Dalam Piagam Madinah, Rasul Tidak Menggunakan Kata Kafir untuk Menyebut Non-Muslim

Dalam Piagam Madinah, Rasul Tidak Menggunakan Kata Kafir untuk Menyebut Non-Muslim

Dalam Piagam Madinah, Rasul tidak menggunakan term kafir kepada penduduk Madinah yang tidak memeluk Islam.

Dalam Piagam Madinah, Rasul Tidak Menggunakan Kata Kafir untuk Menyebut Non-Muslim
Ilustrasi piagam madinah

Selain term Mayoritas dan minoritas, kata kafir juga sering mengandung polemik. Akhir-akhir ini term ini pun makin ramai disematkan. Namun lagi-lagi, persoalannya adalah bukan pada kata dan objek yang disematkannya. Melainkan penggunaan kata tersebut untuk konteks NKRI.

Kanjeng Nabi ketika merumuskan Piagam Madinah, pada Pasal 1 melabeli penduduk Madinah sebagai satu umat. Artinya, beliau tidak menggunakan term kafir kepada penduduk Madinah yang tidak memeluk Islam. Sebab bagi Nabi, term tersebut sangat sensitif dan bisa menggagalkan misi beliau untuk mempersatukan penduduk Madinah pada waktu itu.

Dan term tersebut sejatinya merupakan label terhadap kelompok yang hatinya tertutup untuk menerima ajaran Islam, yang diejawantahkan melalui pembangkangan dan perlawanan terhadap baginda Nabi. Oleh karena itu, ketika awal-awal tiba di Madinah dan diterima oleh semua golongan penduduk Madinah, mereka yang tidak beragama Islam tidak disebut dan dipanggil kafir sebagaimana di dalam Piagam Madinah.

Hal ini berlaku juga untuk konteks NKRI, yang term kafir tidak lagi disematkan terhadap kelompok yang berbeda agama. Meskipun harus diakui bahwa term tersebut lebih sering digunakan oleh segelintir umat Islam terhadap penganut agama lain.

Sebab ketika sudah berada di bawah NKRI, maka label atau statusnya sudah berubah menjadi masyarakat dan/atau rakyat Indonesia. Sebagaimana diuraikan oleh Gus Muwafiq beberapa hari yang lalu ketika berpidato di istana Bogor dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw, bahwa para ulama kita terdahulu menyebut penduduk Indonesia sebagai rakyat, yang diadopsi dari bahasa Arab berupa ra’iyyah.

Begitu juga menjadi masyarakat (Indonesia) yang berasal dari kata musyarakah, yang memiliki arti bersekutu atau bergabung. Artinya, untuk menjadi sekaligus menjaga keutuhan NKRI, maka mereka yang berada di bawah naungannya lebih pas disebut dengan masyarakat. Karena hanya di tangan mereka lah keutuhan dan persatuan NKRI akan bisa terjamin.

Maka dari itu, terminologi mayoritas, minoritas, dan kafir dalam bingkai NKRI sudah tidak berlaku lagi, dan tidak layak digaungkan dan disematkan kepada sesama rakyat Indonesia. Dengan begitu, kemaslahatan bersama dan stabilitas negara akan dapat terwujud dengan baik.

Wallahu A’lam