Saya punya pengalaman traumatis dengan suara “totot” dan lampu strobo yang ditembak-tembakkan sekenanya. Ceritanya, di sebuah titik lampu bangjo di kota saya tinggal, ada mobil yang terus berisik dan, dalam hemat saya, telah mencapai derajat mengganggu sesama pengguna jalan. Betapa tidak. Di situasi macet yang na’udzubillah, mobil itu terus memberi tanda agar kendaraan di depannya terbang terus melaju. Lampu tembaknya yang tantrum pun memerihkan mata.
Lha gimana mau maju kalau memang tak bisa maju? Ingin sekali saya turun dan mengumpat ke si pengendara mobil.
Saya pun mengatur agar kaca mobil saya tidak meraupi cahaya yang norak dari mobil yang terus saja membunyikan totot itu. Namun tetap saja, lampu itu masih mengganggu akibat memantul dari mobil lain. Karena tidak menemukan cara untuk mengendalikan situasi, saya pun memilih diam. Sesekali saya curi pandang mobil apa yang grusa-grusu seperti itu. Berisiknya mengalahkan Ambulance dan mobil pemadam kebakaran yang pernah saya temui di jalanan.
Apakah sang pengendara tidak melihat bahwa semua mobil yang ada di depannya tak bersayap? Mbok ya yang sabar.
Saat lampu berwarna hijau, mobil tersebut terlihat mengambil jalur kiri. Ketika berpapasan, saya pun membatin. ‘Ooooh…’. Maklum. Tampak sebuah mobil besar dengan plat seri nomor tanpa huruf (you know who lah ya) mencoba membalap beberapa mobil yang tengah melaju sopan.
Tentu saja, lampu strobo dan suara totot terus dibunyikan. Tanpa ampun, mobil itu bermanuver dari jalur kiri memotong ke arah sebaliknya. Tampak sebuah mobil berplat nomor ‘wah’ itu menempel tepat di belakangnya.
Lagi-lagi saya hanya membatin. ‘Ooooh…’
Entah mengapa ironi semacam ini sudah tidak mampu menggerakkan hati saya untuk sekadar marah. Ketika mobil itu berlalu, saya justru merasa iba. Kenapa sikap seperti ini sudah menjadi template bagi orang-orang berseragam? Apakah memang seragam mampu membuat orang menjadi punya perasaan lebih superior daripada yang lain? Padahal, seragam semestinya menjadi bukti bahwa mereka adalah orang yang sangat bergantung pada rakyat kecil.
Cerita banyaknya pengguna jalan yang terganggu lampu strobo dan suara “totot” dari mobil dinas berseragam hasil pajak bukanlah hal baru. Termasuk kisah-kisah pengawalan pada kendaraan di luar ketentuan undang-undang. Namun mengalami sendiri peristiwa itu adalah hal lain.
Kini, ketika melihat plat sejenis dengan tindak-tanduk yang tak jauh beda, saya memilih untuk mengalah dan menjaga jarak kendaraan saya sejauh mungkin.
Beberapa hari yang lalu, berita adanya seorang petinggi sebuah institusi yang mengalami kecelakaan ramai dibicarakan di media sosial. Mobil yang dikendarainya tertimpa truk bermuatan pasir. Ironisnya, sebagian besar komentar begitu ‘memaklumkan’ musibah yang terjadi. Banyak yang sudah memprediksi hasil akhir. Kalau tidak berdamai, pasti supir truk yang dinyatakan bersalah. Sebab benar dan salah kerap mengikuti syarat dan ketentuan oknum.
Padahal rekaman CCTV memperlihatkan mobil tersebut bermanuver seperti ‘pada umumnya’, mengambil jalur kiri lalu tiba-tiba memotong jalan untuk ke arah yang berlawanan.
Diduga sang supir truk terkejut karena suara “totot” itu, lalu membanting setir hingga menabrak pembatas jalan. Truk besar itu pun ambruk dan menimpa mobil yang dikendarai sang petinggi. Untungnya, tidak ada korban jiwa.
Reaksi kemarahan yang mewujud pada pendapat skeptis perlu menjadi catatan penting. Itu pun jika yang bersangkutan merasa perlu untuk mencatatnya. Kalau pun tidak, mbok ya mulai sadar bahwa cara-cara arogan itu hanya membuat kepercayaan masyarakat semakin terkikis.
Atau jangan-jangan seragam dimaknai sebagai identitas yang membedakan mereka dengan masyarakat cilik? Apalagi di banyak kasus konflik, seragam adalah simbol yang begitu kuat melawan rakyat. Terlebih jika menyangkut proyek strategis nasional, masyarakat kerap tak lagi dilihat sebagai makhluk hidup yang bisa diajak berdialog.
Satu peristiwa itu cukup mewakili rentetan kegelisahan pengguna jalan akibat suara totot yang menjengkelkan. Saya berandai-andai jika suatu saat Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, atau Muhammadiyah, berkenan mengeluarkan fatwa haram tentang penggunaan lampu strobo dan suara totot di jalanan tanpa situasi darurat yang menyangkut nyawa.
Jika demikian, kelak di yaumul hisab mungkin akan ada kisah seperti ini.
Saat pembagian catatan amal, seorang oknum tampak sedih. Ia pun bertanya, “Mengapa hamba memiliki banyak catatan buruk, wahai pencatat?”
“Anda merugikan banyak masyarakat karena semena-mena di jalan raya.”
“Apa buktinya?” Sang oknum berkilah.
“Kamu berkendara sekenanya. Membuat banyak orang terganggu.” Sekenanya? Ia tampak bingung karena merasa bahwa apa yang dilakukannya biasa saja. Apalagi dirinya adalah oknum petinggi. Wajar, dong, meminta didahulukan dari rakyat jelata. Soal terganggu ya itu salah mereka mengapa mereka jadi orang biasa. “Saya merasa bahwa apa yang saya lakukan wajar saja,” ujarnya.
“Biasa saja? Akan kami hadirkan saksi.”
Di ruang penghakiman, ia tampak terkejut melihat dua benda yang selalu melekat di kendaraannya ketika di dunia. Keduanya tampak hidup. Tampak rona penyesalan melingkupinya. “Kami dipaksa untuk menyakiti rakyat di jalanan dengan kendaraan yang dibeli dari uang pajak mereka sendiri. Padahal sudah distempel haram oleh MUI.”
Jika sang oknum masih berkilah dan butuh tambahan saksi, saya pun siap untuk memberikan keterangan.