Cinta adalah salah-satu anugrah terbesar Allah Swt. atas hambanya, maka dalam kondisi apapun patut kita syukuri. Sementara artikulasi mencintai bisa diartikan dalam banyak bentuk, selagi dalam batas kewajaran dan sesuai norma, tentu hal itu sah-sah saja. Seperti pesan moral (hikmah) dari pernikahan, yang tidak lain sebagai bentuk cinta kasih antara dua pasangan halal: suami-istri. Oleh karena itu, nabi Saw, pernah berpesan:
حُبِبَ لِي مِن دُنيَاكُم النِسَاءُ وَالطَيبُ وَجُعِلَتْ قَرَةُ عَينِي فِي الصَلَاةِ
“Aku telah dianugrahkan (rasa) cinta atas duniamu, berupa perempuan dan wewangian. Dan dijadikan sebagai penentram dalam shalat.” (HR. Ahmad, An-Nasa’i, Hakim, dan Al-Baihaqi)
Untuk menggapai hakikat cinta itu, Imam Al-Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin, mengklasifikasikan cinta menjadi empat macam, yakni:
Pertama, cinta karena faktor internal. Artinya cinta yang berdasarkan pada kesempurnaan fisik, etika, kecerdasan, dan lainnya. Bagian-bagian itu ditemukan dalam diri seseorang (dzati), yang kerapkali dinilai indah oleh khalayak umum. Dan unsur inilah yang umumnya menjadikan seseorang jatuh cinta. Bagi Al-Ghazali, motivasi utama dalam merajut cinta tak melulu berdasar kesempurnaan fisik, yang terpenting bagaimana menemukan kenyamanan dan kecocokan (munasabah).
Al-Ghazali beralasan, seringkali rasa cinta itu tertanam pada dua kekasih yang tidak lagi mempersoalkan fisik yang rupawan. Dalam sebuah hadis, seperti disinggung beliau, nabi Saw. bersabda:
الأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنهَا اخْتَلَفَ
“Jiwa-jiwa (manusia) yang hampa, layaknya sekumpulan pasukan yang dilepas. Ketika mereka bertemu dan saling kenal, maka terjadi kecenderungan (cinta), dan ketika tidak mengenal, mereka akan berpaling. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sederhananya, merajut cinta hanya atas dasar paras yang rupawan, maka bisa dipastikan bukan bagian (anugrah) cinta dari Allah Swt., melainkan cinta karena kesenangan (syahwat) semata. Karenanya, cinta jenis ini lazim dilakukan baik oleh orang beriman ataupun tidak.
Kedua, cinta karena harta (kepentingan duniawi). Seseorang yang hendak meraih cinta, bukan atas dasar ketulusan, meliankan karena alasan lain, seperti harta, kedudukan dan lainnya. Bagi mereka, cinta yang sebenarnya bukanlah pasangan, tapi kepentingan yang mereka inginkan. Secara hukum fikih, akan sangat tergantung pada legal-tidaknya tujuan-tujuan duniawi tersebut.
Ketiga, cinta karena Allah SWT (ukhrawi). Artinya hubungan cinta-kasih yang dibangun tidak hanya berdasarkan tampilan fisik yang rupawan, tapi juga demi kepentingan akhirat (ukhrawi). Al-Ghazali mencontohkan, cinta jenis ini seperti mencintai istri yang saleha yang dapat menjaga (kehormatan) agamanya, memberikan keturunan yang saleh-saleha dan alasan-alasan lainnya.
Kendati cinta jenis ini tak bisa lepas dari kepentingan dunia, namun tetap saja ia menjadi bagian cinta fillah, karena sosok yang dicintai bisa mengantarkan pada Allah SWT. Untuk mewujudkan itu, cinta yang dibangun harus atas dasar keimanan, artinya apabila kepentingan ukhrawi yang diperoleh berkurang, maka akan berkurang pula rasa cintanya, dan akan bertambah manakala kepentingan itu ikut bertambah.
Keempat, cinta hanya dan karena Allah Swt. (lillah dan fillah). Bagian ini dikenal sebagai cinta tingkat tinggi, yang artinya cinta yang dilakukan semata-mata karena Allah SWT. Analoginya, ketika kita mencinta seorang kekasih, maka kita akan berusaha mengenal orang-orang terdekatnya, apapun itu. Bahkan kekurang yang dimiliki, tetap dianggap mempesona, seperti pepatah: gara-gara pesona mawar, durinya pun ikut disiram.
Puncak cinta yang semata karena Allah SWT, tidak lagi dapat membedakan antara nikmat dan petaka, sebab segalanya dari dan kembali kepada-Nya. Ia akan melakukan apapun yang disukai oleh kekasihnya, seperti halnya ia akan membenci segala sesuatu yang tidak disukai oleh sang kekasih. (AN)
Waallahu a’lam.