Dalam al-Uhda al-Umariyyah, komitmen Umar bin Khattab untuk melindungi Kristen Jerussalem.
Suatu hari, di tahun 637 M/ 16 H, Umar bin Khattab tersenyum sumringah. Auranya memancarkan ketenangan saat ia dan pasukannya berbaris rapi memasuki kota Yerusalem. Saat itu, pasukannya berhasil menguasai negeri Aelia yang selama enam abad berada di bawah kuasa kaisar Bizantium. Aelia adalah wilayah yang sebagian besar penduduknya beragama Kristen Ortodoks. Sebagian besar penduduknya telah memeluk agama Kristen setelah Kaisar Konstantinus mengakui iman Kristennya pada tahun 312 M. Konstantinus kemudian menyebarkan agama Kristen di seluruh kekaisaran dan menjadikannya sebagai agama resmi pada 324 M.
Penaklukan itu ditandai dengan pengibaran bendera putih oleh para umat Kristen dengan cara yang santun. Penaklukan tersebut terjadi secara fair. Perang yang berkecamuk hanya antara laki-laki dewasa. Tidak ada anak-anak maupun wanita yang menjadi korban jiwa. Kota Yerussalem tunduk tanpa mengalami kehancuran yang signifikan. Hal ini sekaligus menegaskan kebijaksanaan Umar sebagai seorang khalifah dalam menjalankan pemerintahannya.
Pasca tunduknya Aelia pada kekhalifahan Islam, Patriarch Sophronious, pemuka agama Kristen Ortodoks Yerusalem saat itu, bersedia memberikan kunci kota kepada Khalifah Umar bin Khattab. Penyerahan kunci tersebut dilakukan sebagai upaya diplomasi, yang berarti tanpa ada unsur paksaan sama sekali. Umar menerima kunci tersebut dengan rasa hormat yang begitu tinggi.
Namun, tampaknya sang Patriarch menginginkan Khalifah Umar yang datang secara pribadi untuk menerima kunci-kunci Aelia. Pertama, karena kesucian Aelia bagi orang Kristen, sang Patriarch lebih memilih penyerahan dilakukan di hadapan kepala negara Muslim daripada seorang komandan lokal. Kedua, dia mungkin memiliki masalah lain yang ingin dinegosiasikan dengan Umar sebagai kepala negara baru di Aelia termasuk jaminan keamanan rumah peribadatan Kristen dan kehidupan umat Kristen di sana secara umum.
Meski demikian, Khalifah Umar nampak memang akan menawarkan perjanjian damai. Pakta perdamaian ini terwujud dalam sebuah deklarasi bernama al-Uhda al-Umariyyah atau jaminan keamanan Khalifah atas warga Aelia. Aelia merupakan nama yang diberikan kaum Kristen Ortodoks untuk wilayah Yerusalem saat itu yang dikuasi oleh mereka. Umar memerintahkan mereka untuk menghormati hak-hak setiap warga sipil yang mereka jumpai di sana.
Maher Abu Munshar dalam bukunya, Islamic Jerussalem and Its Christians, menjelaskan bahwa Gereja Qiyamah menjadi saksi perjumpaan Khalifah Umar dan Patriarch Sophronious untuk sama-sama menyepakati al-Uhda al-Umariyyah. Sebagai pihak penakluk, Umar sebenarnya bisa berbuat selayaknya seorang penguasa, namun sang Khalifah lebih memilih untuk tetap menghargai dan menghormati pemuka agama Kristen Ortodoks itu sebagai pihak setara derajatnya.
Salah satu poin perjanjian itu, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Jauzi, berbunyi;
“Umar menulis kepada penduduk Bayt al-Maqdis (Aelia): Saya menjamin bagi Anda keselamatan individu, properti, keluarga, salib Anda, dan gereja Anda. Anda tidak akan dikenakan pajak di luar kemampuan Anda, dan siapa pun yang memutuskan untuk mengikuti kaumnya (Kristen) maka ia akan dijamin keselamatannya dan Anda membayar kharaj seperti kota-kota lain di Palestina..”
Perjanjian tersebut selesai berbarengan dengan masuknya waktu shalat. Khalifah lantas bertanya kepada Patriarch Sophronious, di mana ia bisa menunaikan shalat. Patriarch Sophronious mempersilakan Umar untuk shalat di gereja itu. Namun, Umar menolak tawaran tersebut. Khalifah kemudian keluar dari Gereja dan shalat di anak tangga.
Gereja Qiyamah merupakan tempat suci di Yerusalem bagi umat Kristen Ortodoks. Menurut Umar, secara simbolis, bila shalat itu dilaksanakan di dalamnnya, pasukan Muslim dapat menafsirkannya bahwa Gereja Qiyamah boleh ditaklukkan sehingga diubah menjadi masjid. Penjelasan ini berbuah anggukan takzim dari sang Patriarch.
Sebuah masjid kecil kemudian dibangun di titik anak tangga tempat Khalifah Umar melaksanakan shalat. Sebagai bentuk penghormatan, Khalifah menganjurkan agar azan tidak dikumandangkan di dalam masjid kecil tersebut. Sebab, dikhawatirkan akan mengganggu aktivitas ibadah umat Kristen Ortodoks di Gereja Qiyamah, yang berada tak jauh darinya.
Satu lagi yang perlu dicatat, yaitu bahwa Umar tidak menandatangani perjanjian antara dua pihak, tetapi memberi orang-orang Aelia jaminan keamanan. Hal ini penting karena memberi jaminan dan meminta kesepakatan merupakan dua hal yang berbeda. Dalam keadaan normal, perjanjian damai muncul sebagai hasil negosiasi antara dua pihak. Dalam hal ini, hanya satu pihak, yaitu kaum Muslim yang menandatangani Jaminan Umar. Orang-orang Kristen, yang dipimpin oleh sang Patriarch, tampak tidak menandatangani dokumen ini.
Hal ini menunjukkan bahwa jaminan diberikan kepada mereka sebagai komitmen perdamaian dan bukan sebagai sebuah perjanjian. Komitmen ini merupakan manifestasi dari rahmatan lil alamin yang bisa kita ambil untuk kehidupan saat ini. Kita tidak perlu menunggu permintaan dari atau adanya persekusi terhadap umat non-Islam. Namun, kita justru yang harus memulai komitmen bahwa Islam adalah agama yang membawa damai dan melindungi semua makhluk. (AN)
*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT