Beberapa waktu lalu, Ustad Abdul Somad (UAS) mengatakan jika umat muslim dilarang untuk masuk dalam gereja. Belum lagi, pada saat Natal, kita selalu dibayang-bayangi tentang keharaman untuk mengucapkan selamat natal kepada kawan kristiani kita.
Hal lainnya, ketika kita kecil sudah dikecoki kecurigaan lainnya tentang teman kita selain muslim. Semisal ketika mereka memberikan makanan, apakah mengandung babi atau tidak, apakah halal atau haram makanan dari mereka, dan konspirasi kritenisasi yang disebarkan sebagai pengantar tablik akbar.
Bahkan, sejak dari kecil kita selalu dicekoki kecurigaan terhadap agama lainya. Serta apa yang dilakukan oleh UAS menambah deretan luka atas perbedaaan agama di antara kita semua. Dari kejadian terjadi kita perlu menarik ingatan kita ke masa lalu. Pada abad ke-13 Islam mulai masuk ke Indonesia. Dua abad kemudian, agama barat mulai masuk ke Indonesia. Saat itu, konflik dan peperangan tidak bisa terhindari lagi.
Lalu, pada abad 15 dan 16 kerajaan Portugis memulai misi dagang ke Indonesia, yaitu God, Gold dan Glory. Persaingan dan konflik tak terhindari hingga abad ke-19. Di saat yang bersamaan, kita mengenal plurasime yang didominasi oleh kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah. Persaingan dan trama konflik tersimpan dalam memori kolektif yang sering diteguhkan menjadi semacam keyajian teologis bagi penganut masing-masing.
Dari sejarah yang ada dengan sederet luka perbedaan agama yang terjadi di Indonesia, bagaimana dengan wajah pluralisme di Indonesia ke depannya? Apakah kita akan menemui kejadian semacam ini lagi?
Sesungguhnya agama-agama adalah institusi tua yang pernah dimiliki manusia. Serta agama merupakan lembaga yang paling lengkap yang mampu menamping dan menyimpan memori pengalaman manusiawi yang diwariskan turun temurun dalam keadaaan yang asli. Sehingga, hal tersebit membuat orang beragama selalu cenderung berkelana ke masa lalu untuk mencari ilham. Terkadang, mengembalikan masyarakat masa depan untuk mengembalikan ke masa lalu. Secara tidak langsung salah satu watak agama adalah kegandrungan terhadap masa lalu.
Diakui atau tidak memori kolektif yang kuat terpelihara dalam setiap agama, disadari atau tidak sering dilatarbelakangi oleh rasa takut, tidak percaya, kejerian, prasangka, dendam, kebencian dan trauma terhadap pengalaman kekelahan yang pernah mereka alami di masa lalu.
Oleh karena itu, agama harus menjadi pokok kajian kritis, tidak bisa diandaikan semuanya baik-baik saja.
Tentu saja, perang dingin atau kecurigaan terhadap agama lain harus diakhiri. Sesuati yang contemptuous terhadap agama lain, nafsu polemik-apologetis harus diakhiri. Wacana tentang pluralisme dan dialog adalah wacana eman-sipatoris dan liberatif. Apa yang dilakukan UAS dan ustad lainnya yang menggambarkan kecurigaan terhadap agama lain, salah satu contoh fanatisme mantalitas gettho yang masih sering menggelayuti kehidupan keberagamaan kita.
Perlu diakui, politik SARA dari Orde Baru menyesatkan dan mengawali konflik. Politik tabu harus dihilangkan sebagai awal dari pembaruan politik agama dan politik suku yang baru. Dialog dan kerjasama antarkelompok dalam konteks pluralism masyarakat tertuju ke arah rekonsiliasi, apresiasi, penghargaan pada HAM, demokratisasi, keadilasan sosial, solidaritas sosial, kesetaraan gender dan lainnya.
Selain itu, kita perlu bercermin pada munculnya kerajaan Hindu dan Budha di Indonesia yang mana tidak menimbulkan konflik yang berarti. Masuknya Hindu dan Budha di Indonesia malah terjadi prises sintese atau singkretisme yang mampu menciptakan harminisasi kehidupan yang baik dati segi agama maupun politik.sebagaimana terjadi di zaman Sriwijaya, Mataram Tua dan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur.
Hal yang perlu diwujudkan adalah suasana kondusif bagi terminalimalisirnya konflik sosial yang berdimensi SARA. Tentu saja perwujudannya harus terlahir dari suatu masyarakat yang cerdas, yang pola hidupnya berlandaskan rasionalitas dan moralitas. Terbina tanpa distorsi dialog sosial yang fahir dari kesadaran akan pentingnya kebersamaan. Kita seringkali merugi dari sejumlah pertikaian karena perbedaan SARA.
Sudah saatbta nilai-niai yang mengajari cinta, persaudaraan, persamaan dan berbagai sufat mulia launnya di tengah masyarakat. Manusia harus bisa menerima pluralism SARA sebagai sesuatu yang bukan untuk dipertentangkan. Harus menyadari, bahwa kekerasan, apapun alasannya hanya mendatangkan mudharat.