Idul Qurban (Idul Adha) merupakan suatu alegori momen keimanan yang amat mendalam bahwa puncak iman adalah pengorbanan 100% kepada Tuhan.
Idul Qurban bukan sekadar peringatan peristiwa penyembelihan anak oleh ayahnya atas perintah Tuhan yang menjelang tersembelih sang anak berubah menjadi domba. Peristiwa ini diperingati oleh kaum muslim sedunia setahun kali dengan berkurban domba, sapi maupun onta untuk disembelih dan sebagian dagingnya dibagikan kepada orang lain.
Pengorbanan dalam alegori kisah Ibrahim menyembelih Ismail atas perintah Tuhan merupakan wujud pendekatan (al-qurb) yang nyata dari manusia kepada Tuhan. Pemahaman yang lain memandang bahwa al-qurb sebagai kedekatan Tuhan dengan manusia. Dua arah pandangan yang berlainan ini telah memahami al-qurb sebagai inisiatif manusia (antropologis) dan kehendak Tuhan (teologis).
Yang mendekat atau yang didekati mengasumsikan posisi yang aktif dan posisi yang pasif. Manusia yang mendekat kepada Tuhan atau manusia yang didekati oleh Tuhan. Pemahaman dua arah tentang al-qurb ini berangkat dari sejenis adab hubungan antara manusia sebagai hamba dan Tuhan sebagai Pencipta; dan kasih sayang Tuhan yang dikaruniakan kepada sang hamba, manusia.
Apakah kedua pemahaman tentang al-qurb itu bisa dipertemukan oleh pemahaman bahwa manusia dan Tuhan saling mendekat? Apakah kesaling-mendekatan semacam ini selaras dengan pandangan tauhid? Semua ini akan menjadi pertanyaan yang kurang tepat bila dihadapkan kepada sebagian kaum sufi yang berpandangan wihdatul wujud, yang ditamsilkan oleh seorang sufi dari Aceh, Hamzah Fansuri, bahwa hubungan antara Tuhan dan manusia serupa laut dan ombaknya.
Tampak ironis tatkala Ibrahim hendak menyembelih putra tersayang, Ismail, dan sang putra rela serta bersabar menerima perintah Tuhan yang dititahkan kepada sang ayah itu. Atas nama Tuhan, sesuatu yang tampak sebagai keironisan antropologis, telah berubah atau bergerak menjadi kesakralan teologis.
Satu ayat al-Quran mengguratkan dialog antara Ibrahim dan Ismail dalam momen yang menyayat dan mengharukan itu:
“Wahai, putraku,
sesungguhnya aku bermimpi menyembelihmu, pikirkanlah apa pendapatmu.”“Wahai, ayahku,
laksanakan yang telah diperintahkan Allah kepadamu. Insya Allah, engkau akan menemuiku termasuk golongan orang-orang sabar.”
Pada peringatan Idul Qurban, sebagian daging domba kurban dari si Fulan dibagikan kepada orang lain untuk dinikmati, bukan dipantangkan memakannya. Maka menyembelih hewan kurban bukan lambang mematikan atau menyembelih nafsu hewani dalam diri manusia sebab daging kurban untuk disantap dan masuk ke dalam diri manusia.
Ibrahim dan Ismail mengekspresikan keimanan mereka secara berbeda. Ibrahim mematuhi perintah Tuhan agar ia menyembelih Ismail dan Ismail merelakan diri disembelih oleh ayahnya. Ayah dan anak ini menerima dan menjalani perintah Tuhan. Penghambaan total mereka kepada Tuhan menjadi sebuah alegori keimanan yang mengetarkan.
“Domba iman” membuktikan diri dengan kesediaan disembelih, dikurbankan, demi menjalani perintah Tuhan. Penolakan atas perintah Tuhan untuk menyembelih atau ketakrelaan untuk disembelih akan menciptakan “domba Iblis”, suatu nafsu pembangkangan. Domba-domba yang tersembelih adalah lambang “domba iman”, domba yang patuh menjalani perintah Tuhan, maka sebagian daging domba ini dibagikan kepada orang lain untuk disantap.
Domba-domba yang diikhlaskan disembelih pada hari Idul Qurban merupakan lambang Ibrahim menyembelih anak kesayangannya, bukan lambang mematikan nafsu hewani, melainkan lambang membebaskan keimanan manusia dari belenggu kepemilikan duniawi.