Namanya dikenal dan kerap ditakuti dan tak jarang jadi rujukan perkara gaib, tapi telah berubah dan jadi aktivis Muhammadiyah yang mualaf. Anda tidak salah baca. Ia adalah mualaf dalam tanda kutip. Dalam ingatannya, ketika peristiwa G30S terjadi dan setelahnya ketika muncul permusuhan, Islam dan abangan saling melindungi warga tanpa melihat bajunya: apakah merah, hijau apa pun.
“Mereka warga kene kok (mereka sama-sama warga kok),” katanya.
Di kampung kami di pesisir Lamongan, ada dua organisasi besar, yakni NU di wilayah disebut Wetanan dan Muhammadiyah yang berbasis di Kentong atau Labuhan. Keduanya adalah dua dusun, bagian dari Desa Labuhan.
Pada medio 1960-an, menjelang Gestapoe 1966—dengan lafal oe, sebagaimana dituturkan sosok itu—daerah itu terbagi jadi dua golongan besar. Islam dan abangan. Ini seperti lazimnya kebanyakan daerah di Jawa laiknya tesis masyarakat desa ala Cliffort Gertz.
Bedanya, santri masih sedikit karena daerah situ memang bukan rujukan untuk belajar santri.
Ketika berkecamuk G30 S, ketika masyarakat diadu antara entah berada di wilayah hijau atau merah (baca: dituduh PKI), maka di daerah ini justru saling melindungi.
Sosok tadi cerita, ia sebagai abangan dan beberapa orang yang seperti dirinya dilindungi oleh tetangga.
Meskipun ia tidak pernah ikut gerakan PKI, tapi berhubung ia abangan, saat itu berpotensi untuk dijadikan ‘korban’ dan ternyata berdasarkan ingatannya yang ia ceritakan kepada saya, warga saling melindungi.
“Ojok sampek keno, dilindungi wae (Jangan sampai ada yang tahu, dilindungi saja),” ceritanya.
Ia cerita, Pak, itu yang dirasakan saat itu. Apa pun agama maupun kepercayaan waktu itu, ternyata saling menghargai dan melindungi.
Kisah itu terpatri di benaknya, merentang dari ia muda jadi ‘aktivis’ abangan hingga belakangan justru menapaki diri jadi kader Muhammadiyah.
“Orang lain beragama atau percaya pada apa pun itu urusan dia dengan Pangeran (Allah),” paparnya.
Ia kader Muhammadiyah Abangan
Ada anekdot berbunyi, toleransi kepada mereka yang di luar agama (eksternal) biasanya lebih mudah dibandingkan dengan antar mazhab dalam satu agama (internal).
Tampaknya, hal ini tidak berlaku bagi sosok ini.
Ia selama puluhan tahun jadi aktivis abangan di kampung kami melihat dari dekat kebiasaan warga yang tidak cekcok urusan seperti ini.
“Kalau riyayan (lebaran) kadang beda. Kalau dua hari misal, kadang bergantian menggunakan lapangan kampung. NU lebih duluan biasanya, dibanding Muhammadiyah. Orang-orang saling ngerti,” paparnya.
Lantas, ketika ia ingat soal peristiwa zaman Gestapoe, katanya, yang ia ingat adalah warga tidak ada yang persoalkan soal apakah ada ikut merah atau hijau. Yang jelas, katanya, karena mereka warga ya harus dilindungi.
IBerpuluh-puluh tahun kemudian, ketika reformasi bergulir 1998, ia cerita bahwa di kampung kami juga geger yang tidak kalah dengan peristiwa 1965 tersebut.
“Podo wae ketoke rame, tapi wong kene saling njogo (sama gaduhnya, tapi warga juga saling jaga),” katnya.
Sosok ini pun kerap mengingatkan orang-orang yang menganggap dirinya maupun organisasinya lebih baik atau mulia dibandingkan yang lain.
Ia kerap menyitir Sunan Kalijaga, idolanya, yang kerap tidak pandang warna kulit, baju maupun kekayaan melihat sesuatu. Yang baik harus dijaga, tanpa lihat bajunya, karena semuanya manusia.
Sosok ini adalah sosok biasa dari pesisir jalan Daendels yang menghubungkan kota-kota pinggir pesisir di Jawa Timur dan ingin agar negeri ini tidak lagi terjerumus pada permusuhan.
Sosok itu, saudara jauh saya dan mengizinkan saya menuliskan kisahnya tanpa menyebut nama.