Kalau ditanya secara jujur, sebagian besar manusia pasti suka musik. Karena sudah menjadi tabiat manusia untuk selalu suka kepada keindahan, dan musik adalah salah satu bagian dari keindahan tersebut. Akan tetapi, belakangan ramai di media sosial pendakwah yang mengharamkan main musik dan mendengarkannya. Sebelum mengklaim musik haram, alangkah baiknya kita baca terlebih dahulu bagaimana pendapat ulama terdahulu terkait hukum musik.
Para ulama sejak dahulu berbeda pendapat mengenai hukum bermain dan mendengarkan musik. Sebagian ulama ada yang mengharamkan, sebagian lagi mengatakan makruh dan ada pula ulama yang membolehkan.
Di antara ulama yang membolehkan bermain dan mendengarkan musik adalah Imam al-Harmain, al-Ghazali, Abu Bakar Ibnu al-A’rabi, Imam ar-Rafi’i, dan lain-lain. Bahkan dalam kitab Alfiqhul Islami Wa adillatuhu, Syaikh Wahbah Azzuhaili mencantumkan perkataan ‘Izzuddin bin Abdul Salam yang menjelaskan ada sebagian sahabat Nabi SAW, para tabiin, dan para imam mujtahid yang menghalalkan bermain dan mendengarkan musik:
قال العز بن عبد السلام: أما العود والآلات المعروفة ذوات الأوتار كالربابة والقانون، فالمشهور من المذاهب الأربعة أن الضرب به وسماعه حرام، والأصح أنه من الصغائر. وذهبت طائفة من الصحابة والتابعين ومن الأئمة المجتهدين إلى جوازه
‘Izzuddin bin ‘Abdul Salam berkata, ‘Adapun kecapi dan alat-alat yang menggunakan dawai (tali senar : jawa) seperti halnya rebab dan qonun, maka menurut pendapat yang masyhur dalam mazhab empat adalah haram memainkan dan mendengarkannya. Sedangkan menurut pendapat yang lebih shahih, hanya termasuk sebagian dari dosa kecil. Akan tetapi sejumlah ulama dari kalangan sahabat, para tabiin maupun sejumlah imam mujtahid berpendapat bahwa memainkan dan mendengarkan alat musik ini dibolehkan.”
Dalam kitab Ihya Ulumiddin, Imam al-Ghazali menegaskan bahwa tidak ada satu pun nash al-Qur’an maupun hadis Nabi SAW yang secara jelas menghukumi musik. Memang ada hadis yang menyebutkan larangan bermain alat musik tertentu, misalnya seruling. Hanya saja larangan tersebut tidak ditujukan kepada alat musiknya, tetapi karena alat musik tersebut dimainkan di tempat-tempat maksiat sebagai pengiring pesta minuman keras.
Menurut Imam al-Ghazali, mendengarkan musik sama seperti mendengarkan suara benda mati atau suara hewan. Adakalanya saura tersebut mengandung pesan kebaikan, maka halal dan boleh mendengarkan. Sebaliknya, jika suara tersebut mengandung pesan yang tidak baik, maka mendengarkannya dilarang. Tetapi larangan tersebut bukan karena alat musiknya, tetapi karena kandungan pesan yang tidak baik tersebut.
Imam Bukhari dalam kitab Shahih al-Bukhari, mencantumkan sebuah hadis yang menunjukan kebolehan bermain musik atau nyanyian karena Nabi SAW pernah meminta Sayidah Aisyah untuk menghadirkan seorang penyanyi dalam sebuah pernikahan orang Anshar. Di Madinah, kaum Anshar terbiasa mendengarkan nyanyian dan mereka senang ketika mendengarkan nyanyian. Hadis dimaksud berasal dari Sayydah Aisyah;
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا زَفَّتْ امْرَأَةً إِلَى رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَائِشَةُ مَا كَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ فَإِنَّ الْأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمْ اللَّهْوُ
“Sayidah Aisyah pernah menikahkan seorang perempuan dengan pemuda dari kalangan Anshar. Kemudian Nabi SAW berkata kepada Sayidah Aisyah, ‘Wahai Aisyah! Adakah bersama kalian nyanyian karena kalangan Anshar kagum dengan nyanyian.”
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bermain dan mendengarkan musik hukumnya boleh apabila tidak disertai dengan perbuatan maksiat seperti pesta minuman keras dan lain sebagainya.
Selengkapnya, klik di sini