Taharah atau bersuci adakalanya wajib dan sunnah. Taharah menjadi wajib ditentukan berdasarkan faktor penyebabnya, seperti terdapat benda najis dan keluarnya zat dari kemaluan, serta tujuan taharah itu sendiri, misalnya untuk salat dan membaca Al-Qur’an.
Taharah dilakukan dengan menggunakan media air atau debu yang suci karena untuk mensucikan tentu harus dengan zat yang suci pula. Termasuk air banjir yang melimpah pada dasarnya suci, sekalipun berubah warnanya disebabakan larut membawa hanyut berbagai benda, baik suci atau kotor.
Jadi, taharah dapat menggunakan air banjir asalkan belum surut. Namun jika air banjir surut dan tidak mengalir yang tertampung dalam kobakan-kobakan kecil, atau disebut bekas banjir, maka hukumnya tersendiri. Air bekas banjir yang tidak mengalami perubahan warna, aroma dan rasa alamiah air dikatagorikan suci. Sedangkan yang telah berubah airnya dianggap kotor dan mungkin najis.
Khusus air bekas banjir yang dikategorikan suci, maka dapat digunakan bersuci dengan catatan harus mengikuti cara-cara bersuci. Jika mengikuti Mazhab Syafi’iyah maka volumenya harus mencapai 1 kubik. Kalau belum sampai 1 kubik maka untuk memakainya harus dialirkan atau dikucurkan untuk memastikan air itu bukan mustakmal (bercampur air bekas).
Begitupun perabotan rumah, lantai rumah, kendaraan yang terkena dampak banjir tidak menutup kemungkinan masih berbalut kotoran dan najis yang terbawa banjir. Supaya benda-benda itu kembali bersih dan suci harus dibersihkan terlebih dulu sehingga tidak membekas minimal warna dan aromanya. Sesudah tidak kelihatan lagi endapan bekas banjir, barulah dibilas dengan menggunakan air yang suci.
Cara mensucikannya dapat menggunakan bekas air banjir yang suci, yaitu dengan cara mengucurkan atau mengalirkan ke benda-benda terkena dampak banjir itu. Sementara jika benda itu ingin dicelupkan maka volume airnya harus lebih 1 kubik supaya tidak menjadi mustakmal. Bersuci dengan air yang mustakmal tidak dapat mensucikan benda-benda terkena dampak banjir.
Oleh sebab itu, perhatikan cara mensuci pakaian, perabotan rumah, isi rumah dan kendaraan agar benar-benar kembali suci dan dapat digunakan kembali, khususnya untuk beribadah kepada Allah SWT. (AN)
Wallahu a’lam.