Setelah pemerintah menyatakan pandemi ini akhirnya mereda empat hari lalu dan memutuskan untuk mencabut kebijakan karantina wilayah, bel pintu rumahku berbunyi. Awalnya, kupikir kurir layanan pesan antar makanan cepat saji telah tiba, namun saat kudapati siapa yang berdiri di depan dari lubang intip di pintu, sontak aku terhenyak. Mantan ibu mertuaku datang. Maksudku, ibu mantan suamiku datang dari jauh.
Ia seorang perempuan berusia sekitar enam puluhan tahun. Tubuhnya begitu besar bahkan sebuah kursi tidak bisa menopang bokongnya seutuhnya. Ia datang seorang diri. Aku membukakan pintu dan ia segera memelukku hangat. Otomatis gerak tubuhku sedikit menjauh. Ia datang tanpa mengenakan masker. Meski pandemi juga sudah mereda di negaranya, aku masih waspada pada siapa pun yang tak menggunakan masker.
“Kamu sehat? Apa kabar? Maaf, tidak sempat memberitahumu sebelumnya.”
“Baik. Kunjungan ini sangat mendadak,” ucapku terdengar kaku. Kepalaku masih diliputi kebingungan.
“Di mana cucu-cucuku? Aku bawakan oleh-oleh buat mereka,” katanya sembari menyerahkan kantong plastik yang terasa berat. Aku yakin ia membeli piyama anak-anak murah di pasar grosir.
“Alya dan Bian di kamar sedang membaca buku. Cica dan Erika sedang bermain di kamar satunya.”
“Mama harap mereka masih ingat dengan neneknya,” ujar ibu mantan suamiku, kita sebut saja namanya; Nyonya Ndari. Ia mengambil sapu tangan dari dalam tas lalu mengusap peluh yang selalu bermunculan di dahinya yang dilapisi alas bedak tebal. Ia datang dengan dandanan yang sama sekali tak berubah sejak terakhir kami bertemu, lima tahun lalu, ketika rumah tangga putranya masih menjadi kebanggaan dalam hidupnya. Nyonya Ndari suka mengenakan blus berbahan kain licin, berwarna terang. Suatu pilihan yang tidak bijak untuk seseorang yang mudah berkeringat.
“Tentu mereka masih ingat, Ma. Kecuali Erika, ia masih usia satu tahun saat ketemu Mama. Kalau boleh tahu, untuk apa Mama datang ke sini?”
“Aku berniat tinggal di sini selama dua pekan, kalau kau mengizinkan. Aku rindu cucu-cucuku,” jawabnya diplomatis.
Kunjungan mendadak yang kukira hanya berlangsung satu-dua jam ini ternyata menjadi kunjungan Nyonya Ndari terlama di rumahku. Seharusnya aku langsung mengorek lebih lanjut alasan apa yang membuatnya nekat melakukan penerbangan seorang diri ke mari dan akan tinggal begitu lama hanya untuk melepas kerinduan pada keempat cucu perempuannya. Tapi lantas kupikir, tidak ada salahnya membiarkan ia menginap di sini selama beberapa waktu, sembari aku mencari pengganti asisten rumah tanggaku yang sejak pandemi semakin merajalela, ia undur diri, pulang kampung. Sekarang, keadaan sudah berangsur-angsur pulih dan aku harus segera mengajar lagi di kampus. Begitu banyak yang perlu diurus di luar sana setelah satu semester bekerja dari rumah. Lantas siapa yang akan mengurus anak-anakku jika aku harus bekerja kembali di luar? Aku sendirian di kota ini. Aku yakin masih ada kerabat yang dapat kumintai tolong untuk menemani keluarga kecilku selama beberapa minggu, tapi tentu saja, mereka juga baru memulai kembali rutinitas normal; belanja ke pasar, masuk sekolah, masuk kantor, pergi ke salon, sibuk berkumpul ke sana ke mari atau menghabiskan akhir pekan untuk liburan ke alam terbuka. Sebagian orang yang kukenal bahkan memiliki daftar agenda panjang untuk merayakan berakhirnya masa isolasi diri. Sepanjang beberapa bulan terakhir, orang-orang punya banyak waktu untuk melamunkan apa-apa yang menyenangkan untuk dilakukan selepas wabah, dan tak ada seorang pun yang mendambakan kerja sosial semacam merawat anak orang lain di dalam rumah ketika ruang publik kembali ramai. Semua orang merindukan aktivitas di luar.
“Bagaimana? Bolehkah aku membantumu merawat cucu-cucuku selagi kau di kampus?”
Ia menatapku penuh arti. Seakan tahu apa yang sedang kupikirkan. Mengapa ia berpikiran sejauh ini? Melakukan kunjungan lintas negara hanya untuk menjadi relawan di rumah mantan menantunya.
Aku mengangguk. Mungkin tidak mudah untuk anak-anak beradaptasi dengan seorang asing yang sekilas pernah mereka jumpai bertahun-tahun lalu dan kini tanpa diundang tinggal bersama mereka. Tidak mudah pula bagiku. Meski begitu, kehadirannya di hadapanku saat ini kuputuskan sebagai bantuan yang tak elok ditolak.
Alya, puteri sulungku, punya begitu banyak pertanyaan tentang neneknya, tentang Daddy-nya, tentang ada apa sebenarnya sehingga Daddy-nya tak kunjung pulang, bahkan sekadar menghubungi pun tidak, justru malah mengirim ibunya ke sini.
Aku tak benar-benar punya jawaban yang memuaskan selain bahwa nenek merindukan kalian, ingin liburan ke Kuching, dan Daddy masih dalam masa pengobatan.
Aku tak berbohong. Yang kutahu mantan suamiku memang sedang sakit. Namun tak pernah kuberitahu kepada empat anakku, bahwa Daddy mereka mendekam di rumah sakit jiwa semenjak pulang ke kampung halamannya.
Malam itu ia mengemasi pakaiannya ke dalam koper. Kami bertengkar hebat kesekian kalinya mengenai kondisi keuangan kami yang berada di ambang malapetaka. Sudah dua tahun ia tak lagi bekerja. Satu tahun pertama ia mencari pekerjaan yang selama ini ia idealkan; kerja di sebuah lembaga hukum, sesuai dengan gelar sarjananya. Di tahun kedua ia tetap gagal mendapat pekerjaan yang ia bayangkan sehingga ia mulai menjadi bapak rumah tangga sementara aku masih bekerja penuh waktu di kampus. Otomatis akulah satu-satunya tulang punggung untuk menafkahi keempat anak kami. Tidak bisa dikatakan tanggungan ringan meski aku punya gelar tinggi dan menjabat sebagai pengajar di kampus ternama.
Aku kira pekerjaan domestik membuatnya dapat berempati padaku. Setiap pagi dia membuat sarapan, memandikan si kecil Erika dan mengantar ke empat anak sekaligus ke dua sekolah yang berbeda lokasi. Lalu ia memasak makan siang, membersihkan rumah, dan menjemput anak-anak pulang sekolah. Aku berharap rutinitas seperti ini membuat ia tersadar, pembagian kerja dalam kehidupan rumah tangga seharusnya imbang.
Namun, di bulan kedua, dia kembali terpuruk. Ia ada di rumah tapi tak membantuku mengurus rumah dan anak-anak. Setiap hari ia habiskan dengan membaca buku. Buku apa saja yang dapat ia jumpai di rumah. Termasuk membaca buku-buku biologi molekuler yang biasa kutumpuk di meja kerja sebelum menyusun materi kuliah. Setelah buku-buku itu habis ia lahap, ia mulai keranjingan beradu argumen di media sosial. Ia masuk ke grup-grup kajian Islam, politik dan wirausaha. Kupikir ia sedang memperluas jaringan, mencari peluang rezeki dari sana. Suatu hari seorang kenalan memberitahuku bahwa lelaki itu terus membuat onar di grup-grup media sosial, menyebar berita sampah, mendebat orang tiada henti dengan argumen berbelit-belit yang sukar dipahami.
Kami bertengkar malam itu. Ponselnya kulempar dari jendela apartemen, dari lantai enam belas. Lalu kami saling lempar barang. Kami lupa bahwa ada empat jiwa yang tengah menyaksikan keributan kami. Kami terus melempar barang, hingga keributan kami membuat tetangga sebelah mengadukan kegaduhan tengah malam itu ke petugas keamanan apartemen. Aku sangat murka mendapati keberadaan suamiku begitu malfungsi, sehingga aku mengusirnya. Dan ia bilang ia akan pulang kampung.
Kupikir ia hanya akan membawa satu koper kecil untuk pulang ke Jawa. Tanpa sepengetahuanku ia mengemasi semua pakaian dan barangnya sehingga tiga koper di kolong tempat tidur raib. Ia pulang tanpa pamit padaku dan anak-anak. Ia hanya menulis secarik kertas yang berisi pernyataan talak tiga setelah diawali dengan ucapan bismillah dan permohonan maaf.
“Daddy kenapa tidak ikut pulang ke sini, Eyang?” tanya Bian saat Nyonya Ndari selesai membacakan buku dongeng untuk keempat cucunya suatu malam.
“Daddy-mu sedang berpetualang,” ucap Nyonya Ndari, melepas kacamata baca yang hampir melorot dari hidungnya. Lalu ia membual tentang putranya yang tengah melakukan perjalanan ke banyak pulau di Indonesia. Aku menguping sekilas dari balik pintu kamar, kemudian kembali menghadap layar laptop. Aku tidak terkesan betapa serunya Nyonya Ndari mengarang cerita, hingga anak-anak larut ke dalam petualangan yang menegangkan, masuk keluar rimba, bertemu monster laut dan melawan begitu banyak orang jahat. Aku tak pernah tahu Nyonya Ndari berbakat menjadi pencerita ulung. Satu-satunya yang akan menyusahkanku kelak, ketika ia kembali ke rumahnya, anak-anak akan merengek minta didongengkan kembali kisah Daddy-nya yang heroik.
Sudah seminggu Nyonya Ndari di sini. Ia benar-benar berusaha menjadi nenek yang sempurna untuk keempat cucu-cucunya. Setiap hari ia masak makanan Indonesia yang sulit kureplika, karena sejujurnya aku tidak cukup mahir di dapur. Anak-anak doyan sekali makan rawon, soto, dan opor ala Nyonya Ndari. Ia juga ikut mengantar anak-anak sekolah dan menunggui mereka di kafetaria. Setiap sore ia mengajari anak-anak mengaji, mengajak mereka salat berjamaah dan semua hal baik lainnya. Bahkan ia membantu Alya mengerjakan tugas prakaryanya, mengajari Bian menyulam, menuruti Cica yang minta dibikinkan kue pelangi dan selalu ceria seperti menebus masa kanak-kanak yang lenyap ketika bermain boneka bersama Erika.
Melihat anak-anak aman dan betah dengan eyangnya, aku sengaja sering pulang terlambat. Selepas magrib aku baru sampai rumah. Sebisa mungkin kubatasi percakapan dengan Nyonya Ndari. Aku tak merasa perlu tahu kabar putranya, setidaknya untuk saat ini ketika dunia berusaha bangkit dari krisis, termasuk aku yang merasa terlahir kembali setelah berhasil melewati ini semua. Aku juga tak mau kami berdua tiba-tiba saja masuk ke percakapan yang mengarah ke motif Nyonya Ndari sesungguhnya di sini. Kubiarkan ia menikmati kualitas terbaik dari hubungan nenek dan cucu.
Temanku di kantor mengatakan kemungkinan Nyonya Ndari sedang menyimpan kabar buruk tentang putranya dan menunggu saat yang tepat untuk memberitahuku. Temanku yang lain bilang, bisa jadi ini siasat Nyonya Ndari agar aku mau diajak rujuk kembali dengan putranya. Cukup masuk akal, jika ia berpikir bahwa cara satu-satunya untuk menyembuhkan putranya yakni aku pergi ke Jawa, ke rumah sakit jiwa dan meminta kepada lekaki itu untuk menikah lagi denganku.
Kutunggu-tunggu momen itu. Di hari kunjungan terakhirnya, ia pasti akan mengatakan sesuatu yang penting untukku. Namun tak ada dialog penting apa pun bahkan di sepanjang perjalanan yang macet ke bandara. Anak-anak mulai merengek, meminta eyang mereka jangan pulang ke Indonesia. Hanya dalam dua minggu ia berhasil mengambil hati keempat cucunya. Ia terisak-isak saat berpisah dengan anak-anak.
Sebelum masuk ke dalam gerbang keberangkatan, Nyonya Ndari memelukku untuk berpamitan. Ia berbisik, nyaris tak terdengar, “Menikahlah lagi. Dia baik-baik saja di rumah sakit.”
Terkesiap, sontak kulepaskan pelukannya. Kedua mataku terasa berembun. Aku tak mampu mengatakan apa-apa.