Upaya Media Menciptakan Penista Agama: Dari Ahok Menuju Ustadz Somad

Upaya Media Menciptakan Penista Agama: Dari Ahok Menuju Ustadz Somad

Ada peran media yang begitu besar dalam proses sosok tertentu dianggap menista agama. Bagaimana seharusnya?

Upaya Media Menciptakan Penista Agama: Dari Ahok Menuju Ustadz Somad
Upaya untuk meng-Ahokkan-Ustadz Somad ini layak untuk tolak

Nama Ustadz Abdus Somad kembali mencuat. Kali ini bukan karena ceramah agamanya nan menghibur yang sudah biasa, bukan pula karena aktivitasnya yang sedikit bertalian dengan situasi politik, melainkan karena viralnya video ceramah UAS yang menyentil sesuatu yang sakral dari agama tertentu dan sentilannya itu dianggap telah menista agama. Berkat video tersebut, menurut kabar terakhir, UAS dilaporkan ke polisi dengan tuduhan blasphemy.

Apresiasi patut diberikan terhadap islami.co sebab pada tanggal 18 Agustus 2019, atau sehari setelah video UAS memiral, situs tersebut menurunkan beberapa artikel yang merespon kejadian ini dengan cepat. Salah satu tulisan yang menarik adalah tulisan saudara Ayub El-Fikri – atas nama Redaksi – dengan judul “Sejarah Penodaan Agama dari Masa ke Masa”. Sebagaimana judulnya, Ayub memaparkan sejarah bagaimana Negara mengatur definisi agama melalui undang-undang yang berartikulasi dari masa ke masa, sehingga suatu gerakan keagamaan yang tidak sesuai dengan definisi Negara dianggap sebagai penodaan agama-agama resmi.

Akan tetapi perhatian saya tertuju pada salah satu kalimat yang ditulis Ayub: “entah ada motif apa di balik peng-upload-an, padahal yang bersangkutan saat ini sedang di luar negeri untuk melanjutkan studi doktoralnya.” Kalimat ini nampak mengandung pentingnya analisa media terhadap wacana penistaan agama oleh UAS itu.

Alex Sobur dalam Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing (2002) menyatakan bahwa media menjadikan sistem komunikasi sebagai faktor yang mempengaruhi sang pelaku dalam membuat wacana, sehingga media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik dan fakta yang kompleks dan beragam. Alih-alih menegaskan apakah ceramah UAS itu merupakan suatu penistaan atau penodaan agama, kita patut memperhatikan sejauh mana media mengonstruksi apakah ada penistaan atau tidak.

Lebih jauh, Eriyanto dalam Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media (2002) mengatakan media dapat mendefinisikan nilai dan perilaku yang sesuai dan perilaku atau nilai apa yang dianggap tidak sesuai dengan nilai suatu kelompok. Media juga secara aktif mendefiniskan peristiwa dan realitas sehingga membentuk apa yang layak, apa yang baik dan apa yang dipandang menyimpang. Konon, video UAS yang tengah viral itu adalah video lama yang diunggah ke media-media sosial, sama halnya dengan video pidato Ahok yang sebenarnya sudah lama kemudian diunggah dan ditambahkan keterangan (caption) untuk memberi makna tertentu yang dikehendaki si pembuat dan penyebar video.

Meski demikian, perlu kajian yang lebih mendalam untuk mengungkap semua ini dari sudut pandang analisis wacana media, sebagaimana dimaksud Ayub dengan kalimat “entah ada motif apa…” Terlebih teori-teori di atas nampaknya lebih cocok diterapkan kepada media-media lama yang terbatas, sementara video UAS beredar di media-media sosial yang sulit ditentukan sesiapa pembuat dan penyebarnya dan begitu luas jangkauannya. Cukuplah di sini saya katakan bahwa tanpa diunggah ke media ceramah UAS itu tak akan menjadi wacana. Tanpa diunggah ke media sosial dengan keterangan tertentu ceramah yang sebenarnya sudah biasa membuat makna penistaan lebih kentara.

Menyinggung dan mengolok-olok hal-hal sakral dalam agama lain bukanlah barang baru. Hal itu sudah biasa menghiasi dan menjadi konten perbincangan komunitas agama tertentu, mulai dari ceramah seorang pemuka agama hingga obrolan sehari-hari di gardu siskamling dalam satu komunitas agama. Saya, misalnya, dalam sebuah obrolan usai shalawatan mendengar lelucon patung Yesus disalib yang menutup hidungnya karena ada yang kentut di dalam gereja dan lelucon-lelucon lain yang jika terdengar dan diketahui oleh saudara-saudara yang Kristen mereka tentu akan tersinggung. Tidak menutup kemungkinan, dalam komunitas Kristen juga ada lelucon tentang Islam, Islam tentang Hindu, Hindu tentang Buddha, Buddha tentang Kristen dan seterusnya. Hanya saja, perilaku-perilaku itu tidak ter-upload ke media.

Dalam sebuah sesi pelatihan toleransi antar umat beragama beberapa tahun lalu yang diikuti oleh perwakilan berbagai komunitas agama berbeda, instruktur membacakan absen: “maghfiroh!”. Sambil tertawa kecil seorang pemudi Kristen berkelakar: “temennya astagpiruloh!” Mendengar itu sebagian kawan yang muslim terkesiap karena dalam Islam kalimat sakral itu tidak sembarangan diucapkan – terlepas dari kalangan muslim sendiri yang kadang keliru menempatkan kalimat-kalimat suci. Beruntung, pemudi Kristen itu bukan siapa-siapa dan pelatihan itu diikuti oleh para penggiat toleransi, serta tak ada satupun peserta pelatihan yang merekam dan mengunggah kejadian tersebut ke media sosial.

Seloroh UAS tentang Yesus yang disalib disampaikannya di hadapan komunitasnya sendiri. Sialnya, video itu ditemukan, kemudian diberi keterangan dan selanjutnya kita tahu apa yang kemudian terjadi. Meski demikian, UAS yang dinobatkan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2018 sebagai ulama paling berpengaruh di Indonesia itu hendaknya memanfaatkan pengaruhnya yang begitu besar untuk membentuk individu-individu muslim yang toleran dalam suasana kehidupan beragama di Indonesia yang terdiri dari masyarakat agama yang majemuk.

Media memang berperan dalam memberikan makna. Pada bulan Agustus 2014, mahasiswa Jurusan Aqidah-Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya menggelar kegiatan Ospek mahasiswa baru dengan tema “Tuhan Membusuk:  Rekonstruksi Fundamentalisme menuju Islam Kosmopolitan.” Tema tersebut begitu mengejutkan sehingga menarik perhatian kalangan tertentu untuk memberinya keterangan dan memiralkannya ke media sosial. Walhasil, kegiatan itu dianggap sebagai penista Tuhan dan Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel disebut sebagai wadah penyebaran ideologi liberal dan pengkut Abu Lahab, memperkuat pandangan negatif terhadap UIN/ IAIN setelah buku Hartono Ahmad Jaiz.

Tema-tema dekonstruktif adalah hal biasa di kalangan akademik, khususnya Jurusan Aqidah-Filsafat. Tujuannya untuk memancing nalar kritis mahasiswa terhadap pengetahuan yang mapan dan hal itu adalah modal dasar bagi mahasiswa Aqidah-Filsafat. Sebagai seorang yang pernah belajar di jurusan itu, saya sendiri sudah terbiasa dikejutkan dan dipancing oleh ungkapan-ungkapan aneh semacam itu. Kegiatan dan tema Ospek tersebut menjadi negatif tatkala ada oknum yang menyebarkannya ke media dan dikonsumsi oleh khalayak umum yang tak terbiasa tradisi akademik yang kritis. Sayangnya, pihak UIN Sunan Ampel justru meminta maaf.

‘Ala kulli hal, peran media yang dapat membentuk wacana sungguh tidak dapat diabaikan. Dapat dikatakan, dalam dunia posmodern media menempati kedudukan ontologis yang penting. Media menciptakan sesuatu yang semula samar atau tidak ada sama sekali menjadi ada, meski hanya pada tataran makna.