“Tangkap, adili, & penjarakan Yaqut!!! Si penista agama! Jokowi gagal !!! Jokowi mundur!!!”
Demikian salah satu senarai tulisan yang terpampang dalam salah satu banner pendemo di depan gedung Kementerian Agama (Kemenag), Jakarta Pusat, Jumat (4/3) lalu. Unjuk rasa yang diinisiasi Persaudaraan Alumni atau PA 212 ini merupakan respon terhadap pernyataan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas yang diduga menganalogi adzan dan gonggongan anjing.
Sebagai negara yang menghormati perbedaan pendapat, tentu aspirasi berupa demo tersebut tidak ada salahnya. Namun, keputusan turun ke jalan itu bukan tanpa cela, doktrin, dan ideologi yang mereka bawa adalah salah satunya.
Undang-undang penistaan agama memang masih menjadi polemik. Namun, ia akan menjadi lebih mematikan jika berhasil dimonopoli oleh satu pihak. Sebut saja para pendemo ini. Tanpa mengurasi rasa hormat kepada kebebasan berekspresi, namun narasi penistaan agama yang mereka gaungkan sangat tidak etis. Mengapa demikian?
Hal ini tidak lebih dari sebuah narasi eksklusi-inklusi yang akrab dengan kaum mayoritas. Mereka yang dominan, mencoba menciptakan pola. Orang yang mengikuti pola itu akan dianggap sebagai sekutu. Sebaliknya, mereka yang berseberangan, akan dianggap sebagai musuh. Sama halnya dengan kasus ini, mereka menciptakan format tertentu berupa “Islam”, tentu “Islam” dalam pemahaman mereka. Untuk melindungi format ini, mereka menggunakan undang-undang penistaan agama sebagai tameng. Barang siapa berani menciderai pola itu, maka mereka akan langsung menghakiminya sebagai penista agama. Dan secara legal, negara memfasilitasi hal itu.
Satu orang orator berkata bahwa pernyataan Yaqut tersebut lebih parah dari pada milik Ahok 2016 silam. Ahok berhasil mereka tuntut atas kasus penistaan agama. Hal yang juga sedang mereka upayakan terhadap Gus Yaqut. Tidak lupa kasus Meiliana pada 2016, warga Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara yang juga terkena vonis penistaan agama atas perbuatannya memprotes volume suara azan yang berkumandang di lingkungannya.
Itulah yang saya katakan, bahwa undang-undang penistaan agama cenderung disetir oleh beberapa pihak saja. Gawatnya, mereka adalah para muslim fundamental bersumbu pendek. Bukan masalah video shalat mereka yang sempat viral di media sosial dan mendapat kecaman, namun hal yang lebih fundamental dari itu, yakni rasa kemanusiaan. Habib Ja’far dalam salah satu kutipannya mengatakan bahwa jika kamu tidak bisa menganggapnya saudara dalam agama, maka anggaplah mereka saudara dalam kemanusiaan.
Yang lebih ironis lagi, mengapa mereka harus menulis “Jokowi gagal!!! Jokowi mundur!!!”. Secara tersirat, ini bukan hanya demo ideologi saja, namun juga demo kepentingan yang sarat akan politik. Jikapun memang mereka tidak setuju dengan pernyataan Menag, mereka tentu bisa menyampaikannya secara lebih bijaksana. Misalnya, dengan mengajak dialog keagamaan dan sejenisnya. Saya tentu tidak menafikan opsi demonstrasi, namun hendaknya narasi yang dibawa juga haruslah sehat dan relevan. Mengapa narasi penistaan agama yang mereka bawa bisa menggiring massa pada wacana penurunan rezim. Sangat tidak masuk dalam nalar.
Analisa lain disampaikan oleh Direktur Eksekutif Kajian Politik (KPN) Adib Miftahul. Ia menyebut bahwa aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk upaya menunjukkan eksistensi dan mengingatkan publik bahwa mereka belum selesai. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa karena oposisi cenderung lunak kepada negara, mereka lalu mengambil alih itu. Barisan kekuatan itu mereka mainkan untuk mendapat simpati publik dan ruang demokrasi agar tetap terjaga.
Namun, saya tidak melihat ada sekelompok orang yang sedang memperjuangkan semangat demokrasi di sana. Saya hanya melihat sekelompok orang yang sedang berusaha memberi makan ego beragamanya. Jika memang ada kesalahan dalam ucapan Gus Yaqut, apa salahnya jika kemudian memberi maaf. Menampilkan Islam yang santun dan pemaaf. Dan meskipun harus demonstrasi, mengapa perlu ada pesan-pesan politis di sana? Sungguh sebuah fenomena keberagamaan yang prematur.
Apakah kita tidak lelah melihat Islam yang dicitrakan penuh kekerasan dan intoleran? Islam yang emosional, dengan umatnya yang temperamental. Siapa lagi yang akan mengukir citra Islam yang ramah dan penuh kasih kalau bukan kita sendiri?
Wallahu a’lam bisshowab.