Berikut Alasan Mengapa al-Qur’an Perlu Ditafsir Secara Ilmiah

Berikut Alasan Mengapa al-Qur’an Perlu Ditafsir Secara Ilmiah

FYI …

Berikut Alasan Mengapa al-Qur’an Perlu Ditafsir Secara Ilmiah
Al-Qur`an adalah salah satu mukjizat yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Muhammad.

Sebuah diktum mengatakan bahwa relevansi agama di masa depan akan sangat bergantung pada kapabilitas agama tersebut untuk beradaptasi dengan gerak zaman. Dalam bahasa lain, cara beragama yang konservatif akan semakin tereliminasi oleh peradaban yang rasional dan serba positivistik.

Dalam Islam, kesadaran ini nampak mulai terlihat pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan al-Ma’mun (w. 853 M), akibat gelombang Hellenisme yang masuk melalui penerjemahan buku-buku ilmiah. Hellenisme adalah sebuah era peralihan yang menandai pertemuan antara pengaruh pemikiran dan budaya Yunani Kuno dengan, salah satunya, budaya Arab dan Islam.

Paradigma Hellenisme menciptakan kecenderungan menafsirkan al-Qur’an dengan teori-teori pengetahuan “modern”. Corak penafsiran ini kemudian dikenal sebagai tafsir ilmi. Salah satu produk awal penafsiran ini adalah Tafsir Mafatihul Gaib karya Fakhruddin al-Razi di era pertengahan kemudian diteruskan oleh al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Tantawi Jawhari di era modern-kontemporer. Kedua karya tersebut merupakan karya tafsir representatif yang memuat secara panjang lebar penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Selain keduanya, Jalaluddin al-Suyuti dan Muhammad Abduh juga merupakan sebagian mufasir yang mendukung corak tafsir ilmi.

Al-Ghazali, yang tertuduh sebagai “biang” dari kemunduran sains dalam Islam, bahkan mendukung gagasan tafsir ini. Dalam Ihya ‘Ulumuddin, al-Ghazali membela tafsir ilmi dari serangan ulama pengikut Ibn Abbas dan mufassir lainnya. Dalam karyanya yang lain, Jawahir al-Qur’an, al-Ghazali memberi beberapa contoh bahwa ada beberapa nash al-Qur’an yang tidak bisa dipahami hanya dengan riwayat, namun hanya dapat dipahami oleh orang yang memiliki ilmu pengetahuan.

Ayat “Dan bila aku sakit, Allah menyembuhkan aku” dalam Q.S. al-Syu’ara ayat 80, misalnya, hanya dapat dipahami oleh mereka yang memiliki pengetahuan medis. Ayat-ayat yang menggambarkan tentang perederan matahari, bulan, dan bintang hanya dimengerti oleh ahli fisika dan astronomi. Menurut al-Ghazali, merenungkan ayat-ayat al-Qur’an akan membawa kita kepada samudera af’al (perbutan-perbuatan Tuhan) yang tiada bertepi. Dan, hal itu tidak cukup hanya dengan membatasi penafsiran pada apa yang manqul.

Di era kontemporer, tafsir ilmi semakin populer dan meluas berkat empat faktor utama: pertama, pengaruh kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan Barat (Eropa) terhadap dunia Arab dan kawasan Muslim. Terutama di paruh kedua abad sembilan belas, di mana sebagian besar dunia Islam berada di bawah kekuasaan Eropa. Superioritas teknologi dan ilmu pengetahuan merupakan alasan di balik kesuksesan hegemoni ilmu pengetahuan ini.

Kedua, muncul kesadaran dari kalangan Muslim untuk membangun rumah baru bagi peradaban Islam pasca terjadinya dualisme budaya yang tercermin dari sikap dan pemikiran. Dualisme ini menciptakan sikap kontradiktif dan kontra produktif antara mengenang kejayaan masa lalu dan keinginan untuk memperbaiki diri. Peradaban Barat berhasil memikat wajah sebagian kalangan Muslim sehingga muncul budaya baru di kawasan Muslim yang “berhati Islam, tetapi berbaju Barat.”

Kultur baru ini yang kemudian juga menjadi pondasi lahirnya tafsir-tafsir al-Qur’an bercorak ilmiah. Tafsir ilmi pada hakikatnya ingin merekonsiliasi budaya melalui pola hubungan harmonis antara al-Qur’an, sebagai kitab suci Islam, dan pengetahuan modern, sebagai simbol peradaban Barat. Para mufasir ilmi, di saat yang sama, ingin menunjukkan kepada umat Muslim bahwa Islam tidak mengenal pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan. Para penggagas tafsir ini bercermin pada abad kegelapan Eropa yang diakibatkan oleh benturan antara dogma gereja dan ilmu pengetahuan.

Ketiga, transformasi cara pandang Muslim modern terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Reaksi ini wajar karena beberapa generasi Muslim memang lahir dan hidup bersamaan dengan munculnya penemuan-penemuan ilmiah modern pada abad ke-20. Justifikasi para pemikir Muslim modern ini adalah bahwa al-Qur’an mampu berdialog dengan siapa pun dan kapan pun, ungkapannya padat, dan membuka ragam penafsiran.

Misalnya, kata lamūsi‘ūn pada QS. Az-Zariyat: 47,

وَٱلسَّمَآءَ بَنَيْنَٰهَا بِأَيْي۟دٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ

“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskan(nya).”

Dalam beberapa literatur tafsir klasik, “lamūsi‘ūn” ditafsirkan sebagai “meluaskan rezeki semua makhluk dengan perantara hujan”. At-Tabarsi dalam Tafsir Majma’ al-Bayan menafsirkan dengan “meluaskan jarak antara langit dan bumi”. Ada pula yang menafsirkan “berkemampuan menciptakan lebih dari itu”. Semua interpretasi itu didasari oleh perspektif teologis dan transenden.

Seiring ditemukannya penemuan ilmiah mutahir, tafsiran tentang ayat tersebut juga berkembang. Dari hasil penelitian di/tentang luar angkasa, para ahli astronomi menyimpulkan sebuah teori yang dapat dikatakan sebagai hakikat ilmiah bernama nebula. Berkaitan dengan ayat di atas, dalam Tafsir al-Muntakhab, dijelaskan bahwa nebula yang berada di luar galaksi Bimasakti terus menjauh dengan kecepatan yang berbeda-beda, bahkan benda-benda langit yang ada dalam satu galaksi pun saling menjauh satu dengan lainnya. “Perluasan” ini terus berlanjut sampai waktu yang ditentukan oleh Sang Maha Kuasa.

Keempat, tumbuhnya kesadaran bahwa memahami al-Qur’an dengan pendekatan sains modern bisa menjadi sebuah alternatif ilmu pengetahuan baru. Sebelumnya, ajaran al-Qur’an diperkenalkan dengan pendekatan filsafat sehingga melahirkan ribuan karya ilmu kalam, dan sudah saatnya ayat-ayat al-Qur’an disajikan dengan pendekatan saintifik sebagai sebuah “ilmu kalam baru”.

Lewat kalkulasinya, Tantawi Jawhari menemukan bahwa al-Qur’an memiliki kurang lebih 750-1000 ayat-ayat kauniyah, sementara ayat-ayat hukum hanya berjumlah sekitar 250 ayat. Lalu mengapa kita mewarisi ribuan buku fikih, sementara buku-buku ilmiah hanya segelintir saja, padahal Tuhan tidak pernah mengunggulkan satu jenis ayat dengan jenis ayat lainnya untuk dipelajari.

Di Indonesia, tafsir corak ilmi diperkenalkan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy pada 1960 lewat magnum opus-nya, Tafsir al-Qur’anul Madjied An-Nur. Meski tidak secara keseluruhan diinterpretasi dengan pendekatan saintifik, akan tetapi ketika diperhatikan lebih mendalam beberapa penafsirannya, khususnya ayat tentang kealaman, akan terlihat corak ilmi yang digunakannya. Masih di periode yang sama, Kiai Bisyri Mustafa menulis Tafsir al-Ibriz li Ma’rifati Tafsir al-Qur’an al-Aziz di mana dalam beberapa penafsirannya, ia meminjam teori sains dalam memahami maksud al-Qur’an.

Jika manusia bisa menggunakan ayat-ayat hukum, muamalat, akhlak, dan aqidah sebagai petunjuk untuk mengenal perintah Tuhan, maka manusia juga bisa menggunakan ayat-ayat ilmiah untuk merenungkan keagungan dan kekuasaan Tuhan di alam raya ini.