“Kenapa masjid ditutup, sementara pasar dan mall enggak? Padahal kan sama-sama berkerumun.”
Kata-kata seperti di atas seringkali saya, dan mungkin juga Anda, temui di media sosial. Setiap kali ada cuitan tentang pro dan kontra penutupan masjid, selalu ada yang menarik bandul perdebatan ke universe yang sangat luas tersebut. Ini tidak hanya berada di tataran awam, seteras para pemuka agama pun memiliki pandangan yang berbeda-beda.
Soal penutupan masjid, ada sebagian yang mendukung, ada pula yang mengecam. Bahkan wacana Arab Saudi ‘membatalkan’ haji di tahun ini ditentang keras oleh sebagian pemuka agama. Juga, seruan agar masjid-masjid menambahi adzan dengan “sholatlah kamu di rumah” dengan meniadakan kegiatan ritual berkerumun, ada yang mencerca.
Wajar. Lha, hukum anjing najis atau tidak saja diperdebatkan. Apalagi perkara virus Corona yang tidak terlihat. Meminjam istilah cocoklogi konspirasi, jangan-jangan virus ini adalah bagian dari upaya elite global menjauhkan manusia dari keimanan. Uwuwuwu mengerikan…
Teori konspirasi semacam itu agaknya cukup masuk akal. Virus Corona menghancurkan salah satu sendi terkuat umat beragama: solidaritas. Wabah yang satu ini membuka peluang besar untuk menjangkiti siapa saja yang masih bersolidaritas secara fisik.
Doa bersama dan kegiatan ritual lain yang biasa menjadi andalan kaum beragama untuk mengusir berbagai bentuk ‘kejahatan’, berubah menjadi ancaman. Siapa saja yang berkerumun, virus ini konon bisa menjangkiti semua.
Ritual doa sebagai sarana berkomunikasi dengan Tuhan, lha kok dituduh jadi tempat penularan virus. Btw, siapa yang menyatakan seperti itu? WHO? Ormas dunia yang ‘gak beragama’ itu? Jangan-jangan WHO adalah bagian dari elit global!
Di sinilah ujiannya. Agama dan akal sehat seolah-olah menjadi dua kutub magnet yang tidak bisa menyatu. Orang yang percaya anjuran medis disebut telah kehilangan logika keimanannya. Sebaliknya, orang-orang yang percaya bahwa Corona makhluk Allah yang tak perlu ditakuti, dianggap sebagai kelompok mabok agama.
Semakin dipertentangkan semakin kedua kelompok ini membangun tembok ratapan yang tak bisa dijangkau satu sama lain. Mereka merasa bangga dengan kebenaran masing-masing. Hal ini, sekali lagi, wajar.
Saya ingin sedikit bercerita. Beda kasus, tapi konteksnya kurang lebih sama.
Di sebuah acara penyuluhan tentang scabies alias gudik, saya pernah diceramahi oleh petugas rumah sakit. Ia masih muda, dan ngomong panjang lebar soal scabies kepada anak-anak pesantren.
“Jadi harus berhati-hati. Jangan gantian handuk dan pakaian dengan penderita scabies karena penyakit ini mudah sekali menular,” ujar Bu Dokter muda. Kata Bu Dokter, bagi orang yang pernah mengalami scabies, jika terkena cairan dari orang lain, akan mengalami hal yang sama lagi.
Pada saat sesi tanya jawab, saya mengacungkan jari, membantah hampir semua pernyataan Bu Dokter. Saya katakan bahwa gudik ini penyakit lumrah dan tidak menular apabila kita sudah pernah mengalami. Saya katakan bahwa pengalaman pribadi dan teman-teman selama di pesantren adalah dalilnya.
“Bahkan, Bu. Saya pernah makan satu wadah bersama dengan teman yang sedang gudikan, yang, maaf, jari-jarinya bernanah. Kami makan sayur yang kuahnya mengambang. Kuman gak hanya berenang, tapi kami telan bersama-sama. Saya tidak tertular, tuh,” begitu kurang lebih saya berujar.
Sang Dokter tetap pada pendiriannya, dan menyatakan bahwa bisa saja saya kebetulan. Wait, wait. Kebetulan? Lha, padahal hampir semua anak pesantren punya pengalaman serupa. Sayangnya tidak dibuka lagi termin tanya jawab. Padahal saya masih punya amunisi untuk membantah jawaban yang tidak menjawab itu.
Pada saat itu saya berpikir bahwa saya punya pengalaman, dia punya teori. Saya kaitkan dengan berbagai potongan kisah-kisah lain. Misalnya, ada himbauan untuk tidak minum air keran, karena mengandung banyak kuman dan bisa membuat diare.
Masalahnya, waktu di pesantren saya setiap hari wudlu sambil minum di keran yang airnya diambil dari sumur angker. Sumur itu konon ada kuntilanak hingga jenis hantu lainnya. Kurang ekstrem apa lagi, coba. Nyatanya aman-aman saja.
Di sinilah pentingnya jembatan. Tidak semua yang dikhawatirkan dokter, terbukti. Sebaliknya, tidak semua yang dirasakan santri, bisa dipukul rata berlaku untuk semua orang. Lha ya memang ada orang yang daya tahan tubuhnya tinggi dan ada yang rendah, kok.
Bagi sebagian santri, minum air keran itu gak ngefek. Bagi sebagian lain, ada yang sampai harus minum air tertentu. Sekali minum air keran bisa saja efeknya mencret tujuh hari tujuh malam.
Perihal Corona, marilah kita bersepakat bahwa virus ini ciptaan Allah SWT. Kita tidak perlu takut berlebihan. Namun jangan juga meremehkan. Menghadapi segerombolan singa yang keluar dari hutan dan menyerang penduduk secara membabibuta lebih mudah daripada menghadapi Corona yang tak terlihat kasat mata.
Bagi sebagian orang, virus ini tidak berbahaya. Tetapi bagi sebagian yang lain, virus ini teramat ganas. Seseorang bisa saja merasa sehat namun ia mengidap virus tersebut. Kemudian jika ia melakukan kontak fisik dengan orang lain, bisa jadi orang tersebut sakit atau bahkan meninggal dunia!
Yang berbahaya apabila terdapat sebuah wilayah yang ketersediaan alat medisnya lebih sedikit dari jumlah pasien yang harus dirawat. Di Italia, misalnya, para dokter harus “memilih” pasien yang dibiarkan sekarat dan pasien yang diselamatkan akibat kekurangan alat medis.
Kembali ke pertanyaan awal, mengapa himbauan “menutup” masjid lebih kencang daripada menutup mall atau diskotik? Saya sih mengambil sisi positifnya. Hal ini berarti kesadaran menjaga kesehatan umat beragama sangat tinggi. Agama tidak kehilangan sisi humanismenya karena keselamatan manusia masih menjadi tolak ukurnya.
Salah satu masa yang disebut era keemasan Islam adalah ketika para ilmuwan muslim berhasil menemukan berbagai jenis penyakit dan obat yang dulu dianggap sebagai kutukan. Di Isfahan, Ibnu Sina (Avicenna) menjadi salah satu tokoh yang paling disegani di dunia.
Ketokohan Avicenna bahkan diabadikan dalam sebuah film berjudul The Physician (2013). Di film tersebut, diceritakan bagaimana Avicenna menjadi rujukan banyak ahli medis dunia. Di saat orang Eropa masih menggunakan doa dan ritual untuk menyembuhkan tipes, dia sudah bisa menemukan penyebab dan obatnya.
Ibnu Sina mengajarkan kita bahwa semua bentuk penyakit tidak perlu ditakuti. Penyakit itu dipelajari, dipahami karakteristiknya, untuk kemudian dicarikan penawarnya. Karena kita sama-sama makhluk Allah, sudah barang tentu kita bisa saling mengenal.
Kita mengenal singa sebagai binatang karnivora. Karenanya kita diminta untuk tidak dekat-dekat agar tidak dimangsa. Begitu juga dengan virus Corona. Ilmuwan sudah menjelaskan bahwa virus ini mudah menular. Maka, manusia diminta untuk jaga jarak dan menghindari segala bentuk kerumunan demi memotong laju penyebaran virus ini.
Sebagai makhluk Allah yang baik, kita seyogianya perlu melakukan langkah terbaik agar wabah ini segera berakhir. Jika kita sudah mengetahui tetapi masih bandel, ya ibarat kata lagi masuk taman safari terus turun dari mobil di kandang singa. Kalau kegigit ya risiko, ndak perlu menuduh petugas taman safarinya zalim. Wallahua’lam.
BACA JUGA Darurat Corona: Jika Negara Muslim saja Menahan Diri, Kenapa Kita Malah Sebaliknya? ATAU Artikel-artikel menarik lainnya