Kang Sejo Melihat Tuhan

Kang Sejo Melihat Tuhan

Kolom menggelitik dari kolumnis dan budayawan Mohammad Sobary

Kang Sejo Melihat Tuhan

Bukan salah saya kalau suatu hari saya ceramah agama di depan sejumlah mahasiswa Monash yang, satu di antaranya, Islamnya menggebu. Artinya, Islam serba berbau Arab. Jenggot mesti panjang. Ceramah mesti merujuk ayat, atau Hadis. Lauk mesti halal meat. Dan, semangat mesti ditujukan buat meng-Islam-kan orang Australia. Tanpa itu semua jelas tidak Islami.

Saya pun dicap tidak Islami. Iman saya campur aduk dengan wayang. Dus, kalau pakai kaca mata Geertz, seislam-islamnya saya, saya ini masih Hindu. Memang salah saya, sebab ketika itu saya main ibarat: Gatutkaca itu sufi. Ia satria-pandita. Tiap saat seperti tidur, padahal berzikir qolbi. Jasad di bumi, roh menemui Tuhan. Ini turu lali, mripat turu, ati tangi: mata tidur hati melek, seperti olah batin dalam dunia kaum sufi.

Biar masih muda, hidup Gatutkaca seimbang, satu kaki di dunia satu lagi di akhirat. Mirip Nabi Daud: hari ini puasa, sehari esoknya berbuka. Dan saya pun dibabat …

Juli tahun lalu saya dijuluki Gus Dur sebagai orang yang doanya pendek. Bukan harfiah cuma berdoa sebentar. Maksudnya, tak banyak doa yang saya hafal. Namun, yang tak banyak itu saya amalkan.

“Dan itu betul. Artinya, banyak ilmu ndak diamalkan buat apa?” kata Pak Kiai sambil bergolek-golek di Hotel Sriwedari, Yogya. Apa yang lebih indah dalam hidup ini, selain amal yang memperoleh pengakuan Romo Kiai? Saya merasa hidup jadi kepenak, nikmat.

Dalam deretan Sufi, Al Adawiah disebut “raja.” Wanita ini hamba yang total. Hidupnya buat cinta. Gemerlap dunia tak menarik berkat pesona lain: getaran cinta ilahi. Pernah ia berkata, “Bila Kau ingin menganugerahi aku nikmat duniawi, berikan itu pada musuh-musuh-Mu. Dan bila ingin Kau limpahkan padaku nikmat surgawi, berikanlah pada sahabat-sahabat-Mu. Bagiku, Kau cukup.”

Ini tentu berkat ke-”raja”-annya. Lumrah. Lain bila itu terjadi pada Kang Sejo. Ia tukang pijit -maaf, Kang, saya sebut itu- tunanetra.

Kang Sejo pendek pula doanya. Bahasa Arab ia tak tahu. Doanya bahasa Jawa: Gusti Allah ora sare (Allah tak pernah tidur): potongan ayat Kursi itu. Zikir ia kuat. Soal ruwet apa pun yang dihadapi, wiridannya satu: “Duh, Gusti, Engkau yang tak pernah tidur …” Cuma itu.

“Memang sederhana, wong hidup ini pun dasarnya juga sederhana,” katanya, sambil memijit saya.

Saya tertarik cara hidupnya. Saya belajar. Guru saya ya orang macam ini, antara lain. Rumahnya di Klender. Kantornya, panti pijat itu, di sekitar Blok M. Ketika saya tanya, apa yang dilakukannya di sela memijit, dia bilang, “Zikir Duh, Gusti …” Di rumah, di jalan, di tempat kerja, di mana pun, doanya ya Duh, Gusti … itu. Satu tapi jelas di tangan.

“Berapa kali Duh Gusti dalam sehari?” tanya saya.

“Tidak saya hitung.”

“Lho, apa tak ada aturannya? Para santri kan dituntun kiai, baca ini sekian ribu, itu sekian ribu,” kata saya

“Monggo mawon (ya, terserah saja),” jawabnya. “Tuhan memberi kita rezeki tanpa hitungan, kok. Jadi, ibadah pun tanpa hitungan.”

“Sampeyan itu seperti wali, lo, Kang,” saya memuji.

“Monggo mawon. Ning (tapi) wali murid.” Dia lalu ketawa.

Diam-diam ia sudah naik haji. Langganan lama, seorang pejabat, mentraktirnya ke Tanah Suci tiga tahun yang lalu.

‘Senang sampeyan, Kang, sudah naik haji?”

“Itu kan rezeki. Dan rezeki datang dari sumber yang tak terduga,” katanya.

“Ayat menyebutkan itu, Kang.”

“Monggo mawon. Saya tidak tahu.”

Ketularan bau Arab, saya tanya kenapa doanya bahasa Jawa.

“Apa Tuhan tahunya cuma bahasa Arab?”

“Kalau sampeyan Dah Duh Gusti di bis apa penumpang lain …”

“Dalam hati, Mas. Tak perlu diucapkan.”

Ia, konon, pernah menolak zakat dari seorang tetangganya. Karena disodor-sodori, ia menyebut, “Duh, Gusti, yang tak pernah tidur …” Pemberi zakat itu, entah bagaimana, ketakutan. Ia mengaku uang itu memang kurang halal. Ia minta maaf.

“Mengapa sampeyan tahu uang zakat itu haram”? tanya saya.

“Rumah saya tiba-tiba panas. Panaaaas sekali.”

“Kok sampeyan tahu panas itu akibat si uang haram?”

“Gusti Allah ora sare, Mas,” jawabnya.

Ya, saya mengerti, Kang Sejo. Ibarat berjalan, kau telah sampai. Dalam kegelapan matamu kau telah melihatNya. Dan aku? Aku masih dalam taraf terpesona. Terus-menerus.

 

*) Pertama kali dimuat TEMPO, 12 Januari 1991