Suatu hari, sahabat al-Fadhl bin Abbas, saudara Abdullah bin Abbas, membonceng Nabi Muhammad di atas unta. Konon peristiwa itu terjadi saat perjalanan menuju Makkah dalam rangka haji wada’.
Tak disangka, seorang perempuan dari Bani Khats’am, salah satu kabilah ternama di sekitar Makkah, mengetahui kedatangan Nabi dan jamaah haji wada’. Ia pun mendatangi rombongan dari Madinah ini. Setelah sang perempuan mendekati kumpulan jamaah, segera ia mendekati unta yang dinaiki Nabi.
Dalam redaksi riwayat lain, perempuan ini disebutkan cukup cantik. Al-Fadhl bin Abbas yang membonceng Nabi, memandang wajah sang perempuan. Perempuan ini pun memandangnya juga. Apalagi sahabat Nabi satu ini, disebutkan memang berwajah rupawan. Terjadilah suatu peristiwa: mencuri pandang, saling menatap wajah satu sama lain. Olala…
Usut punya usut, Nabi Muhammad mengetahui gelagat al-Fadhl dan perempuan tadi. Nabi memalingkan wajah al-Fadhl agar tidak terus-terusan melihat si perempuan, lantas Rasulullah segera menanyakan maksud kedatangannya.
Ditanggapi demikian, perempuan tersebut segera kembali ke maksud menghampiri Nabi, dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah mewajibkan haji untuk para hamba-Nya. Padahal ayahku sudah tua renta, dan tidak mampu untuk berhaji di atas kendaraan. Apakah aku boleh berhaji untuknya?”. Nabi menjawab, bahwa sang ayah boleh dihajikan oleh putrinya itu.
Kisah ini tercatat dalam hadis Shahih al Bukhari, bab tentang perempuan yang menghajikan laki-laki. Bisa diambil kesimpulan dari kisah di atas secara eksplisit: boleh menghajikan orang lain, baik itu keluarga atau orang lain kendati berbeda jenis kelamin.
Namun beberapa ulama mampu menggali faedah lebih lanjut tentang kisah tadi, yaitu permasalahan menatap wajah lawan jenis, atau mungkin “mencuri pandang”. Ya, tentu yang dimaksud bukan mencuri pandang yang matanya ‘berkeliaran’ ke mana-mana.
Curi pandang di sini adalah saat kita berpapasan dengan lawan jenis dalam berbagai momen aktivitas, lantas karena terpana, kita memandangnya. Bagaimana sih baiknya sikap kita ketika menatap keindahan paras wajah lawan jenis seperti itu?
Syekh Ibnu Hajar al Asqalani dalam kitab Fathul Bari Syarah Shahih al Bukhari memberi komentar, bahwa kisah hadis di atas menjelaskan kecenderungan manusia untuk melihat hal-hal indah dari seorang manusia. Manusia memiliki tabiat suka dengan paras yang indah.
Ibnu Hajar menambahkan bahwa tingkah Nabi memalingkan wajah Al Fadhl dari berlama-lama menatap wajah sang perempuan Bani Khats’am adalah cara beliau untuk mengurangi kemungkinan muncul gejolak perasaan yang tidak perlu.
Sementara ulama, ada yang cukup ketat berhati-hati menyimpulkan bahwa dari hadis ini adalah suatu larangan untuk adanya percampuran (ikhtilat) lawan jenis. Namun ada yang memberi batasan, bahwa larangan itu sejauh ada kemungkinan menimbulkan prasangka dan fitnah. Dalam konteks masyarakat Indonesia, hal ini terbuka untuk didiskusikan.
Tapi mari kembali ke persoalan curi-curi pandang. Nabi mengalihkan pandangan Al Fadhl, dan menanyai si perempuan agar tetap fokus pada tujuan pertemuannya, yaitu menanyakan permasalahan hukum menghajikan orang tua kepada Nabi.
Jadi, ada beberapa catatan seputar mencuri pandang dan menatap paras lawan jenis. Pertama, bagi yang mengkhawatirkan fitnah, maka curi-curi pandang – apalagi matanya berkeliaran – yang dapat mengakibatkan kabar tak sedap, apalagi konflik, hendaknya dihindari.
Kedua, jika mungkin ada orang-orang sekitar kita yang rupawan, dan – duh, Gusti – pesonanya tak bisa kita tolak untuk dipandang, tetaplah berusaha kembali fokus pada aktivitas. Dalam hal muamalah dan urusan lainnya, interaksi antar lawan jenis, apalagi di Indonesia, toh lumrah dan tidak terhindarkan. Jangan karena curi-curi pandang, kewajiban dan tugas jadi terlalaikan.
Ya, keinginan memandang lawan jenis yang rupawan jelas manusiawi. Tapi sebagaimana dilakukan Nabi kepada Al Fadhl dan perempuan dari Bani Khats’am di atas: tetap fokus, ojo oleng.
Kalau dari mata turun ke hati, wah sayang sekali, bukan cakupan tulisan ini.
Wallahu a’lam.