang membebaskan adalah energi positif tak tergantikan. Rumi berujar “tanpa cinta dunia membeku”.