Pada mulanya adalah prasangka: sesuatu yang tak sekedar gambaran suasana hati. Mungkin sesuatu dari “ide” Plato yang berada entah di mana, di luar ruang dan waktu. Mungkin juga secuplik dari “keraguan Cartesian”: cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada, awal dari ada dan pengetahuan. Atau mungkin bukan keduanya. Yang pasti ia ada di kehidupan manusia.
Pada mulanya adalah prasangka. Sesuatu yang dengannya peradaban dibangun, juga diruntuhkan. Seperti pada cogito ergo sum-nya bapak filsafat modern, Rene Descartes (1596-1650), seolah membuktikan, bahwa peradaban yang lahir dari pengetahuan manusia bermula dari keragu-raguan juga prasangka. Dengannya putera konsul Prancis di Inggris itu, lantas menolak segala sesuatu yang telah diajarkan kepadanya. Tentang Allah, Gereja, Socrates, Aristoteles, Plato atau yang lain. Setelahnya, menyusun pengetahuan yang lebih mantap, bahkan dipelajari hingga kini.
Tetapi prasangka pun melahirkan perang Salib (1095- 1291 M): sebuah perang berkepanjangan lantaran prasangka keagamaan. Seperti halnya perang di zaman modern di wilayah yang kita diami: Ambon, sampit, Aceh, atau yang lain. Bukankah dari prasangka, banyak orang bertindak seolah hakim yang memvonis umat Kristiani sebagai musuh Islam? Pun sebaliknya Islam yang begitu lekat dengan kekerasan? Bukankah dari prasangka, sosok teroris yang menjadi pelaku tragedi WTC di New York, Amerika Serikat, 2002 lalu atau prasangka kebencian yang dibentuk dalam peristiwa Pilkada DKI, itu dibentuk; Ahok adalah setan dan musuh utama Islam, entah siapa lagi.
Bermula dari prasangka, kehidupan dewasa ini seolah tempat persemayaman kecurigaan dan sak wasangka. Di mana kehidupan banyak orang menjadi tak aman, begitu dekat dengan kebencian. Lantas, apakah ini berarti ia harus dilenyapkan? Rasanya mustahil. Tidak juga saya, Anda, atau siapapun orangnya, mampu menghilangkan prasangka.
Yang bisa dilakukan hanyalah membatasi sesuatu yang konkrit dari pengaruh prasangka. Karena prasangka dengan sendirinya terbatasi oleh prasangka-prasangka lain. Di situ, ada pengaturan, penyesuaian, dan yang tak boleh lupa adalah sebuah pembuktian.
Mungkin kita bisa berkaca dari Descartes, bahwa prasangka seyogyanya memang harus bisa dibuktikan. Descartes telah berjibaku demi menjawab pelbagai keraguan dan prasangka dengan menghabiskan hari-harinya di Jerman, saat itu ia seorang serdadu, di depan sebuah tungku, sampai akhirnya menemukan cogito ergo sum.
Ya, mungkin jawabannya adalah pembuktian. Bukankah lebih baik, jika beragam prasangka yang kini berkembang: Ahok–merujuk peristiwa Pemilu Jakarta yang brutal–sebagai sosok ‘setan’ dan musuh Islam. Lalu, berprasangka, bahwa semua itu hanya skenario, entah siapa yang membuatnya dan entah apalagi, yang sejatinya dibuktikan melalui pengadilan? Dengan syarat pengadilan yang bebas, terbuka dan profesional, serta tanpa tekanan. Sejarah sudah membuktikannya[]