
Tahun 2025 baru berjalan dua bulan. Entah disadari atau tidak, di kedua bulan di tahun 2025 ada dua haul Ulama besar di Kalimantan Selatan, yakni Haul Guru Sekumpul (KH. Muhammad Zaini Ghani) di awal Januari lalu dan Haul Guru Zuhdi (KH. Ahmad Zuhdiannor) kemarin (25/02). Sambutan masyarakat di kedua haul sama besarnya. Bahkan, banyak masyarakat terlibat dan berkontribusi dengan beragam cara, seperti membuat dapur umum dan membagikan makanan.
Masyarakat hadir pun terhitung besar sekali, bahkan mereka yang hadir via siaran langsung di kanal-kanal Youtube dan Facebook. Angka pemirsa daring pun mencapai di atas sepuluh ribu, bahkan di haul Guru Sekumpul menyentuh angka seratus ribu. Kehadiran daring dan kontribusi di lapangan ini dipercaya sebagai cerminan kecintaan masyarakat Banjar atas ulama, atau wali dalam hal ini.
Gairah masyarakat Banjar di berbagai peringatan haul ulama terbilang besar. Hal ini tergambar jelas di atas. Bahkan, kita bisa merasakan kehangatan, kemeriahan, dan semaraknya haul ulama di tengah masyarakat Banjar. Haul Guru Sekumpul dan haul Guru Zuhdi adalah contohnya.
***
Ziarah kubur dan haul ulama atau wali di masyarakat Banjar sebenarnya tidak banyak berbeda di kelompok masyarakat lain. Tradisi keislaman yang dipraktikkan masyarakat Banjar di kedua haul telah digambarkan oleh Chambert-Loir dan Guillot sebagai ruang bebas. Kubur seorang ulama menjadi ruang “bebas” bagi sebagian besar Muslim untuk mengekspresikan keislamannya, bahkan menumpahkan beragam masalah kehidupannya.
Bagi masyarakat modern, praktik keislaman di atas seringkali dipandang menyalahi model Islam mereka jalankan. Perbedaan ini biasa berujung pada perdebatan terkait kemunduran masyarakat Muslim hari ini. Benarkah demikian?
Posisi sebagian besar umat Islam hari ini di tengah konstelasi beragam aspek di dunia ini, tidak bisa dihukumi hanya pada kepercayaan sebagian masyarakat Muslim atas kewalian. Kemunduran atau tidak bisa beradaptasi pada beragam aspek teknologi yang dipandang sebagai bagian dari penguasaan dunia hari ini tidak boleh hanya divonis pada kepercayaan atas kewalian.
Kewalian atau karamat para wali, di sebagian masyarakat Muslim, hari ini jika diulik lebih dalam dan dikaitkan dengan tekanan kehidupan akibat ekonomi liberal dan politik busuk yang mengakibatkan sebagian besar masyarakat Muslim tertinggal atau mundur, malah memunculkan diskursus baru.
Sebab keramat kewalian hari ini menjadi “ruang kebebasan,” di mana mereka bisa sedikit bernafas atas segala tekanan.
Klaim di atas mungkin bisa kita rasakan pada apa yang mereka lakukan atau kerjakan melawan tekanan kehidupan, malah seringkali tidak selalu “diserahkan” atau “dipasrahkan” jalan keluarnya pada keramat sang wali. Mengharapkan berkat dari keramat dengan memasang foto wali bisa membuat jualan lebih laku atau usaha menjadi lancar, hingga bisa lolos ujian atau kerjaan bisa dimudahkan adalah bagian dari kehidupan sebagian masyarakat Muslim.
Kepercayaan-kepercayaan ini bukan berarti mereka mengabaikan realitas sisi kemanusiaan mereka. Sebab, semua kepercayaan tersebut selalu berkelindan dengan sisi rasionalitas, seperti persiapan matang, analisa pasar, hingga berusaha menghadirkan layanan lebih baik. Kebaikan yang mereka terima, biasanya berupa keuntungan, malah sering didudukan pada narasi ketaatan pada kekuasaan Yang Maha Kuasa, yang mereka hubungkan dengan kewalian.
Walhasil, kepercayaan atas keramat wali tidak bisa lagi “dituduh” menjadi faktor utama “kekalahan” umat Islam di berbagai kesempatan. Ruang-ruang perlawanan atas penindasan ekonomi dan politik atas sebagian masyarakat Muslim di berbagai wilayah disebabkan banyak faktor, seperti rendahnya pendidikan, eksklusi kelas sosial, hingga pemiskinan struktural.
Selain itu, di lintasan sejarah masyarakat Muslim, kepercayaan atas wali atau ulama pernah juga menjadi medium perlawanan atas kolonialisme. Sejarah umat Islam mencatat bagaimana peran para ulama-ulama sufi atau wali di berbagai wilayah memimpin perlawan atas penindasan atas umat Islam, bahkan sebagian menggunakan narasi-narasi keramat.
***
Seorang muslim yang percaya akan berkah atau keramat seorang wali dianggap menjadi “jalan pintas” mereka dalam memandang dunia. Jalan pintas yang dimaksud adalah sikap fatalitas atau “kemalasan” berpikir atas fenomena dunia. Padahal, kepercayaan sebagian masyarakat Muslim atas seorang wali seringkali “dikaitkan” tidak bisa direduksi pada kemunduran berpikir.
Sebab, keterikatan (atau ketergantungan) masyarakat muslim tradisionalis, seperti masyarakat Banjar, pada seorang wali atau ulama tidak selalu berkorelasi dengan kemunduran. Konten seorang pemengaruh bernama Guru Gembul sempat melontarkan kritik keras atas kewalian dengan nada serupa.
Seorang muslim, menurut Guru Gembul, tidak seharusnya mendompleng kebesaran sang wali di ranah keislamannya. Dia menyebut seorang Muslim seharusnya bisa menjadi muslim baik tanpa harus bertaut dengan para wali. Padahal, apa yang dilakukan sebagian masyarakat Muslim yang percaya pada kewalian malah hanya ingin merasakan sisi spiritual terdalam yang bisa mereka akses. Mereka hanya ingin “menyentuh sensasi” ruang mistis tersebut.
Dunia hari ini sebenarnya selaras dengan apa yang digambarkan Ghea Indrawari di salah satu bait lagunya, “Aku tahu dunia sering tak adil-Dunia sering tak mudah-Dan kauhadapi sendiri.” Kewalian, bagi sebagian masyarakat Muslim, seakan menawarkan ruang atau masa apa yang disebut banyak orang hari ini dengan healing.
Haul dan ziarah ke makam ulama, bagi sebagian masyarakat Muslim, seakan menjadi medium melepas sejenak segala kepenatan dunia, sembari mendekap setetes nuansa mistik yang menenangkan. Ungkapan ini mungkin dirasa alasan yang dibuat-buat bagi kelompok modernis, padahal perasaan ini merupakan kejujuran dari sekian banyak doa yang dipanjatkan di sana (baca: di haul atau makam ulama).
Fatahallahu alaina futuh al-arifin