Intinya memang ada perbedaan. Perbedaan sudut pandang, perbedaan tafsir. Nah yang paling penting lagi ada bagaimana kita bisa menyikapi perbedaan ini? Ini kesempatan agar kita bisa membuktikan bahwa perbedaan itu rahmat, bukan laknat. Yang pro maupun kontra poligami itu niscaya, tetapi kita tidak boleh membuang-buang waktu untuk kemudian saling merendahkan satu sama lain. Apa sebab?
Perbedaan sudut pandang dan tafsir di antara keduanya (antara yang pro dan kontra) juga berdasarkan keilmuan, bukan sekadar asal bicara. Baik itu keilmuan yang menyangkut Al-Qur’an maupun riset sosial.
Namun lagi-lagi, kita harus tetap bijak dalam mengemukakan pendapat. Saya sendiri misalnya, betapapun saya memilih monogami, itu bukan berarti saya merendahkan orang lain yang pro poligami.
Saya memilih monogami karena berdasarkan pemahaman dan pengkajian, poligami itu lebih banyak membawa madarat ketimbang maslahatnya. Saya juga pernah melakukan riset kecil-kecilan untuk mengetahui sejauh mana pendapat para perempuan terkait dengan poligami. Diakui atau tidak, perempuan Muslimah hijabers pun hampir tidak ada yang mau dipoligami.
Apalagi kehidupan maayarakat kita ini sejak lama dikotori oleh budaya patriarkhi. Budaya yang selalu menempatkan laki-laki atau suami sebagai penentu kebenaran perempuan atau istri. Patriarkhi meniscayakan bahwa perempuan yang telah menikah itu mutlak ada dalam kendali laki-laki.
Dalam posisi inilah perempuan menjadi tidak berdaya. Sehingga jika kemudian ditemukan ada perempuan yang rela dipoligami, itu bisa dipastikan bukan karena alasan yang logis, tetapi karena laki-laki yang mengajak poligami itu mempunyai pengaruh yang luas (seorang tokoh), motif ekonomi karena perempuan belum bisa hidup mandiri. Fakta dan realitasnya lagi bahwa istri kedua dan seterusnya akan jauh lebih cantik dan lebih muda.
Terlalu sering saya menemukan kenyataan jika ada suami yang hendak melakukan poligami adalah sikap memberontak dari istri. Pilihannya cuma dua: menerima poligami walaupun dengan berat hati, atau menolak poligami dengan konsekuensi bercerai.
Dalam prosesnya, demi membujuk istri, suami biasanya melakukan segala cara, mulai dari motif sunah Rasul, membantu orang lain, sampai pada tahap tertentu suami ‘mengunci’ istri dengan doktrin bahwa istri harus patuh apapun perintah suami, karena kunci surga ada di tangan suami. Di sinilah biasanya para istri semakin tidak berdaya.
‘Tidak ada satu hati dua cinta, sebagaimana tidak ada dalam wujud ini dua Tuhan’. Saya pikir ini ungkapan indah dan paling hakikat. Saya juga teringat dengan kisah setianya seorang suami yang ikhlas setia dengan satu istri, meskipun istrinya duduk di kursi roda dan telah lama belum dikaruniai anak. Pasangan setia ini betul-betul mempraktikkan pernikahan sebagai akad perjanjian dan persaksian untuk selalu setia seumur hidup dalam suka maupun duka. Kondisi suka maupun duka selalu dihadapi bersama. Ini ideal dan berat memang, tetapi melihat orang lain bisa, saya yakin kita juga insya Allah bisa.
Wallaahu a’lam