Medio 2017, publik sempat digemparkan dengan rencana pemerintah soal pemulangan WNI eks kombatan dan simpatisan ISIS yang berangkat ke Suriah. Tentu saja rencana tersebut menuai pro dan kontra dari segenap warga Indonesia. Pihak yang setuju menegaskan bahwa itu semua dilakukan karena misi kemanusiaan.
Walakin, sebagian berpendapat bahwa pemulangan itu akan mengundang ancaman baru bagi keamanan dan stabilitas nasional. Lebih dari itu, terdapat kegamangan sosial tentang bayang-bayang kelompok teror: apakah setelah pulang dari Suriah mereka akan sudi melakukan pertaubatan nasionalisme, atau malah menimbulkan kegaduhan baru, misalnya.
Lebih keras, pendapat lain mengatakan bahwa eks kombatan dan simpatisan ISIS tidak lagi menjadi bagian dari NKRI karena sudah kadung berbaiat dengan kelompok ekstrem, plus hijrah ke Suriah dan bahkan menggadaikan paspor mereka. Dengan demikian, status kewarganegaraannya auto hilang!
Gayung bersambut, video pembakaran paspor hijau WNI di Suriah pun sempat viral dan berseliweran di ruang media, bil khusus medsos. Dalam video tersebut nampak sejumlah WNI yang berada di Suriah dan bergabung dengan ISIS melempar paspornya ke tanah lapang, lalu salah satu orang dari mereka menyeru, “kami akan membakar paspor-paspor ini sebagai tanda pembebasan diri kami kepada pemimpin-pemimpin thagut!” begitu kira-kira seruannya.
Tampak garang dan berani, video itu merekam aksi pembakaran dan seruan pembebasan dari pemerintah yang diyakini sebagai biang kerok kekacauan (thaghut). Dipikir, mereka sudah memilih jalan yang paling tepat, heroik, dan siap dengan segala konsekuensi untuk menjadi bagian dari warga negara baru, ISIS.
Malahan, mereka telah siap dicap sebagai “kafir” untuk kemudian dilenyapkan dari muka bumi jika memenuhi sejumlah kondisi, seperti: memiliki keinginan untuk keluar dari ISIS, atau sedang bernasib sial, atau tertangkap basah ketika sedang berusaha kabur dari wilayah kekuasaan ISIS.
Begitu kira-kira potret (ilusi) negara Islam yang pernah disaksikan oleh Nurshadrina Khaira Dhania. Bersama satu keluarga WNI, Dhania memutuskan untuk “hijrah” menuju Suriah pada Agustus 2015 silam.
***
Dhania mungkin termasuk pihak yang beruntung. Setelah menyaksikan segala hal yang terjadi di Suriah ternyata omong kosong belaka, Dhania bersama rekanan lainnya masih dapat kembali ke tanah air.
Bagia Dhania, kepulangan ke tanah air tentu saja bukan perjalanan yang mudah, apalagi setelah hampir satu tahun berada di wilayah kekuasaan ISIS dan satu tahun yang lain berada di pengungsian di luar wilayah ISIS.
Ringkasnya, untuk dapat keluar dari wilayah kekuasaan ISIS ternyata tidak semudah masuk ke wilayah tersebut. Ada banyak kengerian dan kejutan yang menanti. Mula-mula, mereka harus mengalami kerugian materi setelah ditipu oleh seseorang yang mengaku sebagai smuggler dan berjanji akan membantu Dhania dan keluarga keluar dari wilayah ISIS. Akibat penipuan itu, Dhania dan keluarga kehilangan benda-benda seperti perangkat gawai dan benda berharga lainnya. Padahal mereka sudah membayar mahal demi dapat melarikan diri menuju wilayah fraksi lain yang merupakan oposisi dari kelmpok ISIS dan juga sekutu Amerika melawan ISIS.
Nyaris putus asa mencari jalan keluar, Dhania dan keluarga akhirnya bertemu dengan smuggler yang benar-benar dapat mengantarkan mereka ke luar dari wilayah ISIS menuju ke perbatasan. Meski, sekali lagi, ini bukanlah jalan yang mudah.
Melalui channel TEDx Talks: Travelling Iconoclast Dhania menceritakan bagaimana perkenalannya dengan ISIS lewat halaman Paladin of Jihad yang menjanjikan kepada siapapun yang bergabung dengan khilafah, di antaranya: tidak perlu bekerja, tidak harus berperang, dapat membantu melunasi hutang-hutang, akan mendapat gaji yang tinggi kalau mau bekerja, dan mengganti biaya hijrah.
Tergiur dengan propaganda tersebut, ia kemudian mulai berimajinasi mengenai kenikmatan mengenai kehidupan di bawah naungan ISIS, khilafah Islamiyah. Artinya, bergabung dengan Khilafah Islamiyah adalah sama dengan hidup di bawah naungan sunnah. Dahulu, Dhania berasumsi bahwa hidup di bawah naungan Khilafah Islamiyah ia akan mendapatkan kenikmatan dunia dan juga kenikmatan akhirat karena hidup di bawah naungan sunnah.
Proses berikutnya adalah Dhania membuat kontak langsung dengan jaringan ISIS melalui media sosial karena terpesona dengan apa-apa yang dipromosikan oleh pihak ISIS, hingga memutuskan untuk mengajak keluarganya “hijrah” dan bergabung dengan ISIS di Suriah. Akan tetapi, orang tua dan beberapa saudaranya masih saja ragu.
Jurus pamungkas pun dikeluarkan. Dhania mencoba meyakinkan orang-orang dengan menyampaikan dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits serta menjelaskan bagaimana kehidupan khilafah yang dia pahami. Saat itu ada saudaranya yang mengidap penyakit, lalu Dhania mengatakan bahwa di negeri yang diberkahi tersebut ada pengobatan gratis.
Begitu juga saat meyakinkan kakaknya yang masih kuliah, Dhania menceritakan bahwa di sana ada sekolah gratis. Argumennya, sebagaimana yang ia lihat melalui video bahwa semua anak di Suriah mendapatkan pendidikan gratis.
Di atas itu semua, keputusan Dhania untuk hijrah menjadi semakin yakin dengan salah satu propaganda ISIS, yaitu “para malaikat menaungi bumi Syam, bumi syam adalah bumi yang diberkahi.” Akhirnya dengan yakin Dhania dan keluarga hijrah menuju Suriah pada Agustus 2015.
Untuk membiayai perjalanan hijrah ini, Ayah Dhania, JW, menjual beberapa kekayaannya dan juga rela menanggalkan pekerjaannya yang tergolong cukup mapan sebagai Pejabat Otorita di Batam. Dhania juga menceritakan bagaimana rasa syukur yang ia rasakan ketika kali pertama menginjakkan kaki di bumi yang diberkahi, Syam. Meski tidak semua keluarga Dhania berhasil memasuki wilayah ISIS dengan selamat karena salah satu anggota keluarga, yaitu pamannya, dideportasi oleh Kepolisian Turki saat menuju perbatasan Turki.
Titik Balik
Tak berumur panjang, rasa syukur itu justru berbalik menjadi penyesalan setelah Dhania dan keluarga menyaksikan banyak hal yang amat bertolak belakang dengan janji-janji dan promosi ISIS di media sosial. Propaganda ISIS di media sosial yang Dhania maksud adalah, “siapapun dapat menjadi apapun, tidak bekerjapun tidak apa-apa, mereka akan tetap ditanggung oleh pemerintah ISIS. Termasuk juga tidak ada wajib militer dan terlibat di medan perang.”
Dan, ya, apa yang Dhania dan keluarga alami setelah sampai di bumi Syam ternyata sangat kontras dengan propaganda tersebut. Sebetulnya, masih ada banyak lagi kenyataan lapangan yang memunggungi propaganda ISIS di media sosial. Soal kebersihan di tempat di mana mereka tinggal, misalnya, Dhania dan anggota keluarga perempuan justru mendapati tempat yang ternyata jauh dari kata layak, bahkan kondisinya teramat sangat kotor, alih-alih setia pada diktum “kebersihan sebagian dari iman.”
Lalu, hal lain yang tak kalah ironi adalah tuduhan “munafiqun” bagi anggota ISIS yang enggan ikut wajib militer dan bahkan sempat ditahan karena menolak turun lapangan untuk beperang. Dan, yang paling menyakitkan adalah bagaimana ISIS memperlakukan perempuan. Jika selama ini kita hanya mendengar kabar burung soal tentara ISIS yang berkali-kali menikah dengan para muhajirah (perempuan-perempuan yang memutuskan hijrah ke ISIS) adalah sebagai dongeng belaka, ternyata Dhania dan saudara perempuan lainnya mengalami hal tersebut.
Di asrama yang ditempati, nama Dhania dan anggota perempuan lainnya beberapa kali dipanggil oleh ketua asrama untuk diminta kesediaannya dinikahi oleh para kombatan ISIS. Memang, ketika akan menempati asrama, data Dhania dan keluarganya diserahkan ke ketua asrama. Dhania dan anggota keluarga perempuan yang lain dipilih karena memiliki wali. Hal ini ternyata memudahkan proses pernikahan jika Dhania menghendaki.
Beruntung, Dhania masih dapat menolak. Alhasil pernikahan itu tidak pernah terjadi. Setelah menolak permintaan menikah tersebut, Dhania pernah dibully oleh penghuni asrama yang lain “di mana semangat berjuangmu jika dinikahi pejuang ISIS saja tidak mau?”
Memasuki bulan Ramadhan di Suriah, Dhania dan keluarga mengaku teringat betapa hangatnya suasana bulan suci di Indonesia. Jika di Indonesia waktu sahur ditandai dengan kentongan yang saling bersahutan, lain halnya dengan di wilayah ISIS, waktu sahur kerap kali dibangunkan dengan ledakan bom yang nyaris terjadi setiap hari. Jauh dari perasaan tenang dan tentram laiknya di Indonesia.
Menghadapi situasi seperti itu, tentu keinginan dan tekad untuk kembali ke tanah air semakin kuat. Ketika masih berada di wilayah ISIS dan melihat segalanya sangat berbeda dengan propaganda di media sosial, keluarga Dhania juga menyampaikan apa-apa yang terjadi kepada keluarga yang tidak sampai ke Suriah. Dari hasil diskusi dan dialog, maka mereka semakin meyakini bahwa keputusan yang diambil untuk bergabung dengan ISIS adalah hal yang salah dan fatal. Padahal, niat mereka untuk berangkat ke Suriah adalah untuk dapat hidup di bawah naungan Khilafah Islamiyah yang nampak baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, alih-alih untuk berperang dan dinikahi oleh tantara ISIS.
Dari semua kenyataan di atas, Dhania dan keluarga bersyukur masih bisa kembali ke tanah air dalam keadaan selamat, dan tidak berlarut-larut menjadi korban propaganda ISIS. Mereka juga mensyukuri bahwa mereka tersadar setelah melihat kenyataan yang sebenarnya. Entah apakah kesadaran yang sama juga menghampiri para muhajirin-muhajirat ISIS dan berupaya Kembali ke tanah airnya masing-masing, atau malah terus-terusan menjadi korban propaganda ISIS dan tidak dapat keluar dari wilayah kekuasaan ISIS.
Meski harus kehilangan sang Nenek yang meninggal ketika masih di Suriah, beruntungnya mereka masih diberi kesempatan kedua untuk hidup seperti sedia kala dan yang terpenting adalah dapat keluar dan pulang ke tanah air. Dua keputusan yang Dhania ambil yaitu keputusan untuk hijrah dan menjadi bagian dari ISIS. Sedangkan keputusan besar lainnya adalah memutuskan untuk mencari jalan keluar untuk dapat keluar dari wilayah ISIS dengan taruhan tertangkap, kehilangan nyawa, dan tidak dapat Kembali ke tanah air.
Keberangkatan Dhania sekeluarga menuju Suriah memang merubah kehidupannya dan mungkin tidak akan mengembalikan segala hal yang telah hilang. Meski begitu, ini tidak membuat Dhania dan keluarganya patah arang dan menyerah. Mereka tetap bertekad untuk tetap mencari jalan keluar dari wilayah ISIS dan pulang ke Indonesia.
Berbekal pengalaman tersebut, sekembalinya ke Indonesia, Dhania, yang berstatus sebagai returnee ISIS, tidak mau tinggal diam. Ia memilih untuk menjadi credible voice, menyampaikan kepada publik tentang pengalamannya, mimpi buruknya, dan pahit-getirnya selama berada di wilayah ISIS.
Keberanian untuk menjadi credible voice itu ia dapatkan dari ayahnya yang menyampaikan agar ia berani tampil di depan publik, agar tidak ada lagi Dhania-Dhania lain yang terlena dengan iming-iming ilusi negara Islam. Selain itu, ia juga menuturkan jika dulu ia paling getol mengakampanyekan ISIS kepada keluarganya hingga dapat memboyong sekeluarga hijrah ke Suriah, maka sekarang ia akan lebih vokal mengkampanyekan fakta-fakta yang ia alami sendiri mengenai kebohongan dari propaganda ISIS.
Dalam proses sebagai actor of credible voice, Dhania kerap kali mendapatkan komentar-komentar miring tentang aktivitasnya. Tidak sedikit pihak yang menuduh bahwa keislaman Dhania dan keluarganya adalah keislaman yang tidak lurus, makanya dipulangkan ke Indonesia. Tapi, yah, komentar-komentar seperti itu biasanya keluar dari mereka yang, kata mendiang Rusdhi Matahari, “merasa pintar bodoh saja tak punya.”
*Artikel ini hasil kerja sama Islami.co dan RumahKitaB*