Mundurnya Tretan Muslim dan Coki Pardede dari gelanggang perkomedian mengajarkan kita banyak hal untuk dipikirkan. Seperti kata Jerry kepada Jaggu dalam Film PK: jika aku ingin hidup di negeri ini, maka jangan main-main dengan agama, itu saja. Atau, Anda harus siap-siap berurusan dengan militansi kelompok yang mendaku “mayoritas”.
Ya, Jerry adalah Bos di mana tempat Jaggu bekerja sebagai wartawan televisi di India. Konon, Jerry pernah punya program dengan seorang pemuka agama mayoritas bernama Tapaswi. Tapi, justru karena itu, pengikut militan Tapaswi menembak bokong Jerry tepat di tonjolannya. Walhasil, sejak itu tidak ada berita tentang agama maupun Tuhan.
Apakah Muslim dan Coki mengalami tekanan yang serupa?
Kita tidak tahu pastinya. Namun, dalam pamitan Debat Kusir-Episode Terakhir yang rilis di channel resmi Youtube Majelis Lucu Indonesia (MLI), Muslim menekankan satu pesan penting. Begini kurang lebih kutipannya:
“Sebagai orang yang haus ilmu, saya sangat berterimakasih dan saya sangat membuka bila ada orang yang menegur saya. Tapi kata-kata makian, cacian, persekusi, menghalalkan darah saya, darah temen saya, bahkan ancaman pembunuhan: terhadap saya, terhadap orang terdekat saya, saya yakin hal tersebut tidak mencerminkan ajaran Islam”
Underline di atas saya kira adalah poinnya. Ada dua hal yang dikontraskan. Persekusi, menghalalkan darah, ancaman pembunuhan dioposisi-binerkan dengan tidak mencerminkan ajaran Islam.
Pada titik ini siapa objek yang sedang dituju Muslim? Apakah umat Islam secara umum?
Saya kira tidak. Secara, Tretan Muslim sendiri adalah seorang yang beriman kepada Allah dan meyakini Nabi Muhammad adalah utusan-Nya.
Sebagai seorang Muslim, dia tentu sadar dan tidak terlampau bodoh jika Tuhan akan marah gara-gara ia memasak daging babi dengan campuran Kurma. Lagian, video itu dibuat dalam framing masak-memasak. Bukan dakwah, khotbah, dan istighosah.
Dalam hal ini, yang justru kelihatan cerdasnya adalah mereka yang marah melihat video itu lalu berlagak membela Tuhan. Sebetulnya secara kuantitatif mereka tidak seberapa. Terbukti, sampai artikel ini ditulis, tagar #GolonganKami masih menjadi trending teratas di twitter.
Dukungan demi dukungan disuarakan warganet.
Tidak hanya itu. Sejauh linimasa saya, dukungan itu hadir bukan dari akun-akun anonim.
Artinya, kita patut optimis, bahwa masih banyak warganet yang memiliki kewarasan nalar ketimbang buzzer politik partisan yang kebanyakan anonim dan setengah hati.
Tapi laksana balita minta susu, mereka yang marah dengan video Muslim itu manjanya minta ampun. Mereka marah karena Kurma—sebagai simbol sunah sebab memungkinkan penggunaan tiga jari dalam proses konsumsinya—disejajarkan dengan Babi. Mereka juga marah karena zaman Nabi dan para sahabat, tidak ada riwayat mengisahkan itu.
Apakah Nabi, para Sahabat, pernah memasak daging babi dicampur kurma?? Tidak!!
Sesungguhnya Tretan Muslim telah melakukan pembid’ahan dalam agama. Karena itu dia bukanlah golongan kami. Ya, golongan kami adalah yang paling benar. Bahkan seandainya dulu sudah ada media sosial dan pasal penistaan agama, niscaya akan kami tuntut itu si Sufi perempuan, Rabi’ah Adawiyah karena ingin membakar Surga.
Apakah Rabi’ah Adawiyah tidak melihat segenap upaya kami dalam mengkapling surga? Apakah Rabiah Adawiyah tidak melirik jerih payah kami dalam membersihkan surga dari para penista seperti Gus Dur karena bilang Tuhan menangis menjawab pertanyaan Presiden tentang kapan Indonesia makmur. Takbirrr!!!
Tapi kalau ada yang bilang Nabi Muhammad tersesat, itu nanti dulu. Selain dia adalah golongan kami, landasannya pun jelas. Berdasarkan QS. Ad-Dhuha ayat tujuh, dan di atas itu semua telah berdasarkan tafsirannya sendiri secara otodidak. Atau tentang instruksi haramnya menyolatkan jenazah pemilih penista agama. Politik adalah segalanya, bung!!
Intinya, kalau agama untuk dikomedikan atau dikritisi itu tidak boleh. Ia terlalu suci. Yang boleh dan wajib adalah agama untuk kemaslahatan politik golongan kami. Titik.