Pesan Terselubung dari WNI Eks Kombatan ISIS

Pesan Terselubung dari WNI Eks Kombatan ISIS

Pesan Terselubung dari WNI Eks Kombatan ISIS
Propaganda anak-anak ISIS dan keluarga yang membakar paspors. Pict by Alhayat media propaganda ISIS

Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) telah bangkrut.  Sepanjang 2018 hingga 2019 awal, organisasi teror besutan Abu Bakr al-Baghdadi ini terus menerus mengalami kekalahan.  Diperkiran pada 2018 kombatan ISIS tersisa tinggal ratusan orang yang menguasai desa terakhir, Baghouz.

Dalam sekali serang, Pasukan Demokratik Suriah (SDF) berhasil mengambil-alih desa yang berada di tepi Sungai Eufrat tersebut. Puncaknya, juru bicara SDF Mustafa Bali menyatakan tumbangnya utopia khilafah yang digagas oleh ISIS, pada Sabtu (23/3/2019).

Sejak saat itu, bekas kombatan ISIS dari berbagai negara, termasuk Indonesia, terombang-ambing dalam ketidakjelasan di kamp pengungsian di Suriah. Menangkap sinyal “hidup segan mati tak mau”, isu pemulangan eks simpatisan ISIS ke Tanah Air merangsek dalam percakapan publik.

Isu itu sebetulnya telah ramai tahun lalu. Tapi ntah kenapa, belakangan ini isu tersebut ramai lagi. Konon, Menteri Agama Fachrul Razi lah yang memantik perdebatan ini, kendati belakangan ia merevisi pernyataannya sendiri dengan mengklaim bahwa Kementrian Agama tidak sudi memulangkan eks simpatisan ISIS (detik.com, 04/02)

Yang jelas, Presiden Jokowi sejak awal telah berkomitmen kalau dirinya pribadi tidak berminat dan berniat memulangkan WNI eks kombatan ISIS ke Indonesia—meski pada awalnya pernyataan itu sendiri terkesan menggantung, karena Presiden masih merasa perlu membahas di level rapat terbatas (Ratas) terkait isu ini.

Adapun pihak yang menyambut hangat pemulangan WNI eks ISIS adalah PKS. Lewat Mardani Ali Sera,  ia menyamakan dengan kasus Wuhan.

“Kombatan ISIS adalah WNI. Seperti juga WNI yang kena ancaman viirus korona, mereka juga mesti diurus negara. Karena memang negara mesti hadir. Dan penanganan yang tepat justru menjadi management knowledge yang mahal untuk SOP masa depan”, kata Mardani (06/02).

Betapapun, Pemerintah kini telah resmi batal mengamini gagasan pemulangan 689 WNI eks ISIS ke Indonesia. Hal ini mengemuka lewat, sekali lagi, pernyataan Presiden Jokowi (12/02) yang menyebut bilamana Pemerintah telah bulat lebih mengutamakan keamanan 267 juta penduduk Indonesia.

Lagi pula, kalaupun mereka dipulangkan hanya akan menambah kerja pemerintah yang sejauh ini terlihat ngos-ngosan meladeni sel-sel teroris dalam negeri. Plus, absurditas program radikalisme d/a terorisme yang seringkali berupa seminar juga menjadi catatan tersendiri manakala WNI eks kombatan ISIS diboyong kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Bukan tidak mungkin, mereka yang telah terpapar paham garis keras akan menjadikan Indonesia sebagai ladang jihad baru setelah gagal total “mati syahid” di Irak dan Suriah. Pencegahan atas kemungkinan itu jelas lebih baik daripada kecolongan.

Itu bercermin pada kasus kepulangan anggota Darul Islam yang menjadi kombatan mujahidin Afghanistan medio 1980-an yang, ternyata belakangan berubah halauan menjadi pelaku teror di tanah air.

Bahkan, jejaring teror itu dikabarkan berkembang. Darul Islam kemudian berevolusi menjadi Jemaah Islamiyah (JI), dan lalu Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang terbukti kerap menjadi terminal organisasi teror dalam negeri.

Meski begitu, apakah dengan Pemerintah menutup pintu bagi eks kombatan ISIS berarti kita telah aman dari ancaman teror?

Jawabannya tentu saja sangat benderang: tidak!!

Pemerintah boleh saja mengklaim bahwa alasan penolakan WNI eks ISIS itu demi kepentingan yang lebih besar, yakni kemananan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Namun, satu hal yang pasti bahwa ideologi teror itu dimungkinkan karena banyak faktor.

Menarik sekali pandangan Abdul Muta’ali (2020) yang menyitir bahwa dari sekian kombatan ISIS itu pada dasarnya bisa dipetakan dalam tiga kasta. Pertama, ideologis buta (blind ideology). Pada tataran ini, mereka menyambut panggilan al-Baghdadi dengan sangat sadar, suka-cita dan penuh hasrat bahwa dunia ini sedang sakit, sedang khilafah-lah solusinya. Mereka pun tak segan memandang sistem demokrasi atau negara bangsa sebagi problem akidah yang serius.

Kedua, ideologis rasional (rational ideology). Kelompok kedua ini pada dasarnya masih mirip dengan kelompok pertama secara motivasi. Bedanya, mereka masih agak kompromis. Dan benar saja, apa yang mereka saksikan setibanya di Irak dan Suriah justru, jauh dari harapan.

Yang sedianya mereka berharap akan menyambut panggilan atau janji Tuhan soal baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, kenyataan malah berbicara lain. Yang mereka alami justru penindasan, pembantain, pemerkosaan, dan segudang ironi lainnya. Telak, mereka pun sangat kecewa dengan ISIS.

Sementara ketiga, adalah pragmatis ekonomis (pragmatic economically). Mereka berangkat dan bergabung dengan ISIS atas motif hitung-hitungan untung rugi yang meledak-ledak. Mereka matematis sekali.  Faktor iming-iming materi dan penghidupan yang lebih layak ketimbang di Indonesia merupakan faktor penting bagi kasta ini.

Nahas, setibanya di Suriah, yang mereka dapat hanya amsyong. Nihil. Alih-alih mendapati janji-janji hidup sentosa dan sejahtera, mereka justru dipaksa kerja rodi  dengan merampok dan memeras. Di titik kefrustasian inilah wajar saja jika mereka lalu rindu kampung halaman.

Betapapun, bergabung dengan ISIS merupakan kejahatan luar biasa. Dalam sebuah ibarat, ia boleh jadi serupa dengan laku syirik yang dalam teknis agama tergolong laku kriminal yang tidak bisa ditoleransi.

Meski begitu, menyadari adanya motif yang tidak seragam dari simpatisan ISIS, bil khusus pada tipe pragmatis ekonomis, ada satu pesan penting yang terselubung dari keberangkatan mereka, yakni: gagalnya negara dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa jaminan keadilan sosial dan kesejahteraan setiap warganya.

Mereka, umpamanya, mungkin saja jenuh dengan merebaknya laku korupsi yang kian hari kian menggurita saja. Atau, mereka juga sangat mungkin telah kesal dengan para pejabat publik yang kebijakannnya justru tampak tidak menguasai persoalan dan seperti tidak memihak mereka yang lemah, tertindas, bahkan terpinggirkan.

Hanya saja, karena tidak cukup sabar, syukur, dan tangguh dalam menjalani proses berbangsa dan bernegara mereka lalu mengambil jalan pintas yang kebetulan tampak menggiurkan: ISIS.

Pemerintah boleh saja berpendapat bahwa 600-an orang itu tidak seberapa dibanding 2 ratus-jutaan penduduk Indonesia. Tapi  bagi saya, 600-an orang itu bukan jumlah yang sedikit. Bahkan dengan 600 orang, Soekarno sangat mungkin bisa mencabut setengah Semeru dari akarnya, atau mengguncangkan 60 dunia.