Dua Lubang di Pesantren

Dua Lubang di Pesantren

Dua Lubang di Pesantren

Pesantren telah menjadi institusi pendidikan keagamaan yang teruji dan banyak melahirkan, baik itu ulama ataupun cendekia, sejak lama. Di saat yang sama, pesantren juga menjadi pencetak warga negara yang punya komitmen terhadap tradisi lokal dan nasionalisme. Ini tidak lepas dari corak pembelajaran pesantren yang banyak menyerap unsur-unsur kelokalan, atau tradisionalisme.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, pesantren mengalami penyesuaian zaman. Berseminya modernitas di Indonesia mendorong pesantren mengadopsi unsur-unsur pendidikan non-tradisional, seperti misalnya: membuka sekolah formal yang terintegrasi, penekanan kemampuan bahasa Inggris, penguasaan ilmu-ilmu umum (matematika, IPA, sosiologi, dll), bahkan juga penekanan penguasaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Penyesuaian ini berhasil membuat lulusan pesantren punya kompetensi yang kontekstual dengan situasi zaman. Luarannya pun lebih beragam. Kalau dulu pesantren sangat dekat dengan regenerasi petani, nelayan, pedagang, agamawan dan pegawai sipil, kini spektrum itu meluas dengan tambahan seperti akademisi, tokoh publik, influencer, atau bahkan event-organizer.

Modernitas kemudian memengaruhi pesantren. Di sebagian daerah, baik itu di kampung ataupun kota, ada beberapa pesantren yang ‘ikut-ikutan’ visi sekolah Islam, yang secara jelas keduanya berasal dari alam dan semangat pendidikan yang berbeda. Misalnya seperti visi yang bunyinya kurang lebih: “Generasi Islami, Unggul, Modern, Bertaqwa dan Berakhlak”.

Di pesantren-pesantren besar dan tua, reorientasi visi itu tidak terjadi. Mereka tetap berpegang pada orientasi lama, namun berkat petinggi ataupun jajaran pengurusnya mengalami kosmopolitanisme pengetahuan, baik itu karena paparan dari luar negeri ataupun karena relasinya dengan universitas lokal, modernitas yang menerpa pesantren dapat ditangani dengan elegan tanpa perlu reorientasi visi.

Di pesantren-pesantren kecil/menengah dan muda, reorientasi visi itu sering kali lahir dari kegelisahan bahwa, banyak santrinya yang tidak mendapat kehidupan yang nyaman di era modern. Di saat yang sama, sayangnya, hanya sedikit dari pesantren-pesantren kecil/menengah-muda yang memiliki kosmopolitanisme pengetahuan. Sehingga, identifikasi terhadap kegelisahan tadi dilakukan kurang teliti.

Petinggi ataupun jajaran pengurus kemudian menilik ulang pengajaran di pesantren: mengapa tradisionalisme yang diajarkan tidak menjawab modernitas dengan memuaskan?

Di desa, sebagian pesantren kecil/menengah-muda meresponnya dengan cangkokan instan antara tradisionalisme dan muatan-muatan modern seperti bahasa asing, pelajaran-pelajaran umum, dan kompetensi industrial seperti otomotif dan TIK misalnya. Faktor eksternal seperti konteks kelokalan masyarakat―baik itu yang berbentuk profesi, tradisi ataupun geografis―dan industrialisasi pedesaan yang bermotif ekonomi kapitalistik, luput dari pertimbangan.

Dampaknya, pesantren kecil/menengah-muda di desa tidak begitu berhasil mengantarkan santrinya pada perbaikan status sosial. Sebab, santrinya mengalami kompetensi yang dilematis. Pada satu sisi kompetensinya tercerabut dari kebutuhan masyarakat lokal, namun di lain sisi, kompetensi modern yang dimilikinya tidak cukup untuk menggapai ruang-ruang modern yang nyaman.

Santri akhirnya tersalurkan pada posisi-posisi kasar di dunia industri. Sedangkan, pesantren akhirnya berkontribusi pada proses degenerasi kelokalan masyarakat, baik yang berupa profesi seperti degenerasi petani/nelayan ataupun yang berupa tradisi. Di daerah Indramayu, Cirebon, Subang, dan Karawang, kasus seperti ini mudah ditemukan. Sebagian santri yang mesantren di daerah-daerah ini terserap di Kawasan Industri di Cikarang, Bekasi.

Memang benar bahwa ada sebagian santri lain yang mampu menggapai pendidikan tinggi dan mampu hidup di luar ruang industri, namun berapa persen proporsi santri yang mengisi dua nasib yang berbeda ini perlu diteliti lebih jauh agar pesantren kecil/menengah-muda yang ada di desa punya bahan evaluasi terkait visi dan otonomi arah pendidikannya.

Selain masalah luaran alumni yang tersalur ke ranah industri, pesantren juga mengalami masalah ideologis. Tidak semua santri atau bahkan pengurus di pondok pesantren moderat, baik itu di desa ataupun kota, punya kekebalan terhadap ideologi tertentu. Hal ini sangat ditentukan oleh ada atau tidaknya pembekalan soal peta ideologi Islam di pesantren yang bersangkutan sehingga santri punya sensibilitas yang memadai soal beragam spektrum ideologi Islam.

Di pesantren tua, para santri terbekali dengan sendirinya secara memadai karena iklim kosmopolitanisme pengetahuan yang sangat menunjang. Kalaupun tidak ada kosmopolitanisme pengetahuan, santri di pesantren tua biasanya punya wawasan dan pemahaman yang kompeten soal seluk-beluk Islam, sehingga dengan sendirinya ia dapat mengenali mana spektrum ideologi yang hijau dan mana yg hitam.

Sementara itu di pesantren muda-modern, kekebalan itu jauh lebih tidak pasti. Ketidak-pastian ini disebabkan karena, pertama, iklim kosmopolitanisme pengetahuan yang belum tentu hadir. Sehingga, santri di pesantren muda-modern belum tentu punya peta gerakan ideologi Islam. Dan kedua, karena kedekatan santri dan pengurusnya dengan budaya pop, baik yang sekuler ataupun Islami.

Biaya bayaran―yang kadang cukup eksklusif―akan menyaring segmentasi santri yang mampu mesantren di pondok yang bersangkutan dengan karakteristik sosial-ekonomi dan selera kebudayaan yang jelas berbeda dengan pondok yang bayarannya lebih inklusif. Santri pada segmentasi ini umumnya punya kedekatan harian dengan karakteristik dan kebudayaan pop―wilayah yang saat ini menjadi irisan antara ranah konsumerisme kapitalistik dan ranah kamuflase ideologi Islam non-moderat.

Kedekatan dengan irisan ini pada beberapa kasusnya menimbulkan ambiguitas ideologis, di mana: meski santri yang bersangkutan mesantren di pondok moderat, namun pada derajat tertentu masih bersimpati pada penceramah pop konservatif yang berideologi non-moderat. Fenomena ini lebih dipengaruhi oleh resonansi kesamaan antara selera budaya individu dan corak konten yang ditawarkan, dibanding karena komitmen ideologis.

Dengan kata lain, apa yang telah diuraikan sedari awal menunjukkan ada dua lubang yang perlu menjadi perhatian bagi pesantren. Pertama, masalah prospek luaran alumninya. Kedua, masalah terbekali atau tidaknya santri oleh peta gerakan ideologi Islam.

Memang betul bahwa ada pesantren yang mampu mengintegrasikan dan mengembangkan santrinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal sekitar. Namun pesantren yang belum mengarah ke sana, perlu diberikan perhatian agar santrinya tidak semakin banyak tersalurkan ke ranah industri dan akhirnya menyebabkan degenerasi profesi dan tradisi di masyarakat lokal.

Di lain sisi, pesantren juga perlu untuk memastikan bahwa santrinya telah memiliki peta gerakan ideologi Islam dan punya sensibilitas untuk mengenalinya. Pondok pesantren moderat memang sangat gencar menekankan soal Islam moderat dan nasionalisme. Namun perhatiannya pada rayu halus budaya pop ataupun Islam pop terhadap santrinya belum begitu terukur. Minimnya perhatian pada soal ini beresiko pada tidak membekasnya muatan-muatan pesantren pada santri yang hanya berkesempatan mondok sebentar.