Sejumlah negara adidaya pun ternyata masih keok menghadapi penyebaran dari evolusi virus sars ini. Saat ini, China menghadapi gelombang dua covid-19. Belum lagi negara di Eropa dan Amerika Selatan dengan jumlah kasus dan kematian yang tinggi. Masing-masing negara masih belum menemukan formulasi untuk menganani kasus ini. Sedangkan antivirus dari covid-19 masih belum diproduksi. Ini menjadi sebuah dilemma yang berkepanjangan di berbagai negara.
Saya sempat bertanya kepada salah satu ojek online perempuan yang saya tumpangi tentang presentasi pengurangan pendapatan selama pandemik. Jawabannya cukup membuat saya bersedih. Penurunan pendapatan hampir mencapai 70 persen.
Dalam sehari, katanya, biasanya omset yang didapat bisa mencapai Rp 300 ribu dengan catatan gojek dan gosend saja. Selama pandemik, diakui olehnya masyarakat enggan untuk untuk keluar rumah. Dirinya pun mengeluh dengan sejumlah bahan pokok yang mulai merangkak naik. Lalu, bagaimana dengan cerita perempuan lainnya?
Dampak dari covid-19 yang sangat jelas terasa di kalangan perempuan. Berdasarkan data yang dihimpun, di sejumlah negara ada banyak pekerja perempuan kehilangan pekerjaannya. Seperti, Maldives, Kamboja, Srilanka, Afghanistan dan lainnya. Di India para perempuan yang berdagang sayur harus berjalan door to door kepada palanggan untuk bisa menghasilkan uang. Bahkan, di Afrika Selatan melaporkan bahwa otoritas setempat menerima setidaknya 90.000 pengaduan KDRT terhadap wanita pada minggu pertama diberlakukannya pembatasan wilayah.
Di Indonesia, jumlah KDRT masih belum terdata. Komnas Perempuan masih membuka layanan hotline akan hal tersebut. Akan tetapi, buruh yang terkana PHK mencapai 1,2 juta orang. Sedangkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPPA) pada 2018 ada sekitar 36 persen pekerja perempuan yang menjadi buruh/karyawan/pegawai. Bisa dibayangkan berapa banyak perempuan yang kehilangan pekerjaannya di tengah pandemik. Belum lagi ketika mereka merupakan menjadi tulang punggung keluarga, ini akan menambah daftar panjang angka penggangguran perempuan.
Dari cerita tersebut, ada tiga kelompok pekerja perempuan yang mendapat dampak yang cukup besar. Yakni, pekerja harian lepas, pekerja informal dan kelompok usaha kecil. Hal yang paling dilematis adalah mereka tidak mendapat jaminan kerja atau kesehatan dari tempat dia pekerja. Ini menambah panjang daftar dilema di tengah pandemik.
Belum lagi dengan kondisi ibu-ibu yang harus Work From Home (WFH) harus pula mengajarkan anak-anaknya sekolah sekaligus tugas belajar anak-anaknya. Bahkan, salah satu tetangga saya di kontrakan mengeluhkan jika selama WFH ini banyak tidak fokus untuk mengerjakan kerjaan. Ada banyak tugas anak sekolah yang harus dipantau dengan sangat teliti oleh orangtua.
Di sisi lain, pekerjaan menjadi tenaga menjadi pekerjaan yang berada di garis terdepan selama masa ini. Badan Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 70 persen pekerja di sektor kesehatan dan sosial berasal dari kaum perempuan. Di Indonesia sendiri, dari data KPPPA 2018 pekerjaan di sector kesehatan dan sosial sekitar 2,57 persen. Lalu, bagaimana kebutuhan mereka?
Bukan hanya pandemik, sejumlah bencana pun kebutuhan perempuan seperti saat mentruasi dan celana dalam seringkali diabaikan. Sejumlah bantuan yang ada di Indonesia, hanya fokus pada kebutuhan APD saja. Sedangkan kebutuhan-kebutuhan sangat dijarang diperhatikan. Untuk itu, bukan hanya memerhatikan kebutuhan dalam skala yang cukup besar saja.
Melainkan mencatat kebutuhan paling kecil bagi perempuan harus diperhatikan. Hal yang paling penting adalah kebijakan pemerintah tentang kelompok sasaran yang mendapatkan bantuan imbas dari covid-19 haruslah berpihak pada kelompok perempuan. Sebab, kelompok tersebut yang paling rentan terkena dampak.