
Dalam denyut tradisi tahlilan di masyarakat Muslim Indonesia, berkat atau besek menyandang peran yang jauh melampaui sekadar paket makanan. Ia adalah simbol solidaritas, pengikat gotong-royong yang mengalir lembut seperti air di dalam sungai kehidupan komunal.
Isinya bukan sekadar makanan; ia adalah perwujudan nilai-nilai luhur: nasi putih yang melambangkan kesucian hati, potongan daging atau ayam sebagai lambang kelimpahan rezeki, telur rebus yang beresonansi dengan siklus kehidupan, orek tempe yang bersahaja, mi goreng kering yang rumit namun harmonis, hingga tambahan bahan mentah seperti mi instan atau gula yang mengisyaratkan keberlanjutan.
Melengkapi suasana, kopi panas dihidangkan dalam gelas kaca, ditemani rokok yang menyulut percakapan di antara pelayat.
Mereka duduk bersila di atas tikar yang digelar di pelataran rumah atau ruang tamu, menciptakan ruang egaliter di mana cerita-cerita tentang almarhum kembali dikenang, dan hubungan sosial diperbarui. Namun, di balik kehangatan ini, tradisi tahlilan juga menyulut perbincangan kritis tentang moral-ekonomi.
Keluarga yang tengah berduka kerap harus menanggung beban finansial yang tidak kecil untuk menjamu para pelayat. Apakah ini beban yang terlalu berat, ataukah justru amal yang mulia?
Dalam tulisan ini, kita akan mengurai makna sosial, ekonomi, dan religi dari tradisi tahlilan melalui lensa antropologi moral ekonomi, dengan berlandaskan pemikiran Marshall Sahlins serta kajian antropologis lainnya.
Tahlilan sebagai Ritual dan Redistribusi Ekonomi
Marshall Sahlins dalam Stone Age Economics menjelaskan konsep ekonomi moral dalam masyarakat tradisional sebagai “redistribusi dalam bingkai moralitas”. Tradisi tahlilan tidak hanya berhenti pada dimensi spiritual sebagai doa bersama, tetapi juga menyentuh ranah sosial melalui makanan yang dibagikan.
Berkat, dalam konteks ini, menjadi alat redistribusi rezeki. Keluarga yang berduka berbagi anugerah mereka kepada komunitas, bukan sekadar sebagai bentuk syukur, tetapi juga sebagai cara untuk menyampaikan pesan tentang kesinambungan solidaritas.
Dalam analisis ini, tahlilan berfungsi sebagai bentuk “sistem resiprositas terbalik” (negative reciprocity). Keluarga yang berduka menanggung pengorbanan finansial lebih besar di awal dengan keyakinan bahwa komunitas akan membalasnya suatu hari nanti, baik dalam bentuk dukungan sosial maupun material. Tradisi ini tidak sekadar soal konsumsi, tetapi menjadi mekanisme yang mengingatkan tentang hubungan saling bergantung di antara anggota masyarakat.
Jamuan Duka: Beban atau Amal?
Salah satu kritik utama terhadap tradisi tahlilan adalah persepsi bahwa keluarga yang tengah berduka justru terbebani secara ekonomi.
Biaya untuk mempersiapkan besek yang mencakup makanan hingga bahan mentah dapat mencapai jutaan rupiah, terutama jika jumlah pelayat besar. Kritik ini sering kali dibalut dalam argumen rasional: bukankah seharusnya keluarga yang berduka menerima bantuan, bukan justru menanggung beban tambahan?
Namun, tradisi tahlilan tidak dapat direduksi semata-mata ke dalam kalkulasi ekonomi.
Dalam studinya tentang agama di Jawa, Clifford Geertz mencatat bahwa jamuan dalam ritual keagamaan adalah manifestasi hubungan sosial yang kompleks. Jamuan dalam tahlilan adalah medium komunikasi sosial yang sarat pesan moral: kebahagiaan dan kesedihan individu adalah tanggung jawab bersama. Dalam pandangan ini, jamuan bukanlah beban, melainkan mekanisme yang mengukuhkan posisi keluarga yang berduka dalam jaringan sosial mereka.
Kehangatan di Atas Hamparan Tikar: Kopi Panas dan Rokok
Selain besek, ritual minum kopi atau teh dan merokok bersama di atas tikar menjadi bagian tak terpisahkan dari tahlilan. Momen ini mungkin tampak sederhana, tetapi menyimpan kedalaman antropologis yang kaya. Dalam kerangka antropologi material, kopi dan rokok berfungsi sebagai “artefak relasional” yang mempertemukan individu dalam ruang sosial yang setara (Miller, 2008). Di atas tikar, segala perbedaan sosial mencair: tua dan muda, kaya dan miskin, semua duduk sejajar, saling berbagi cerita.
Momen ini juga memiliki dimensi performatif. Para pelayat tidak hanya berkumpul untuk mengenang almarhum, tetapi juga memperbarui ingatan kolektif mereka tentang sosok yang telah tiada. Dengan demikian, tahlilan menjadi lebih dari sekadar pertemuan spiritual; ia adalah ruang di mana identitas dan sejarah bersama dinegosiasikan dan diperkuat.
Antropologi Moral Ekonomi dalam Tradisi Tahlilan
Mengapa keluarga yang berduka tetap melestarikan tradisi tahlilan meski ada kritik soal beban finansial? Jawabannya terletak pada moralitas ekonomi yang mendasari tradisi ini.
Dalam pandangan Sahlins, tindakan memberi dalam masyarakat tradisional tidak digerakkan oleh kalkulasi untung-rugi semata, tetapi oleh moralitas kolektif yang menempatkan hubungan sosial di atas segala-galanya.
Tahlilan adalah wujud konkret dari “ekonomi pemberian” (gift economy) di dalam masyarakat modern. Nilai sebuah pemberian tidak diukur berdasarkan materi, melainkan berdasarkan dampaknya terhadap relasi sosial. Dalam konteks ini, jamuan tahlilan dapat dilihat sebagai bentuk “amal jariyah”: ia tidak hanya mendatangkan pahala spiritual, tetapi juga memperkuat modal sosial keluarga yang berduka.
Kritik dan Dinamika Kontemporer
Seiring waktu, tradisi tahlilan menghadapi tantangan di tengah masyarakat urban yang semakin individualis. Tingginya biaya hidup dan perubahan gaya hidup memunculkan variasi baru seperti “tahlilan praktis,” di mana jamuan digantikan dengan makanan ringan atau air mineral. Meski demikian, esensi tahlilan sebagai ruang solidaritas tetap bertahan. Hal ini sejalan dengan gagasan James Scott tentang “moral ekonomi petani”, di mana nilai-nilai kebersamaan selalu mencari cara untuk beradaptasi dalam perubahan ekonomi dan politik.
Tahlilan sebagai Warisan Budaya dan Modal Sosial
Tradisi tahlilan dengan berkatnya adalah cerminan kearifan lokal yang kaya makna. Ia menggambarkan moralitas ekonomi yang menempatkan solidaritas di atas kalkulasi material. Melalui lensa antropologi religi dan moral ekonomi, kita dapat memahami bahwa tradisi ini tidak hanya soal beban finansial, tetapi juga soal jaringan hubungan sosial yang jauh lebih besar.
Di balik setiap besek yang dibagikan, tersimpan pesan tentang keberlanjutan solidaritas, rasa syukur, dan harapan akan dukungan kolektif. Dalam dunia yang semakin terindividualisasi, tradisi ini mengingatkan kita bahwa berbagi dalam suka dan duka adalah inti dari kemanusiaan yang paling mendasar. Sebagaimana tahlilan mempersatukan kita dalam doa, ia juga menyatukan kita dalam tanggung jawab bersama untuk saling menjaga dan menopang.