Menyebut Non-Muslim Kafir, Pantaskah?

Menyebut Non-Muslim Kafir, Pantaskah?

Menyebut Non-Muslim Kafir, Pantaskah?

Di dalam al-Quran dapat ditemukan banyak sekali kata kafir serta derivasinya dalam ragam bentuk kata dan konteks. Bahkan jika melihat al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Quran, maka hampir sepuluh halaman memuat ayat-ayat yang mengandung kata kafir di dalamnya. Jumlahnya dapat mencapai ratusan ayat.

Banyaknya jumlah kata kafir dalam al-Quran dapat menandakan pentingnya topik tersebut. Terlebih akhir-akhir ini kata kafir memang sedang populer. Apabila melihat lini media online, telah banyak sekali yang mengulas dan menguraikan kafir dari berbagai perspektif. Kata kafir ini juga bisa ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dengan arti orang yang tidak percaya Allah dan Rasul-Nya.

Yang menjadi permasalahan kemudian adalah kata kafir ini seringkali dijadikan kata diskriminatif bagi orang-orang non-Muslim dengan konotasi negatif. Hal ini jelas dapat mengundang disintegrasi bangsa Indonesia yang di dalamnya hidup beragam agama, tidak hanya Islam. Lalu pertanyaannya bagaimana memaknai kata kafir dalam konteks kekinian?

Menurut Toshihiko Izutsu (1914-1993), seorang akademisi asal Jepang yang menekuni studi al-Quran selama puluhan tahun dan menguasai puluhan bahasa termasuk Arab, Urdu dan Hebrew, kata kafir di dalam al-Quran tidak cukup dipahami dengan sederhana.

Dalam bukunya yang berjudul Ethico-Religious Concepts in the Quran, Izutsu menguraikan secara detail perkembangan makna kata kafir. Sebelum Nabi Muhammad saw diutus, makna asli semantik kata kafir adalah sikap menutupi dan menolak kebaikan orang lain (ingratitude). Makna ini kemudian berubah seiring diturunkannya al-Quran. Pada periode Mekah (baca: dalam ayat-ayat Makkiyah) kafir dipahami sebagai sikap penolakan terhadap Muhammad saw. Sedangkan dalam ayat-ayat Madaniyyah, kafir ditujukan kepada orang-orang yang memusuhi Rasulullah dari aspek agama dan politik. Kajian Izutsu secara sederhana menyimpulkan bahwa al-Quran pada dasarnya memosisikan kata kafir sesuai dengan situasi dan kondisi.

Senada dengan Izutsu, Farid Esack seorang ulama kontemporer asal Afrika Selatan juga mencoba untuk menafsirkan kata kafir sesuai dengan konteks kekinian. Selain telah dipakai oleh masyarakat Indonesia, kata kafir juga digunakan di Afrika Selatan dengan konotasi yang amat buruk dan menjadi simbol kekerasan untuk mengekslusi orang-orang hitam.

Bagi Esack, penting untuk melihat makna semantik sebagaimana telah dilakukan Toshihiko Izutsu. Dengan perkataan lain bahwa sebuah kata tidak bisa dipakai sesuka hati tanpa memperhatikan bagaimana konteks dan perkembangan makna yang terkandung dalam kata tersebut.

Begitu pun dengan kata kafir yang mengandung konotasi negatif. Saudara-saudara non-Muslim tidak senang jika dipanggil dengan sebutan kafir. Tidak elok bagi kita selaku bangsa Indonesia bersikap egois tanpa mengindahkan perasaan saudara sesama bangsa. Oleh karena itu, alangkah baiknya kita selaku umat beragama yang sama-sama bernaung di bumi Indonesia ini untuk saling menghargai satu sama lain.

Dalam al-Quran Allah swt melarang orang-orang Muslim untuk menghina orang lain. Hal ini dapat ditemukan dalam Q.S al-Hujurat ayat 11 yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُون

Wahai orang-orang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-okok) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buru. Seburuk-buruknya panggilan adalah (panggilan) buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Al-Dhahhak sebagaimana dikutip oleh al-Baghawi menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan delegasi Bani Tamim yang datang ke Madinah dan melihat para sahabat yang fakir seperti Bilal dan Salman dan menghina mereka. Atas sikap mereka tersebut, turunlah ayat ini.

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat ditarik benang merah bahwa menggunakan istilah tertentu untuk menyebut kelompok-kelompok tertentu, perlu diperhatikan konteks dan juga perasaan mereka. Jika kata kafir yang ditujukan kepada non-Muslim dapat melukai hati dan kurang berkenan di hati mereka, maka harus dihindari.