Ketika Imam Syafi’i Mengaku Sebagai Bukan Orang Bertakwa

Ketika Imam Syafi’i Mengaku Sebagai Bukan Orang Bertakwa

Ketika Imam Syafi’i Mengaku Sebagai Bukan Orang Bertakwa
Ilustrasi seseorang yang sedang merenungi diri.

Pada zaman Imam Syafi’i, hiduplah seorang yang sangat kaya. Ia mengirimkan banyak harta ke kota Mekkah. Maksudnya adalah untuk diperbantukan kepada orang-orang fakir di sana.

Pada suatu hari, bantuan itu akhirnya datang kepada Imam Syafi’i. Karena akan mendapat bantuan, Imam Syafi’i mengatakan kepada utusan pemberi bantuan itu.

“Bagaimana maksud si pemberi bantuan ini?” tanya Imam Syafi’i.

“Ini diberikan kepada orang fakir yang takwa,” jawab si pembawa bantuan.

Bantuan itu ditolak oleh Imam Syafi’i dengan alasan ia bukan orang yang takwa.

“Iya, memang saya adalah orang yang fakir, namun bukan orang yang bertakwa,” terang Imam Syafi’i.

Kisah Imam Syafi’i di atas, penulis sarikan dari kitab Tadzkirah al-Auliya’, karangan Fariduddin al-Attar. Lewat kisah singkat ini, kita bisa mengetahui betapa rendah hatinya Imam Syafi’i.

Kerendahan hati akan dimiliki seseorang manakala ia menyadari bahwa dirinya bukan siapa-siapa dan tak bisa berbuat apa-apa, jika tidak ada bantuan dan pertolongan dari Allah.

Jika masih ada perasaan dalam diri seseorang bahwa dirinya telah berbuat suatu kebaikan, dan oleh karenanya, ia merasa bahwa ia lebih baik daripada orang lain, maka sifat sombong akan mudah menjangkitinya.

Ya, merasa lebih baik daripada orang lain adalah salah satu faktor penyebab seseorang bisa menjadi sombong. Hal ini yang dialami oleh Iblis. Saat itu, ia menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam karena ia merasa dirinya lebih baik dari Adam.

“Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”. (QS. Al-A’raf [7]: 12)

Dalam tafsir al-Munir, Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili mengatakan, iblis berkata bahwa api lebih baik daripada tanah itu karena, dalam pandangan iblis, api adalah hal yang sifatnya naik, tinggi, dan bersinar. Berbeda dengan tanah yang merupakan benda yang stagnan, padam (tidak bersinar), dan hina.

Padahal, tulis al-Zuhaili, anggapan itu jelas salah dan tidak bsia dibenarkan. Pasalnya, suatu kebaikan tidak bisa dinilai dan dilihat dari hal-hal yang bersifat materi. Namun harus dilihat berdasarkan hal-hal maknawi dan tak terlihat, sebagaimana Adam yang dimuliakan Allah dengan diberi ilmu dan pengetahuan.

Dari uraian di atas, juga dapat disimpulkan bahwa kesombongan acapkali disebabkan karena kesalahan dalam memandang dan menilai suatu kemuliaan. Jika tolok ukur sebuah kemuliaan adalah hal-hal yang bersifat materi, maka kesombongan akan melanda diri seseorang.

Sebaliknya, jika kemuliaan itu dinilai berdasar hal-hal imateri, maka rendah hatilah yang akan seseorang miliki. Namun, pertanyaannya, “Siapa yang bisa menilai hal-hal yang tidak tampak?” Tentu tak ada, kecuali Allah Swt.

Dengan demikian, karena hanya Allah yang berhak menilai baik atau buruknya seseorang, maka tak ada seorang pun yang berhak menilai orang lain itu baik atau buruk secara mutlak.

Jika pun ia (terpaksa) harus menilai orang lain, ia harus menyadari dan meyakini bahwa penilaiannya itu hanya didasarkan dari penglihatannya secara zahir saja, yang oleh karenanya, kebenarannya belum final.

Orang yang demikian, meskipun dalam pandangannya, orang telah melakukan kesalahan, namun ia tetap rendah hati. Pasalnya, ia sadar apa yang terlihat oleh mata bisa benar bisa salah. Yang juga bisa jadi, orang lain tersebut justru lebih baik di sisi Allah.

Nabi Muhammad Saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku untuk menyuruh kalian bersikap rendah hati, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya di hadapan orang lain, dan tidak seorang pun yang berbuat aniaya terhadap orang lain.” (HR. Muslim)

Walhasil, seorang Imam Syafi’i yang merupakan salah satau imam besar dalam Islam saja begitu ringannya menganggap dan mengaku bahwa dirinya bukan orang yang bertakwa, lantas, apakah kita tidak malu sok mengaku sebagai orang yang takwa dan karenanya berhak mengkapling surga?