Parmin adalah seorang tukang becak yang baru saja tobat dari kegilaannya bermain judi togel. Ia ingin belajar bagaimana cara berislam dengan baik. Lantas, ia pun menemui Kiai untuk mengajarinya. Sebab ia belajar Islam pada umur yang sudah kelewat uzur, maka lidahnya sudah susah untuk mengucapkan kata-kata berbahasa Arab “La haula wala quwata” yang diajarkan oleh kiai. Alhasil, Parmin hanya mampu mengucapkannya dengan “Wolo-Wolo Kuwato”.
Walaupun Parmin tidak tangkas dalam melafaldzkan bacaan yang diajarkan Kiai, namun dia mengucapkan “Wolo-Wolo Kuwoto” dengan keyakinan penuh saat bekerja menarik becaknya. Satu waktu, sudah hampir seharian ia narik becak, tapi belum mendapatkan penumpang sama sekali, padahal waktu sudah menunjukkan sore hari.
Di tengah kepayahan belum mendapat sepeserpun rupiah dan entah nanti anak-istri makan apa, Parmin hanya memperkuat hatinya untuk terus yakin kepada kehendak Gusti Allah Swt, sembari mengucap “Duh Gusti, Wolo-Wolo Kuwato”. Sejurus kemudian, Parmin secara tiba-tiba mendapatkan satu penumpang yang memberikan ongkos berlebih yang dapat menutup kebutuhannya hari itu.
Kisah tentang keyakinan iman Parmin tukang becak tersebut diceritakan oleh Kang Sobary dalam salah satu tulisannya dalam buku kumpulan esai-esai pendek dengan judul “Kang Sejo Melihat Tuhan (Cetakan ke-5 pada 2014)”.
Dalam buku kumpulan esai tersebut, Kang Sobary selaku seorang peneliti sosial dan masyarakat menampilkan gambaran kehidupan religi “Wong Cilik” (orang kecil dan miskin di pinggiran kota maupun di pedesaan) pada tahun-tahun awal 1990-an.
Esai-esai yang dituliskan Kang Sobary menampilkan sebuah kehidupan beragama sosok-sosok orang kecil yang memiliki keteguhan iman di tengah kemelaratan nasib ekonomi dan sosialnya. Sosok-sosok tersebut Kang Sobary jumpai dalam berbagai risetnya tentang masyarakat maupun dari pergumulannya langsung dengan orang-orang tetangganya di kampung.
Sosok dengan nama-nama Jawa yang digambarkan oleh Kang Sobary dalam buku tersebut merupakan prototipe kearifan orang-orang kecil dalam mendalami keislamannya. Sosok-sosok itu bernama: Parmin, Kang Suto, Kang Sejo, Kang Karmin dan seterusnya dan seterusnya.
Dari berbagai kearifan beragama sosok-sosok orang kecil yang ditampilkan Kang Sobary ini ternyata sangat kontras dari penampilan berislam kalangan muslim perkotaan kekinian yang penuh dengan obsesi formalisme ajaran Islam dan tampilan kesalehan ritual. Keislaman sosok-sosok pinggiran di buku ini sangat sederhana, namun penuh dengan vitalitas keimanan yang prima.
Maka, tak heran kalau Gus Dur dalam pengantar buku ini memberikan penilaian bahwa Kang Sobary berusaha menggugat cara beragama yang hanya menampakkan kesalehan ritual saja. Berbagai sosok-sosok yang diangkatnya berusaha menggugat cara berislam dengan orientasi ritual formal. Misalnya, ada seseosok Pak Haji yang saleh secara ritual dan fisik, namun tidak memiliki konsistensi spiritual dalam sikap-sikap sosialnya.
Melalui buku ini, Kang Sobary telah berhasil mengangkat cara berislam kaum pinggiran yang sederhana, tidak memakai tampilan simbol keislaman yang mewah, namun memiliki keimanan yang tulus dan teguh kepada Gusti Allah Swt.
Cara penggambaran Kang Sobary atas kearifan beragama “Wong Cilik” dalam buku ini, menurut Gus Dur, menunjukkan tendensi adanya pribumisasi Islam. Misalnya melalui sosok seperti Parmin yang hanya mampu mengucapkan “Wolo-Wolo Kuwato” menampilkan peleburan dari cara pelafalan yang harus serba berbahasa Arab menjadi pelafalan dengan semampunya.
Tampilan fisik tak terlalu menjadi keharusan, namun yang lebih penting dari semuanya adalah pendalaman pikir dan rasa keimanan kepada Gusti Allah Swt. Sebagaimana yang dikatakan Gus Dur bahwa Kang Sobary seperti meyakini adanya relativisme dalam berkeyakinan. Setiap orang akan menggunakan caranya masing-masing supaya dapat sampai kepada Allah Swt, sesuai kemampuan masing-masing.
Kang Sobary, demikian kata Gus Dur lebih jauh, seolah-olah menampakkan bahwa agama merupakan alat bagi seseorang untuk mencapai kedekatan dengan Allah Swt, bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran seperti ini saat ini sangat minim hadir dalam benak umat Islam di Indonesia.
Saat ini, umat Islam sedang dibelenggu oleh berbagai bentuk hasrat untuk mengislamkan segala sesuatu, gaya hidup halal, wisata halal dan seterusnya dan seterusnya. Umat Islam kekinian lebih berorientasi kepada pemenuhan tampilan fisik keagamaan saja. Mereka seolah tampak tidak begitu mementingkan bagaimana rasa spiritualitas mereka kepada Allah Swt.
Cara berislam ala “Wong Cilik” yang diangkat Kang Sobary ini barangkali menemukan relevansinya sebagai sebuah kritik untuk cara berislam kekinian yang penuh dengan obsesi kesalehan ritual. Karya Kang Sobary ini, walaupun ditulis pada awal tahun 1990-an, namun kritiknya juga masih menemui sasarannya di masa-masa kiwari. Toh, gejalanya juga masih sama saja.
Kang Sobary melalui buku ini mengajak kita semua untuk melakukan muhasabah diri: Apakah kita selama ini dalam beragama lebih terobsesi dengan kesalehan ritual formal? Atau sebaliknya, seberapa jauh spirit keagamaan itu mampu mengejawantah dalam laku kesalehan social kita? Jika kita belum saleh secara sosial, mari kita lekas berbenah diri kita masing-masing. Wallahua’lam.