Ketika Seorang Brandal Menjadi Wali

Ketika Seorang Brandal Menjadi Wali

Ketika Seorang Brandal Menjadi Wali

Wali Brandal Tanah Jawa adalah buku yang berkaitan dengan masyarakat muslim Indonesia, tapi bukan tentang keramaian ibadah di masjid, perkembangan sekolah-sekolah Islam, atau tentang perda-perda bernuansa Islam di berbagai daerah. Buku ini juga bukan tentang gerakan radikalisme Islam atau terorisme yang belakangan ini mendominasi gelanggang riset ilmu sosial dan riset keislaman, yang hasilnya kerap membuat kita cemas dan risau.

Buku ini tentang tradisi ziarah di tanah Jawa, dari ujung barat hingga hingga ujung timur, dan menyeberang ke tanah madura. Tradisi ziarah itu meningkat pesat dan berkembang semarak, yang memberikan impresi yang lebih adem dan tenang tentang masyarakat Islam Indonesia. Ziarah kubur, dengan berbagai motifnya, praktiknya, cerita-cerita yang mengiringi dan melingkupinya, berlangsung senyap, tapi bergerak pasti, menancapkan pengaruh dan jejaknya pada masyarakat Islam yang lebih toleran, menghargai perbedaan dan sadar pada kebinekaan. Tepat sekali jika George Quinn mengatakan, tradisi ziarah ini adalah arus berseberangan dengan pengerasan Islam yang disebut dengan berbagai nama oleh para peneliti dan pengamat. Judul asli bukunya How Java’s Eccentric Saints are Challenging Fundamentalist Islam in Modern Indonesia, sudah menunjukkan hal Itu. Tetapi dalam Bahasa Indonesia entah mengapa subjudul ini dihilangkan.

George Quinn mengunjungi puluhan makam atau situs yang dikeramatkan, selama hampir tiga dasawarsa. Beberapa situs ia kunjungi berkali-kali. Tetapi dalam catatan saya, ia hanya menuliskan 23 makam dan situs tersebut, memberikan catatan deskriptif berdasarkan pengamatan dan obrolan dengan para penziarah, juru kunci atau pedagang sekitar, dan menelusuri cerita dan citra sang wali yang makamnya diziarahi, pola-pola invensi yang dibangun dan sebagainya. Dan yang paling menarik adalah ‘usahanya mengalami’ bagaimana ziarah itu dilakukan dengan misalnya sudi naik bis yang panas, penuh debu dan bau, ikut berlelah payah rombongan para penziarah mendaki gunung di tengah malam yang dingin, didebat dan diajak masuk Islam, dll.

Makam-makam ini, terentang dari makam-makam wali arus utama dan telah lama menjadi situs penziarahan kalangan santri seperti Makam para wali misal makam Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Pamijahan dll, dan makam-makam yang bisa disebut dari tokoh-tokoh kalangan abangan, yang melalui proses yang ajaib, telah mengalami “islamisasi” dan kini juga menjadi situs penziarahan baru kalangan santri seperti Mbah Jugo Gunung Kawi, istana erucakra, dll. Mengapa terjadi ‘islamisasi’ ini, di buku tak dijelaskan, tapi saya punya hipotesis: ini strategi untuk tidak diserang kalangan muslim puritan. Dengan menjadikannya ‘sebagai makam tokoh suci Muslim’, maka ia telah mendapat suaka kultural-politis yang kuat.

Dengan demikian, yang dipaparkan sebenarnya adalah ziarah orang abangan dan ziarah santri. Tetapi pembagian ini dari saya, bukan dari penulis, setelah menelusuri buku ini, karena pada kenyataannya ada karakter, sifat, tujuan, dan gaya yang khas berziarah keduanya. Namun di lapangan karakter ini hablur dan tak tampak. Demikian juga dalam ‘deskripsi mendalam’ –meminjam istilah Geertz– penulis, hal ini sebenarnya juga kelihatan. Bahkan di tempat ziarah yang notabene wali Islam seperti makam Sunan Bayat, itu ada dua model penziarah antara penziarah santri dan penziarah abangan.

Ziarah kubur adalah praktik keagamaan dan kebudayaan yang kompleks. Di dalamnya termuat banyak makna yang saling beririsan, berhimpitan, tumpang tindih, bersilangan, dan tak jarang sebenarnya bertabrakan, tetapi semuanya tetap ditampung dan tertampung, melalui berbagai kompromi dan negosiasi makna ‘ziarah’ itu sendiri, yang rupanya memang luas bak lautan. Justru karena ziarah di dalam dirinya memang disadari sebagai praktik yang rumit, tidak mudah, yang menuntut pemahaman dan keyakinan yang khas Jawa. Salah satu contohnya adalah transformasi sosok yang semula bajingan, brandal, preman, dll., seperti Sunan Kalijaga, lalu menjadi wali.
Tetapi bukan hanya Sunan Kalijaga, ada juga Maling Gentiri, juga ada Syekh Domba (yang terakhir ini tak disebut George Quinn), dll.

Barangkali karena itu di dalam narasinya kita menemukan simpati, kekaguman, keheranan, tapi kadang juga semacam ejekan yang dibalut dalam sinisme. Di lain pihak ada juga semacam semangat romantisme.

George Quinn menuliskan hasil risetnya secara naratif, dengan gaya bercerita yang renyah. Dialog-dialognya menarik sehingga kita seperti membaca novel. Tulisannya dibalut kekuatan empati, rasa humor, dan juga kritisisme ala seorang periset. Tak jarang secara terbuka, George mengemukakan ketidakpercayaannya secara terbuka sembari pada saat yang sama terus berupaya menelusuri kisah-kisah, baik lisan maupun tulis, untuk mencoba memahami fenomena di balik realitas yang dilihatnya atau pemikiran respondennya. Obyektivitas pada buku ini adalah kejujuran George Quinn untuk menyatakan ketidaksetujuan dan ketidakpercayaannya secara terbuka, bahkan di bagian awal ia telah mengaku sebagai seorang ateis. Bagaimana bisa seorang ateis meneliti tradisi ziarah di makam-makam orang yang dianggap suci?

Dengan segala itu semua, ziarah dan makam yang diziarahi plus peristiwa-peristiwa sosial-politik keagamaan yang baru-baru ini hadir melingkupinya, menimbulkan paradoks-paradoks dan kontradiksi. Semangat dari beberapa tulisan Quinn dalam buku ini memunculkan hal itu, misal tentang tokoh Sunan Kalijaga yang diyakini berperan meletakkan arah kiblat masjid Demak dengan akurat, ternyata oleh pengetahuan modern belakangan yang diperkenalkan oleh MUI, arah tersebut terbukti meleset. Tapi para jamaah masjid Demak sekitar tetap bersikeras menggunakan arah kiblat yang diyakini dibuat oleh Sunan Kalijaga itu. Kuasa agama lokal versus kuasa agama pusat tarik-menarik. Juga ketika terjadi kerusuhan di makam Mbah Priuk, masyarakat setempat pendukung makam bukan hanya berhadapan dengan pemerintah dan Pelindo, tapi juga dengan MUI yang datang dengan hasil riset bahwa tak ada makam Mbah Priuk di situ, dan tokoh Mbah Priuk hanya omong kosong saja. Contoh berikutnya adalah diangkatnya makam Maling Gentiri, seorang brandal dan preman, sebagai makam keramat, yang ramai diziarahi. Makam ini sendiri direhab oleh seorang tokoh teras Pemuda Pancasila (ia tak boleh disebut namanya hehehe), sehingga terbayangkan oleh kita bahwa si tokoh adalah perwujudan kontemporer dari Maling Gentiri dan karena itu kenapa tidak nanti makamnya juga dikeramatkan dan diziarahi.

Menjadi pertanyaan: mengapa tiba-tiba terjadi semacam ledakan orang berziarah ke makam? Ada dua jawaban yang dikembangkan. 1. Sejak PKI dihabisi pada tahun 1965, dan gerakan nasionalis juga dipinggirkan, maka kalangan abangan kehilangan tempat bernaung dan berlindung, termasuk dalam hal ritual. Nah di sinilah ‘makam’ dan segala ritus di dalam dan sekitarnya, menjadi semacam ‘suaka’ bagi mantan orang-orang abangan ini. Maka makam, dengan demikian, menjadi semacam oposisi terhadap masjid, tempat Islam yang lebih formal dan relatif murni dikembangkan; 2. Adanya semacam ‘komersialisi ziarah.’ Ini ditunjukkan dengan berdirinya banyak perusahaan agen perjalanan mengelola ziarah ke berbagai makam tersebut lengkap dengan layanan catering, seragam dan bimbingan doanya.

Pendapat pertama tentu bisa dipertanyakan, namun ia seperti menemukan akurasinya, jika fenomena ziarah ini dikaitkan dengan Jawa saja. Betul bahwa di Jawa praktik ziarah memang sangat unik, massif dan luar biasa. Seorang teman dari Aceh pernah tercengang ketika berkunjung ke Jombang dan diajak ziarah ke makam Gus Dur pada malam hari. Lebih tercengang lagi ia karena melihat makam demikian ramai. Baginya itu aneh sekali, karena makam-makam di Aceh pada sore hari umumnya sudah sepi.

Tetapi itu bukan berarti di luar Jawa fenomena ini tidak ada dan tidak ada perkembangan baru juga. Dalam hal ini, saya ingin mengingatkan dua tradisi ziarah di luar Jawa, yakni di Kalimantan Selatan dan di Pariaman, Sumatera Barat.

Di Jawa memang ada banyak makam keramat, dan ramai diziarahi di sepanjang waktu. Kendati demikian, mungkin tak ada ziarah yang lebih besar dalam suatu tempat dan waktu sekaligus, dalam suatu hentakan, yang menyetarai ziarah ke makam Tuan Guru H. Zainie Ganie, atau dikenal sebagai ‘Guru Sekumpul’ di Martapura, Kalimantan Selatan pada hari haulnya. Yang menarik, ini adalah makam yang relatif masih baru dan tokoh yang disemayamkan di sana masih sezaman dengan kita. (Mirip dengan Gus Dur, oh dua sosok ini sudah saya tulis di buku saya, beli ya, sudah cetakan ke-4 lho). Makam Guru Sekumpul sangat bersih, megah, dan rapi.

Yang kedua, makam Syekh Burhanuddin Ulakan, di Tanjung, Ulakan, Padangpariaman. Sekitar sepuluh tahun lalu, saya berziarah ke sana, persis pada saat ‘basapa’. Basapa atau ‘bersafar’ adalah hari peringatan wafatnya sang wali pada bulan Safar, atau haul, yang pengenangannya kemudian menjadi acara basapa. Acara ini menghadirkan ratusan ribu penziarah (dan tentu juga pengunjung yang datang hanya untuk menonton, berbelanja, melihat keramaian, dll).

Pada malam terakhir, saya duduk bersimpuh dekat makam, ketika para penziarah ramai meminta pasir yang telah dimasukkan ke botol bekas air mineral. Kebetulan makam Syekh Burhanuddin tak jauh dari pantai yang banyak pasirnya. Pasir itu jika ditaburkan di sawah, kebun atau ladang, diyakini akan memberikan kesuburan. Pasir itu dengan demikian berfungsi seperti pupuk. Katakanlah pupuk spiritual. Tentu saja dengan mengambil barokah sang wali, yang dikenal sebagai mursyid dan guru tarekat syatariah.

Setiap penziarah hanya mendapat satu botol pasir dan membayar mahar secukupnya. Nah saat itu ada penziarah yang ingin mendapat lebih dari satu botol. Dia bilang sawahnya sangat luas, tidak cukup kalau hanya satu botol. Pengelola makam menolak menambahkannya karena peraturan satu orang hanya satu botol. Tetapi si penziarah itu terus meminta dan bernegosiasi. Sampai akhirnya berhasil.

Sungguh itu suatu adegan yang memikat dan mencengangkan, yang khas dan tidak akan Anda temukan di tempat lain. Apalagi di Saudi Arabia sana. Nusantara banget pokoknya.

Makam dan berbagai tradisi ziarah yang mengiringinya, serta pandangan dunia para penziarah ini, para ‘kaum sarkub’ ini, kata George Quinn, membuat Nusantara ini seperti ‘Andalusia’. Berada di dalamnya orang tidak merasa asing, nyaman dan aman, dan ingin menjadi bagiannya.

Yuk ziarah yuk!

 

*) Hairus Salim, Direktur LKiS

*) Ini catatan diskusi buku Wali Brandal Tanah Jawa, yang diadakan PPM Aswaja Nusantara, bersama dengan penulis George Quinn, pada 29 April 2021.