Hukum permainan capit boneka adalah haram. Paling tidak begitu menurut Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Purworejo, Jawa Tengah. Ada unsur spekulasi menjadikan permainan capit boneka diberi hukum Haram.
Bahkan, dilansir dari kompas.co.id, MUI bahkan sudah menetapkan haram pada permainan tersebut sejak tahun 2007 lalu. Berjudul fatwa tentang permainan pada Media/Mesin Permainan. Dalam fatwa yang ditetapkan pada 3 Oktober 2007 itu, diatur permainan-permainan yang boleh dan tidak boleh dimainkan alias haram menurut agama islam.
Mungkin, sebagian dari kita baru mengetahuinya dalam beberapa minggu terakhir ini. Perbincangan terkait label haram yang melekat pada permainan tersebut tentu para ulama dan ahli hukum yang lebih tepat membincangnya.
Akan tetapi, permainan atau Game di masyarakat bukan sesuatu yang asing, baik tradisional hingga modern. Ia sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di masyarakat muslim, baik yang halal dan haram. Wajah permainan di masyarakat muslim modern tidaklah tunggal, di mana hanya urusan Halal-Haram, paling tidak hal tersebut pernah diurai oleh Vit Sisler saat mengulik Video Game di Iran.
Cerita Sisler menelusuri bagaimana kompleksitas dalam sirkulasi Video Game di masyarakat Iran yang diatur ketat oleh Negara, memperlihatkan bagaimana permainan di masyarakat muslim, konsevatif sekalipun, tetap memiliki pasar dan peminatnya. Di Indonesia, mungkin tidak lekang dalam ingatan kita di mana pelaku Mabar (Main Bareng), istilah keren merujuk pada memainkan permainan di gawai secara bersama-sama, pernah diminta para ulama di Aceh untuk dihukum cambuk.
Memang, selain soal hukum Halal-Haram, di saat yang bersamaan dalam permainan atau kesenangan di tengah masyarakat muslim juga terkait masalah tafsiran, resepsi, dan negosiasi. Sebagaimana cerita Sisler di atas, walaupun dilarang, permainan selalu menemukan “jalan” untuk tetap beredar di tengah masyarakat, termasuk kelompok Muslim.
Wajah permainan pun tidak hanya terkait ketangkasan atau peruntungan saja. Di sisi berbeda, ia bisa menjadi bagian dari foto kebersamaan dengan kekasih di media sosial atau soal melepaskan kegelisahan pasca kerasnya kehidupan hari ini, terlebih di tengah era globalisasi hari ini.
Iya, permainan adalah sisi unik dari kemanusiaan, terlebih di masyarakat modern. Di tengah tuntutan pekerjaan yang begitu keras, tentu sulit rasanya membayangkan kehidupan masyarakat Muslim, khususnya di kalangan kelas menengah dan atas, dapat terlepas sama sekali dengan hal-hal terkait berbagai kegiatan waktu luang, termasuk permainan.
Sebagian dari kelas menengah dan atas memiliki kemampuan ekonomi dan waktu “Berlebih” yang dapat dialokasikan untuk kegiatan melepaskan kepenatan atau tuntutan kerja. Mereka bisa berolahraga, jalan-jalan, hingga melakukan berbagai permainan di waktu luangnya. Bahkan, tidak sedikit mereka menambahkan wacana agama dalam kegiatan tersebut.
Mungkin, pilihan kegiatan bagi masyarakat kelas bawah untuk sekedar melepaskan penat atau kerasnya kehidupan, tentu tidak sebanyak atau seluas dari kalangan kelas menengah dan atas. Alasan ekonomi dan prioritas kehidupan sehari-hari tentu memaksa mereka menikmati kegiatan yang murah dan mudah dijumpai di sekitar mereka.
Hari ini, permainan Capit Boneka biasanya terpajang di Mall atau tempat hiburan lainnya sudah sampai ke desa-desa. Entah siapa yang bertanggungjawab, tapi permainan tersebut jelas sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di sana, yang secara ekonomi biasanya tergolong kelas menengah ke bawah.
Tentu, permainan tersebut, di satu sisi, adalah ajang hiburan murah meriah yang dapat mereka akses sesuai dengan kantong mereka. Dengan bermodal 5-10 ribu rupiah, mereka bisa menghibur diri dengan kegagalan dan keberhasilan mereka mengambil boneka yang tersimpan dalam kotak kaca tersebut, atau mereka bisa memberikannya pada anak-anak mereka yang kalau beli dengan uang sendiri adalah hal yang mustahil.
Anak-anak muda pun menggunakannya untuk meraih “simpati” dari kekasih mereka lewat permainan Capit Boneka, bahwa telah “berbuat” sesuatu untuknya. Masyarakat urban tentu melihatnya berbeda dengan kelas bawah yang biasa menonjolkan faktor ekonomi ketimbang unsur-unsur lain. Mungkin, penggambaran ini tidak “sesuai” dengan ajaran agama, tapi beginilah wajah kehidupan masyarakat modern yang rumit dan kompleks.
Di sisi lain, permainan tersebut juga dapat dilihat bagaimana penyedotan pundi-pundi masyarakat disedot dari berbagai saluran. Tentu, hasilnya hanya dinikmati para pemilik modal. Tapi, titik inilah biasanya yang diabaikan karena dalam sebagian besar permainan menonjolkan keseruan, kebahagian, hingga romansa, yang akhirnya mendorong keluar perihal segregasi kelas tersebut.
Tak pandang bulu, hampir seluruh permainan telah menjadi komersialisasi dengan berbagai format dan skala. Baik permainan yang disebut “Nyunnah” hingga dicap “Haram” pun turut memiliki pasar dan gerak ekonomi di dalamnya. Walaupun, mungkin, masih ada permainan yang disebut merakyat atau bagian dari publik. Itulah wajah permainan hari ini.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin