Hangatnya Suasana Kekeluargaan saat Buka Puasa Bersama Jemaat Ahmadiyah Yogyakarta

Hangatnya Suasana Kekeluargaan saat Buka Puasa Bersama Jemaat Ahmadiyah Yogyakarta

Suasana penuh kekeluargaan terlihat saat saya mengikuti buka puasa bersama Jemaat Ahmadiyah Yogyakarta

Hangatnya Suasana Kekeluargaan saat  Buka Puasa Bersama Jemaat Ahmadiyah Yogyakarta
Suasana Buka Bersama Jemaat Ahmadiyah

Suasana penuh kekeluargaan terlihat saat saya mengikuti buka puasa bersama Jemaat Ahmadiyah Yogyakarta pada Minggu (16/4/2023). Ada beragam menu di sana, mulai dari es buah, kurma, pastel, kue bolu kukus, hingga air putih. Ada dua jenis air putih, gelas dan galon.

Buber itu terselenggara di sebuah gedung mewah di Kotabaru, Gondokusuman, Yogyakarta. Bukan sembarang Gedung, bangunan empat lantai itu adalah Masjid Fadhli Umar, masjid yang dikelola Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yogyakarta. Saya sempat berkunjung ke sana tahun lalu. Saat itu, saya diundang di acara peresmian Masjid di pertengahan akhir tahun 2022.

Saya takjub. Masjid itu mempunyai empat lantai yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda-beda. Lantai pertama adalah lahan parkir dan lokasi penerimaan tamu. Lantai kedua difungsikan sebagai masjid utama dan tempat meeting. Lantai tiga menjadi aula bagi jamaah masjid perempuan dan asrama untuk jemaat yang bermukim Masjid. Lantai empat berisi hall sebagai ruang pertemuan dan event besar. Hari ini, saya berkesempatan kembali datang ke Masjid Fadhli Umar untuk mengikuti buka bersama dengan saudara-saudara Ahmadiyah Yogyakarta.

Saya datang sekitar pukul setengah lima. Para jemaat sudah berada di dalam aula masjid. Kalangan perempuan sudah berada di lantai tiga masjid. Tak perlu khawatir karena balkon lantai tiga terbuka untuk melihat mimbar dan setengah bagian dari masjid di lantai dua. Sedangkan jemaat laki-laki berada di lantai dua, berhadapan langsung dengan mubaligh yang sedang mengisi kultum menjelang berbuka.

“Bagi yang baru datang silahkan masuk dan menempatkan diri,” bapak Mubaligh menyapa kami di sela kultumnya.

Kami tersenyum dan mengangguk kemudian duduk bersila. Melihat jemaat lain sedang membuka al-Qur’an, saya langsung mengeluarkan kitab suci Islam 4.0 dari dalam tas, Qur’an for Android. Kultum sore itu diisi dengan kajian Surat Adz-Dzariyat, dari tajwidnya hingga muatannya.

Jarum jam menunjukkan pukul 17.40. Kumandang adzan melengkapi penutupan majlis. Kami dipersilahkan memasuki aula di samping masjid untuk menikmati berbagai sajian yang telah dihidangkan. Seperti yang disebutkan, ada kurma, es buah, pastel, dan bolu kukus. Seorang ibu juga kemudian masuk membawa satu teko penuh teh panas.

Para tokoh dan jemaat Ahmadiyah terlihat mengobrol santai sambal menyantap hidangan. Saat itu, kehadiran kami semakin menambah ragam identitas di acara tersebut. Saya adalah Islam NU, ada Umbu, seorang Kristen yang taat dari NTT, lalu teman saya, seorang jemaat Ahmadiyah Indonesia asal Bogor yang juga bermukim di masjid tersebut.

Selepas shalat maghrib, kami lanjut mengobrol sembari menyantap ayam panggang yang disediakan oleh masjid. Tidak ada sekat di antara kita saat itu. Suasana buka puasa dengan nuansa kekeluargaan yang erat tampak terasa. Pak Murtiyono Yusup, sang Mubaligh kultum, menyapa kami dengan ramah sembari menanyakan asal daerah kami masing-masing.

Lumrah diketahui, Jemaat Ahmadiyah merupakan salah satu komunitas yang sering mendapat perlakukan diskriminatif di beberapa daerah Indonesia. Perlakuan itu bahkan cenderung mengarah ke persekusi fisik yang berujung anarkisme dan tindak kriminal. Namun, tidak demikian halnya dengan di Yogyakarta. Suasana penuh penuh kekeluargaan bisa terjalin antar golongan agama di sini.

“Pak, acara Ramadhan seperti ini tu umum atau hanya untuk internal saja?” tanyaku kepada seorang jemaat yang saya ketahui kemudian bernama Pak Kamal.

Enggak lah mas, ini untuk umum. Siapapun boleh datang. Kami menjalin hubungan baik dengan masyarakat sini. Jadi semua kegiatan yang diadakan di masjid ini tentu terbuka untuk publik,” ujarnya.

“Masjid ini juga mengadakan shalat ied, pak?” saya lanjut bertanya.

“Iya mengadakan, dan terbuka juga untuk semua orang,” tutur pak Kamal. Saya langsung membayangkan, kapan lagi shalat ied di Gedung empat lantai.

Ia kemudian banyak bercerita soal penerimaan masyarakat Yogyakarta, terutama umat Muslim, yang positif terhadap jemaat Ahmadiyah. Ia membandingkan dengan daerah asalnya, Cirebon, yang sangat keras terhadap paham Ahmadiyah. Saya tidak heran. Jawa Barat memang basisnya Islam garis keras. Beberapa daerah seperti Depok, Banten, dan Cirebon menjadi titik-titik sentral di mana tindak intoleransi sering terjadi.

“Betul pak, Jogja relatif ramah dengan pendatang. Secara umum, aliran-aliran Islam di Jogja sudah banyak berinteraksi satu sama lain berkat status Jogja sebagai kota perantauan,” saya sebagai akamsi menjelaskan.

Buktinya, perwakilan Kementerian Agama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Dr. H. Halili M.Si. dalam sambutannya saat peresmian Masjid, turut mengungkapkan kegembiraan atas selesainya pembangunan Masjid Fadhli Umar tersebut. Ia bahkan berharap salah satu ruangan yang ada di Masjid itu bisa menjadi fasilitas penyelenggaraan bimbingan nikah untuk masyarakat umum.

Saya ingin menegaskan bahwa masyarakat Jogja pada umumnya sudah peka terhadap keberagaman. Bahwa benar masih ada satu dua aksi intoleransi. Namun secara umum, terutama di kawasan urban, masyarakat Jogja umumnya merangkul keberagaman.

Tak lama, adzan isya berkumandang. Saya dan beserta teman-teman meminta izin pamit meninggalkan masjid. Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih, seorang teman Ahmadiyah tiba-tiba menyodorkan sebuah plastik besar,

“Ini mas, dibawa pulang,” ujarnya.

Selain membawa pengalaman, kami jadinya membawa empat kardus besar ayam panggang sisa buka bersama yang ternyata masih banyak. Kami tentu sumringah. Kami turun menggunakan lift, mengambil motor, dan meninggalkan komplek Kotabaru.

Obrolan menjelang berbuka itu menyimpulkan banyak hal. Kami sepakat bahwa sikap intoleran yang ditampilkan sebagian masyarakat kita berangkat dari interpretasi yang salah terhadap pemeluk Ahmadiyah. Bukan pada ajarannya, melainkan pada sosok manusianya.

Banyak dari mereka menganggap pemeluk Ahmadiyah sebagai umat yang eksklusif, menutup diri, dan membahayakan. Padahal, itu tidak lebih dari sikap fanatis berlebihan dan pola pikir radikal mereka terhadap apa yang mereka yakini. Citra yang mereka ceritakan itu dengan mudah terbantahkan melalui kehangatan buka bersama hari ini di Masjid milik Jemaat Ahmadiyah di Yogyakarta.